BANYAK orang beranggapan bahwa orang desa itu hanya bisa bertani atau berkebun. Anggapan seperti itu memang tidak salah, tapi juga tidak sepenuhnya benar. Buktinya, di Desa Sinabun, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng, seorang pemuda desa mampu menciptakan teknologi inovasi yang dapat dimanfaatkan untuk mengolah sampah—masalah sejuta umat dunia belakangan ini.
Benar. Persoalan sampah memang tidak ada habisnya. Ibarat jamur atau virus ganas yang vaksinnya belum ditemukan, persoalan tersebut seperti mustahil untuk diatasi—ia terus tumbuh di segala musim. Berbagai inovasi seperti bank sampah, aturan 3 R, dll, semuanya dibentuk dengan tujuan dapat menangani persoalan sampah—termasuk, sekali lagi, teknologi inovasi dari Desa Sinabun.
Inovasi yang dimaksud dibuat oleh Ketut Cana. Pria berusia 34 tahun itu menciptakan teknologi pengelolaan sampah yang diberi nama Trashkleng. Karya inovasi dari pria berkacamata itu bukan main-main, buktinya temuannya itu berhasil menjadi jawara dalam Lomba Teknologi Tepat Guna Nasional belum lama ini.
Dilirik dari namanya, teknologi ini sekilas agak merujuk pada umpatan khas Buleleng. Tetapi, tentu saja bukan itu yang dimaksud. Trashkleng berasal dari kata Trash yang artinya sampah. Dan Kleng berasal dari dialek Keling yang artinya kembali ke semula. Jika diartikan secara utuh maka Trashkleng adalah teknologi pengelolaan sampah yang mengingatkan untuk mengembalikan sampah ke posisi semula.
Teknologi ciptaannya itu dibuat dengan modal Rp 2 juta. Sementara ia belajar menciptakan inovasi tersebut dari YouTube dengan menggunakan bahan seadanya. Alat ini dibuat dari kotak telur yang dirangkai dengan mikrokontroler. Alat itu, katanya, berfungsi untuk mengontrol proses pemanasan sampah menjadi filamen (serat sampah). Selanjutnya, alat tersebut disambungkan ke komputer agar dapat mencetak desain 3D.
“Ke depannya tidak hanya lewat 3D filament saja, saya berencana menciptakan karya lainnya yang bersumber dari sampah, tentunya menarik dan mengikuti perkembangan pasar. Saya masih terus belajar, intinya Saya ingin karya Saya bisa memberdayakan masyarakat,” harap Ketut Cana, Kamis (28/9) siang.
Peluang usaha dari pemanfaatan teknologi Trashkleng ini cukup besar. Pria kelahiran 2 Desember 1989 itu pun mengaku terus berinovasi dari filamen yang dihasilkan. Bahkan, saat ini, ia masih memproduksi benda-benda seperti vas bunga, patung, hingga frame kacamata.
“Kalau barang-barang itu dari sampah botol plastik seperti air minum atau softdrink. Yang terdapat kandungan PET atau Polyethylene Terephthalate,” trangnya.
Satu botol plastik bisa menghasilkan 10 hingga 11 meter filamen. Ketebalannya mencapai 1,7 milimeter. Sedangkan untuk membuat satu produk dari filamen itu tidak menentu. Tergantung dari size atau ukuran produk yang akan dibuat.
“Bisa langsung produksi (filamen). Tidak harus banyak botol dulu baru buat. Satu botol juga bisa. Nanti filamennya itu yang dikumpulkan untuk dibuat jadi produk turunannya,” kata dia.
Putra ketiga pasangan Luh Adi dan Ketut Suwitra ini berharap teknologi yang diciptakan dapat membantu mengatasi permasalahan sampah selama ini. Di samping itu, dengan memanfaatkan teknologi pengelolaan sampah itu ia dapat membuka peluang kerja bagi masyarakat sekitar.
“Ini salah satu solusi kecil untuk mengurangi timbulan sampah plastik. Meski kecil saya harap dapat memberikan impact yang besar nantinya,” tutup bapak tiga itu.[T]