Saya mengenalnya di jalan, ketika kami sama-sama bersepeda pada hari Minggu, empat bulan lalu. Anak muda berumur sekitar 30 tahun itu mengenalkan dirinya dengan nama “Lapuk”.
“Nama panggilan?”
“Iya, Om.”
“Nama sesuai KTP apa?”
“Indra Febrianto, Om.”
Lapuk lupa sejak kapan dan kenapa dia dipanggil dengan nama itu. Dia menceritakan hal tersebut ketika kami istirahat di kedai kopi di jalan utama yang membelah kota. Kota yang tenang dan relatif bersih, yang akhir-akhir ini dipenuhi baliho caleg dan capres.
Dua bulan kemudian kami bertemu dengan tanpa sengaja di perempatan dekat alun-alun. Dia sedang bercengkerama dengan beberapa teman sesama pesepeda. Umur mereka sebaya, pun jika ada yang lebih tua atau muda, selisihnya hanya setahun atau dua tahun saja.
“Ayo gabung Om. Kami sedang menyiapkan kopi,” ajak Lapuk.
Saya perhatikan, mereka sedang menyiapkan jamuan. Ada yang menjerang air panas, ada yang menyiapkan gelas berisi kopi bubuk sasetan. Sementara lainnya membuka tas plastik berisi aneka gorengan.
Setelah beberapa kali bertemu dan bersepeda bareng dengan anak-anak muda itu, kami menjadi akrab. Rata-rata mereka bekerja di sektor nonformal. Ada yang menjadi penjual es, pedagang asongan, penjual sayur keliling, tukang ojek online, dan usaha tambal ban. Lapuk sendiri jualan stiker.
Meskipun kelas sosial mereka berada pada lapis bawah, tapi beberapa di antaranya peduli pada berbagai isu lingkungan. Mereka kerap kali mengikuti aksi bersih-bersih sampah non-organik di beberapa sungai dan objek wisata. Mereka bergiat, tentu saja, secara probono. Menurut mereka, Lapuk yang paling aktif jika ada acara semacam itu.
Suatu ketika saya bertemu lagi dengan Lapuk, ketika bersepeda ke kota. Kami bertemu tanpa sengaja di depan pasar hewan.
“Ayo ke Waduk Karangkates, Om.”
“Wah! Saya hendak pulang. Hari ini sudah dapat 55 kilometer. Cukup lah.”
“Om belum pernah bersepeda ke sana, kan?”
“Iya.”
“Ayo lah.”
“Yo wis.”
Baru beberapa kilometer, saya ingat akan janji saya untuk mengedit proposal kegiatan, karena harus dikirim siang itu juga.
“Kita cari tempat istirahat dulu, Puk.”
“Kenapa, Om?”
“Saya butuh waktu 15 menit saja, untuk menyelesaikan pekerjaan.”
“Ok, Om.”
Ketika saya sedang beraktivitas dengan ponsel, saya lihat Lapuk sedang memutar crank sepeda saya.
“Maaf, Om. Rantainya kering, saya beri minyak ya.”
“Ok. Terima kasih.”
Tidak lebih dari 15 menit, proposal selesai saya edit, kemudian saya kirimkan melalui WA. Kami pun meneruskan perjalanan.
Pada kilometer 40 sejak kami berangkat, roda belakang saya bocor terkena paku. Lapuk sigap mencopot dan mengganti ban dalam tanpa saya minta. Saya ajak dia mampir ke toko swalayan untuk membeli minuman dan camilan. Kami pun nongkrong di teras toko tersebut.
“Tinggal 5 kilometer lagi. Kita terus atau istirahat dulu, Om?”
“Santai saja. Toh masih belum terlalu siang.”
Sambil ngobrol, saya mengorek keterangan darinya, awal mula dia bersepeda dan menjadi pegiat lingkungan hidup. Ternyata dia pernah bersepeda hingga Sape, pelabuhan untuk menyeberang ke Labuan Bajo.
Lapuk tidak meneruskan untuk menyeberang karena uangnya tidak cukup untuk membeli karcis kapal. Dia kemudian kembali pulang dengan bersepeda lagi. Saya jadi teringat November tahun lalu juga bersepeda hingga Sape, kemudian menyeberang ke Labuan Bajo.
Pembicaraan kami pun surut lebih jauh ke belakang. Sejak lulus SD, ketika ibunya meninggal dan bapaknya kawin lagi, Lapuk sudah hidup mandiri. Semula dia ikut neneknya dari pihak ibu, sejak kelas 1 hingga kelas 3 SMP. Untuk membiayai sekolahnya dia bekerja serabutan, mulai dari pedagang asongan hingga pengantar koran.
Setelah neneknya meninggal, dia hidup secara nomaden. Kadang tidur di mushola, kadang di rumah kawannya, kadang juga di rumah saudaranya. Untuk biaya hidup dan melanjutkan sekolah ke STM, Lapuk bekerja sebagai penambal ban.
“Kamu tidak pernah bekerja formal? Di pabrik atau kantor, barangkali.”
“Setiap melamar kerja, saya tidak pernah mendapatkan panggilan,” jawabnya.
Kami pun kemudian melanjutkan perjalanan hingga sampai Karangkates.
“Celaka! Helm saya tertinggal di toko tadi, Om.”
“Kita makan siang dulu saja, setelah itu kita balik untuk mengambil helmmu.”
“Nanti terburu diambil orang. Saya ambil sendiri saja, Om makan duluan nanti saya susul.”
Lapuk segera menggenjot sepedanya dengan terburu-buru. Beberapa saat setelah saya menghabiskan sepiring nasi campur, Lapuk kembali dengan wajah muram.
“Diambil orang, Om. Saya tanyakan ke pegawai toko, katanya tidak tahu siapa yang mengambil.”
“Ya sudah, diiklaskan saja. Kebetulan di rumah ada helm masih bagus dan jarang saya pakai. Ambil saja. Sekarang kamu pesan makanan dulu.
Esoknya, sekira pukul 11 siang saya datangi tempat usahanya, sambil membawa helm yang saya janjikan kemarin. Dia menerima dengan mata berbinar.
“Terima kasih, Om.”
“Sama-sama”
Setelah mencoba helm, dia ambil sepedanya dan bergerak ke arah timur. Beberapa menit kemudian dia kembali dengan membawa 2 nasi bungkus dan teh hangat dalam plastik.
“Makan dulu, Om.”
Lapuk makan dengan lahap. Saya perhatikan wajahnya yang keras karena tempaan hidup sejak belia. Anak muda itu tidak pernah meminta untuk dilahirkan di keluarga yang tidak mendukung kesejahteraan hidupnya.
Bahkan dia tidak kuasa menolak, saat dilahirkan di sebuah keluarga yang berantakan, sehingga praktis dia membiayai sendiri hidupnya. Kedua orangtuanya lah yang menginginkan dia lahir ke dunia.
Ada banyak Lapuk lain di negeri ini, yang hidup dan diasuh oleh kehidupan jalanan. Maka bersyukurlah anak-anak yang lahir dari orang tua yang serba kecukupan dan bertanggungjawab pada anak-anak mereka. [T]