NETRALITAS ASN dalam pemilihan umum sangat penting diatur. Hal ini diatur agar ASN dapat memberi pelayanan yang sama kepada masyarakat. Tidak membeda-bedakan warna partai yang mereka dukung. Larangan tersebut sebenarnya sudah tertuang dalam Surat Keputusan Besar (SKB) Nomor 2 tahun 2022 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Netralitas Pegawai Aparatur Sipil Negara dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum dan Pemilihan.
Aturan tersebut juga berisi pemberian sanksi moral bagi mereka yang melanggar. Sanksi moral bersifat pernyataan secara tertutup dan terbuka. Larangan tersebut diatur pada Pasal 15 ayat (1), (2) dan (3) PP 42/2004 yang berbunyi (1) Pegawai Negeri Sipil yang melakukan pelanggaran Kode Etik dikenakan sanksi moral.
(2) Sanksi moral sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat secara tertulis dan dinyatakan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (3) Sanksi moral sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa: a. pernyataan secara tertutup; atau b. pernyataan secara terbuka.
Dalam poin 4, diatur soal penggunaan akun medsos hingga soal ‘like’, ‘comment’, dan ‘share’. ASN dilarang membuat posting, comment, share, like, bergabung/follow dalam grup/akun pemenangan Bakal calon (Presiden/Wakil Presiden/ DPR/DPRD/Gubernur/Wakil Gubernur/Bupati/Wakil Bupati/Walikota/Wakil Walikota.
Dalam poin 5, diatur tentang unggahan foto bareng peserta pemilu di medsos. ASN dilarang memosting pada media sosial/media lain yang dapat diakses publik, foto bersama dengan: a. Bakal Calon Presiden/Wakil Presiden/DPR/DPD/DPRD/Gubernur/Wakil Gubernur/Bupati/Wakil Bupati/Wali Kota/Wakil Wali Kota.
b.Tim sukses dengan menunjukkan/memperagakan simbol keberpihakan/memakai atribut partai politik dan/menggunakan latar belakang foto (gambar) terkait partai politik/bakal calon (Presiden/Wakil Presiden/DPR/DPD/DPRD/Gubernur/Wakil Gubernur/Bupati/Wakil Bupati/Wali Kota/Wakil Wali Kota).
ASN sebagai abdi negara diharapkan tidak ikut “cawe-cawe” yang berupa mendukung salah satu capres atau peserta pemilu. ASN diminta diam, pilihannya nanti ditentukan dan diputuskan ketika ada di bilik suara. Celakanya, setelah melakukan pencoblosan akan diketahui siapa jagoan ASN tersebut.
Buntut dari pilihannya, ASN tersebut akan mendapatkan sanksi dari kepala daerah yang terpilih. Ada kasus guru yang tidak memiliki aspirasi yang sama dengan bupati atau walikota terpilih, guru tersebut dipindahkan ke daerah yang jauh dari tempat semula dia bertugas. Kalau seperti ini siapa yang berani menjamin kenyamanan ASN tersebut.
Gubernur, bupati, walikota adalah jabatan politik. Kebijakannya tentu mengarah pada warna partai. Sebagai jabatan politik agak susah untuk melayani masyarakat secara netral. Kebijakannya pasti beraroma warna partai. Seragam ASN bernuansa warna partai. Siapa yang bisa menjamin program kepala daerah untuk semua masyarakat yang tidak ada aroma partai?
Ada suatu dusun, masyarakatnya sebagian besar warnanya tidak sama dengan kepala daerah. Dusun tersebut sedikit kesulitan mendapatkan bantuan pengaspalan dan lain-lainnya. Apakah kebijakan ini merupakan bentuk netralitas kepala daerah?
Begitu berganti kepemimpinan, kepala daerah akan menempatkan orang-orangnya di pos-pos strategis dan memberikan jabatan kepada tim suksesnya. Hal ini juga bukan merupakan bentuk netralitas. Jika hal ini terus dipelihara, pergantian kepemimpinan berikutnya juga akan seperti ini. Ada politik “balas dendam” di pemerintahan. Orang yang tidak kompeten menduduki jabatan-jabatan strategis.
Dalam dunia pendidikan, kabar tentang pengangkatan kepala sekolah juga kental dengan aroma politik. Seseorang yang akan diangkat menjadi kepala sekolah persyaratannya adalah orang itu mengikuti diklat calon kepala sekolah dan atau sebagai guru penggerak. Di lapangan, kebijkan ini dilanggar. Ujung-ujungnya orang tersebut merupakan orang dekat kepala daerah.
Tuntutan netralitas kepada ASN memang bagus. ASN dituntut melayani semua golongan. ASN tidak perlu “cawe-cawe” dalam politik. Kalau ada ASN pilihannya berbeda dengan kepala daerah apakah kepala daerah bisa menunjukkan kenetralannya sebagai pemimpin? Mungkin ya pada tataran wacana, tapi sedikit sulit dalam pengimplementasiannya.
Bukan saja pada tingkat kepala daerah saja ketidaknetralan itu. Kepala desa yang seharusnya netral dan tidak berpolitik, kenyataannya juga terseret-seret dan condong mendukung peserta pemilu dari partai tertentu.
Peserta pemilu sudah bergerilya ke desa-desa memberi bantuan kepada desa. Mereka mulai ramah kepada masyarakat. Rajin turun ke lapangan seolah-olah peduli dan empati kepada masyarakat desa. Menyumbang saat upacara agama. Ujung-ujungnya yang diminta adalah suara bulat dari desa tersebut.
Ada permainan mata antara kepala desa dengan bakal calon legislatif. Netralitas itu apakah hanya untuk ASN? Semoga kepala daerah yang terpilih agar netral dalam menerapkan kebijakannya.[T]
BACA artikel menarik lainnya dari penulisSUAR ADNYANA