DUA PERUPA berbeda aliran, Ni Luh Voni Dewi dan Wayan Jengki Sunarta menggelar pameran bertajuk “Transendensi” di TAT Art Space yang berlokasi di The Ambengan Tenten, Jalan Imam Bonjol, Gang Rahayu 16 A, Denpasar, Bali. Pameran yang dikuratori perupa internasional Citra Sasmita ini berlangsung dari tanggal 29 September hingga 8 Oktober 2023.
Pameran “Transendensi” menampilkan karya-karya seni visual yang paradoks secara estetika dan tematik, namun pada hakikatnya saling melengkapi. Voni menampilkan karya-karya bertema dewa-dewi dengan penggarapan lembut dan cenderung mengarah pada spiritualitas.
Sedangkan Jengki menggeber karya-karya berbau seksualitas yang ganjil. Seksualitas menyangkut berbagai dimensi yang sangat luas, yakni biologis, psikologis, sosial, dan budaya.
Jengki mengatakan ide pameran berdua dengan Voni sebenarnya telah muncul sejak lama dan baru sekarang bisa terwujud di TAT Art Space. Jengki dan Voni telah bersahabat sejak lama. Salah satu gagasan pameran ini adalah untuk mempererat rasa persahabatan, meski tematik karya-karya mereka berbeda.
“Karya-karya Voni penuh kelembutan dan cenderung mengarah spiritualitas. Sedangkan karya-karya saya cenderung berbau seksualitas. Dua hal berlawanan ini menarik dipertemukan dalam sebuah pameran,” ungkap Jengki.
Karya Ni Luh Voni Dewi / Foto: Ist
Voni mengungkapkan, dalam keseharian dia seringkali mengembangkan konsep keseimbangan. Dia merasa sangat bersemangat dan tertantang berpameran dengan Jengki. Bagi Voni, karya-karya Jengki sangat ekspresif dan gamblang.
“Dalam hidup kita mengenal konsep rwa bhineda, ying-yang, hitam-putih, yang membentuk keseimbangan. Hal itulah yang membuat saya semangat terlibat dalam pameran ini berduet dengan Jengki. Bagi saya, hitam dan putih, kiri dan kanan, harus diseimbangkan sehingga muncul keselarasan dan harmonisasi,” tutur Voni.
Jengki dan Voni belajar melukis secara otodidak. Meski Jengki sempat mencicipi kuliah seni Lukis di ISI Denpasar tahun 2002, namun tidak ia tamatkan. Sementara Voni sejak lama menekuni seni tata rias wajah yang pada akhirnya banyak memengaruhi teknik melukisnya. Selain pameran “Transendensi”, kedua perupa ini pernah menjajal sejumlah pameran bersama di beberapa tempat.
Lukisan karya Ni Luh Voni Dewi / Foto: Ist
Jengki pernah menampilkan karya-karyanya dalam pameran “SahabART” di Rumah Seni Paros, Sukawati, Gianyar (2020), “Silang Sengkarut” di Dalam Rumah Art Station, Denpasar (2022), pameran online tingkat internasional “Bricolage” yang digelar Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja (2022), “Rajah Rasa” di Teba Kangin Pemanis Art Space, Tabanan (2022). Pada 2020, tiga lukisannya masuk semi final lomba lukis “Titian Art Prize” yang digelar Yayasan Titian, Bali.
Sementara itu, sejak 2012 Voni aktif menampilkan karyanya dalam berbagai pameran bersama, seperti pameran “Hari Kartini” di Warung Yaya, Sanur (2012), “Alignment” di Bidadari Art Gallery, Ubud (2013), “Bali Art Fair” di Maha Art Gallery (2013).
“I Love My Mom” di Seniwati Artspace, Ubud (2016), “Jabuik Tabao Padang” di Bentara Budaya Bali (2018), “Indonesia Satu” di Hotel Pullman, Jakarta (2019), “Vidya Diva” di Taman Budaya Bali (2019). Pada 2011, dia berpameran tunggal bertajuk “Perempuan” di Serambi Arts Antida, Denpasar.
Manajer TAT Art Space, Yurison Suryantara, mengatakan sangat senang pameran ini akhirnya terlaksana. Dia mengenal Voni pada tahun 2021 dan mengagumi karya-karyanya yang sarat spiritualitas. Awal tahun 2023 dia bertemu Jengki, yang karya-karyanya menarik dan nakal, sangat berbanding terbalik dengan Voni. Kemudian tercetuslah ide untuk menyatukan kedua seniman ini dalam sebuah pameran.
Lukisan karya Wayan Jengki Sunarta / Foto: Ist
“Kami juga sangat beruntung pameran ini dibantu oleh Citra Sasmita yang bertindak sebagai kurator dan terlibat dalam display karya,” ujar Yurison.
Dalam tulisan kuratorialnya, Citra Sasmita membahas dan mengulas konsep pameran tersebut dari sudut pandang psikoanalisis Carl Gustav Jung, terutama dalam pembacaan mengenai konstruksi mimpi, mitologi, filsafat, agama dan kesenian terhadap aktualisasi diri seseorang.
Citra mengatakan karya seni yang diciptakan seorang seniman bisa merupakan suatu akumulasi pengalaman diri, bisa juga gagasan ideal atau ekspektasi dari realitas di luar dirinya. Seorang seniman juga mampu mengakses dan menerjemahkan hal-hal di luar limitasi dan nalar yang bisa diterima masyarakat.
“Kemampuan seorang seniman mengolah simbol dan narasi yang melampaui kesadaran manusia dalam medium seni inilah yang dimaksud transendensi,” ujar Citra.
Lukisan karya Wayan Jengki Sunarta / Foto: Ist
Citra mengamati karya-karya Voni dan Jengki merupakan upaya merepresentasikan akumulasi pengalaman kultural mereka sebagai orang Bali. Voni melakukan proses internalisasi dari pengalamannya sebagai pelatih pernafasan dan ilmu holistik Qi Gong serta sebagai make-up artist dan laku hidup spiritual yang ia jalani ke dalam tema-tema lukisannya.
Lukisan-lukisan Voni dominan menampilkan sosok-sosok dewa dan dewi dengan gaya dan warna yang naif. Nuansa, pilihan warna auratik dan garis tegas mewakili sifat dan karakter sosok-sosok yang ia gambarkan untuk memberikan kesan magis.
Sementara itu, sebagai seorang penyair yang kerap berkontemplasi serta bermain dengan bahasa dan kata-kata, Jengki melakukan titik balik untuk mentransformasikan hasrat dan keinginan terpendam manusia melalui mahkluk-mahkluk ganjil, penis, vagina, yang berkelindan dengan potongan-potongan tubuh tidak sempurna.
“Transendensi yang direpresentasikan kedua seniman ini menjadi peleburan dua sifat yang berlawanan atau dalam istilah Bali disebut Rwa Bhineda. Sebagai bahasa visual, ekspresi dualisme pada karya Voni dan Jengki kerap menampilkan unsur paradoks namun berintegrasi menciptakan suatu harmoni,” ungkap Citra.[T][Jas/*]