TONI, ALVIAN, DAN ROSE, sedang asyik bermain lompat tali di halaman kelas selepas pulang sekolah. Ketiga anak SD itu tampaknya memang sudah akrab, semacam ada jalinan persahabatan di antara mereka. Meski tetap bermain, dari raut muka dan perkataannya, Toni sebenarnya tidak senang bermain bersama Rose—yang seorang perempuan, katanya. Namun, berbeda dengan Toni, Alvian justru senang bahkan sampai membujuk si Toni untuk tetap bermain.
Sesaat setelah Rose melompati tali karet, segerombolan siswa laki-laki menghampiri mereka bertiga. Dari tampilan dan gayanya—baju tak dikancingkan dan tak dimasukkan dan topi dibalik kebelakang—atau bagaimana caranya bertutur, segerombolan murid laki-laki itu jelas termasuk siswa yang duduk di bangku bagian belakang: suka usil dan nakal.
Benar. Mereka datang bukan untuk ikut bermain, tapi jelas untuk meledek si Toni dan Alvian karena mereka berdua, alih-alih ikut gerombolan tersebut, justru malah memilih bermain bersama seorang perempuan: Rose, anak SD penyandang disabilitas tuna wicara dan rungu sekaligus.
Mendapat ledekan tersebut, Toni membujuk Alvian untuk berhenti bermain dan lekas pulang. Tapi karena si Rose masih mau bermain, kebalikannya, Alvian membujuk Toni untuk lanjut bermain. Dan sesaat setelah guru mereka menyapa, Rose tiba-tiba memegangi perutnya, ia seperti menahan sakit yang sangat.
Hal itu membuat kedua teman laki-lakinya kaget, bertanya-tanya, dan segera menghentikan permainan. Mereka istirahat, duduk di tangga depan kelas dan Rose tiba-tiba ambruk ke depan. Toni dan Alvian kaget bukan kepalang, kedua anak ingusan itu berusaha membantu Rose berdiri dan mereka tambah kaget, keder, melihat darah mengucur dari dalam rok merahnya si Rose.
Narasi di atas adalah fragmen dalam film pendek Bloody Rose (2022) karya Emilya Grasiana Dede atau yang lebih dikenal dengan nama Elsy Grazia, seorang sutradara muda sekaligus penulis naskah dari Kupang, Nusa Tenggara Timur. Bloody Rose adalah filmnya yang pertama.
Film pendek berdurasi sebelas menit itu bercerita tentang dua anak laki-laki—Alvian dan Toni—yang berusaha mencari pembalut untuk sahabat disabilitas mereka, Rose, yang mengalami menstruasi pertama di Sekolah Dasar.
Keterbatasan Rose sebagai difabel menjadi tantangan mereka berkomunikasi ketika ia mengalami menstruasi pertama. Tidak adanya akses pembalut di sekolah juga jarak warung yang jauh menjadi tantangan bagi mereka.
Di sisi lain, seperti yang sudah disematkan di awal, Alvian dan Toni mendapatkan tantangan dari kawan laki-lakinya yang menginginkan mereka terlihat macho, maskulin. Pilihan antara terlihat macho dan menolong sahabat mereka adalah realitas yang harus mereka tuntaskan—dengan humor-humor yang terkesan tidak dibuat-buat, tentu saja.
“Aku membuat film ini inspirasinya, selain dari pengalaman pribadi waktu SD, juga dari kegiatan komunitas yang aku ikuti—salah satu komunitas yang intens memfasilitasi soal masalah seksualitas dan reproduksi, termasuk menstruasi,” ujar perempuan muda sarjana Ilmu dan Teknologi Pangan, Universitas Udayana, kepada tatkala.co sesaat setelah selesai screening film di MASH Denpasar, Selasa (19/9/2023) malam.
Film Bloody Rose menjadi salah satu film pendek yang masuk dalam program Growing Pains Minikino Film Week Bali International Short Film Festival 2023 bersama enam film lainnya, yakni Zidane Roulette, Color-Ido (Color-Less), Princes (Les Princes), Man (Homen), Sandstrorm (Mulaqat), dan The End of Originality. Sebagai film debut, Bloody Rose termasuk film yang berhasil. Selain diputar di Minikino Film Week, film yang diproduksi Komunitas Film Kupang itu juga diputar di Jogja Netpac Asian Film Festival (JAFF) 2022.
“Kami syuting selama empat hari. Dan sampai jadi itu sekitar enam bulanan. Nah, sebulan sebelum syuting itu, kami mengadakan semacam latihan dulu—karena aktornya kebanyakan anak-anak, kan. Jadi, cukup memusingkan sebenarnya. Untungnya aku punya tim,” jelasnya sambil tertawa.
Elsy Grazia, sebagai sutradara, mengaku belajar banyak hal tentang film sejak bertemu dan berkenalan dengan Komunitas Film Kupang (KFK) tahun 2018 dan mulai terlibat aktif sebagai volunteer dalam setiap kegiatannya. Di tahun yang sama, ia memulai debut sebagai penulis skenario film Tiga Batu karya sutradara Emilianus U.K Patar.
“Sebelum bergabung dengan Komunitas Film Kupang, film yang aku tonton hanya film-film mainstream industrial. Tapi setelah bergabung, aku baru tahu kalau jenis film itu banyak. Nah, dari situlah aku mulai belajar tentang film,” terangnya.
Bagi Elsy—dan mungkin bagi kebanyakan orang yang tahu film di Kupang—KFK menjadi salah satu ruang penting dalam ekosistem perfilman di wilayah Indonesia timur, khususnya di Kupang, NTT. Komunitas film yang dibentuk sejak tahun 2013 itu—sebagaimana laman Filmmaker Indonesia mengabarkan—tidak hanya bergerak dan memikirkan aspek kreasi dan produksi saja, lebih dari itu, juga memikirkan aspek distribusi, konsumsi, dan apresiasi film-film pendek hasil produksi sendiri maupun pihak lain.
Selain mengadakan program workshop seputar produksi film, menurut informasi dari Elsy, KFK juga memiliki program bioskop alternatif yang dinamakan “Jumat di Garasi” (JDG). JDG bertujuan untuk, selain apresiasi terhadap karya film, juga strategi dalam mendistribusikan atau mengenalkan atau mendekatkan film anti-mainstream kepada publik yang lebih luas.
(Dalam sebuah artikel yang terbit di Jurnal Communio: Jurnal Ilmu Komunikasi menyatakan bahwa di Kota Kupang, budaya apresiasi film mulai muncul sejak lahirnya Komunitas Film Kupang atau yang lebih sering dikenal dengan nama KFK itu.)
Dari KFK kemudian lahir orang-orang seperti Elsy Grazia dengan Bloody Rose-nya. “Bloody Rose lahir juga atas campur tangan teman-teman di KFK,” ujar Elsy.
Kemiskinan Menstruasi
Seperti yang sudah disampaikan di awal, bahwa film Bloody Rose memang berangkat dari isu yang krusial bagi perempuan: kurangnya pengetahuan tentang menstruasi dan akases terhadap barang yang dibutuhkannya.
Hal itu memantik kesadaran sang sutradara, Elsy Grazia, untuk membuat film yang menggambarkan bagaimana 1) menstruasi itu masih dianggap tabu, bahkan aib; 2) kurangnya pengetahuan anak terhadap menstruasi; dan 3) bagi beberapa orang di pelosok pedesaan, pembalut masih sulit diakses, bukan saja persediaannya, tapi juga biaya untuk membayarnya. Dan dari ketiga hal tersebut dapat diringkas menjadi dua kata: kemiskinan menstruasi—atau dalam bahasa kerennya disebut period poverty.
Kemiskinan menstruasi adalah masalah yang timbul karena kurangnya akses perempuan ke produk menstruasi. United Nations Population Fund mendefinisikan period poverty sebagai kondisi di mana perempuan berpenghasilan rendah berjuang membeli produk menstruasi. Akses terhadap produk menstruasi yang dimaksud adalah kesulitan mendapatkan atau membeli pembalut, tampon, menstrual cup, akses toilet, serta penanganan limbah produk menstruasi—dan itu terjadi karena satu hal yang klise: kemiskinan.
“Ada banyak perempuan yang masih sulit membeli pembalut. Memang ada yang harganya murah, sekitar empat ribuan, tapi kan tidak semua perempuan cocok menggunakan produk tersebut. Dan pembalut paling bagus itu rata-rata harganya di atas dua puluh ribuan. Jadi, bagi mereka yang pendapatannya menengah ke bawah, masih sulit mendapatkannya,” terang Elsy.
Berdasarkan data dari poling UNICEF Indonesia menunjukkan bahwa 1 dari 5 anak perempuan di Indonesia mengalami kesulitan dalam mengakses maupun membeli pembalut, dan 1 dari 10 merasa malu dan kekurangan privasi dalam mengakses sarana sanitasi menstruasi. Hal ini juga terjadi di lingkungan sekolah yang dialami oleh sebagian besar remaja perempuan di Indonesia.
Pada tahun 2020, dari data yang disampaikan dalam laman Nona Woman, hanya sekitar 20,5% individu yang memiliki kemampuan dan kesempatan untuk mendapatkan akses Hak Menstruasi Sehat dan Kesehatan Reproduksinya. Artinya, ada sekitar 80% individu di Indonesia yang rentan mengalami period poverty.
(Yang dimaksud dengan Hak Menstruasi Sehat itu termasuk akses kepada edukasi tentang menstruasi, apa yang harus disiapkan saat anak perempuan masuk fase menarche (menstruasi pertama) hingga perempuan dewasa memasuki fase menopause; dan bekal informasi dan pengetahuan dasar tentang ketubuhan perempuan serta cara mitigasi jika mengalami kesakitan atau kesulitan saat menstruasi.)
Sedangkan, menurut data yang dihimpun BBC Indonesia, di Indonesia, perempuan mengeluarkan 1,7% penghasilan bulanan mereka untuk mengendalikan menstruasi, ini sekitar 20% lebih tinggi daripada rata-rata perempuan di negara-negara lain yang dianalisa. Dalam masa hidupnya, perempuan di Indonesia menghabiskan Rp16,9 juta untuk mengendalikan menstruasi.
Sementara itu, perempuan di Pakistan menghabiskan sekitar 6% pendapatan bulanan mereka untuk produk menstruasi, seperti pembalut, krim, dan obat penghilang rasa sakit. Jumlah ini lebih dari dua kali lipat proporsi rata-rata yang dihabiskan satu rumah tangga di Pakistan untuk biaya kesehatan dan pendidikan.
Selain kemiskinan, dilansir dari laman Narasi, stigma masyarakat juga turut andil dalam masalah period poverty. Masyarakat masih menganggap menstruasi adalah topik yang tabu dibicarakan. Hal tersebut tentu membuat mitos soal menstruasi banyak berkembang sehingga membatasi perempuan untuk mengakses hal yang sangat krusial baginya.
“Saya dulu punya teman saat SD, dan dia dibully karena menstruasi,” kata Elsy.
Kode-kode seperti “roti jepang” untuk menyebut pembalut adalah satu dari banyaknya mitos menstruasi. Belum lagi stigma bahwa perempuan yang menstruasi adalah “kotor” sehingga membuatnya harus diasingkan.
Benar, di beberapa negara, perempuan yang menstruasi kerap mendapat perlakuan diskriminasi. Dalam tradisi yang dianut penduduk Nepal, misalnya, sebagaimana diuraikan Yantina Debora dalam artikel Tradisi Chhaupadi: Saat Perempuan Haid Dianggap Membawa Sial, seorang perempuan yang tengah menstruasi atau haid tak boleh menginjakkan kaki ke rumahnya. Jika ketentuan itu dilanggar, mereka yakin petaka akan datang. Setidaknya setiap bulan, perempuan-perempuan di Nepal akan mendekam dalam gubuk, gudang, atau kandang hewan selama tujuh hari hingga periode menstruasinya selesai.
Tradisi pengasingan perempuan saat menstruasi itu oleh penduduk Hindu di Nepal disebut Chhaupadi. Tradisi ini sudah dipraktikkan selama berabad-abad di Nepal. Tak hanya dialami perempuan yang menstruasi, tradisi kuno ini juga berlaku bagi perempuan yang baru melahirkan. Rentang waktu pengasingan setelah melahirkan lebih lama, yakni selama 11 hari.
Tradisi ini juga masih dilakukan di beberapa wilayah di India dan Bangladesh. Selain diasingkan, para perempuan ini juga tidak boleh menyentuh suami dan saudara laki-lakinya. Jika laki-laki secara tak sengaja menyentuh perempuan menstruasi, laki-laki tersebut harus segera disucikan dengan air kencing sapi yang dianggap suci oleh penduduk setempat.
Dalam konteks film, jauh sebelum Bloody Rose, kemiskinan menstruasi telah dibahas dalam film Pad Man (2018) yang terinspirasi dari kehidupan aktivis asal India, Arunachalam Muruganantham. Perjalanannya dicatat oleh Twinkle Khanna dalam cerita fiksinya The Legend of Lakshmi Prasad. Film arahan sutradara R. Balki yang melibatkan aktor besar seperti Akshay Kumar, Radhika Apte, hingga Sonam Kapoor, juga membahas tentang sulitnya akses terhadap pembalut yang higienis serta ekonomis bagi kaum wanita di India.
Atau dalam film Borat Subsequent Moviefilm (2020)—semoga Wikipedia tidak salah—menampilkan adegan yang menggunakan humor dan ironi untuk menumbangkan tabu seputar menstruasi. Dalam adegan tersebut, Borat dan putrinya Tutar melakukan “fertility dance” di debutante ball, dan penonton sangat antusias dengan tarian tersebut hingga Tutar mengangkat gaunnya untuk menunjukkan bahwa dia sedang menstruasi, yang memicu rasa jijik dan pemogokan di antara kerumunan.
Adegan tersebut dipuji oleh para kritikus film karena menyindir stigma menstruasi yang umum. Seperti yang dikatakan oleh Lindsay Wolf dari Scary Mommy, karena masyarakat telah “dikondisikan…untuk berpura-pura bahwa periode tersebut tidak ada, menempatkannya dalam sorotan seperti yang dilakukan [dalam film] akan memaksa kita untuk menghadapi bahwa 1) hal tersebut terjadi, dan 2) kita harus melupakannya dan berhenti memperlakukan gadis-gadis seperti hadiah kecil mungil yang diam-diam memilikinya.”
Pada akhirnya, representasi menstruasi di layar yang lebih realistis dan akurat telah meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah perempuan dalam peran produksi di TV dan film, dengan contoh penting termasuk film The Runaways (2010), film animasi Turning Red (2022), serial TV Broad City tahun 2018, dan masih banyak lagi.[T]
Baca juga artikel terkait FILM atau tulisan menarik lainnya JASWANTO
Reporter: Jaswanto
Penulis: Jaswanto
Editor: Made Adnyana