LIHATLAH, betapa senang anak-anak bermain lumpur di tengah sawah, berlarian di pematang dan berlomba dengan tawa riang.
Di Subak Pamo, Tempek Nangka, di wilayah Banjar Cau, Desa Tua, Kecamatan Marga, Tabanan, anak-anak itu mengikuti Festival ke Uma IV yang diinisiasi Sanggar Burat Wangi, Tabanan, Minggu 10 September 2023.
Anak-anak yang bermain di tengah sawah yang sejuk dan asri itu berasal dari sejumlah sekolah dan sanggar anak-anak. Antara lain, anak-anak Sanggar Buratwangi, Wintang Rare dan Sanggar Abhinaya Candrakanti selaku penyelengara. Juga melibatkan anak-anak TK Widya Bhakti Desa Tua dan siswa SDN 1 Tua.
Ada juga remaja dari SMK 3 Marga serta ibu-ibu dari Paiketan Krama Istri (Pakis) Desa Cau dan Desa Tua.
Program-program acara dalam festival ini memang dimaksudkan untuk mendekatkan anak-anak pada alam di sekitarnya, yakni alam pedesaan, kebun dan persawahan.
Pagi-pagi mereka jalan “Lintas Pedusuanan” dengan rute Subak Kedokan, Subak Pamo, Subak Klaci, Subak Nangka, hingga sampai di Objek Wisata Kayu Putih di Banjar Bayan, Desa Tua.
Setelah menempuh waktu selama satu jam, peserta kemudian beristirahat lalu disuguhkan makanan ringan berupa bubur kacang hijau. Sambil mendengarkan suara Gender Wayang yang dimainkan penabuh wanita Sangar Buratwangi, para peserta tampak menikmati suasana alam persawahan.
Anak-anak bermain lumpur pada Festival ke Uma IV | Foto: Amrita
Sekretaris Desa (Sekdes) Tua, Ni Nyoman Sri Artini, kemudian membuka Festival Ke Uma ke-4 ini dengan penuh semangat.
“Saya memberikan apresiasi atas terselenggaranya Festival Ke Uma ini. Ajang ini dapat memberikan pengetahuan dan pengalaman bagi generasi muda terhadap sawah,” kata Sri Artini.
Sri Artinia mengatakan, festival ini sangat penting sebagai untuk melestarikan budaya agraris di Pulau Dewata. Apalagi, perkembangan jaman yang beitu cepat, anak-anak selalu bermain HP hingga melupakan permainan tradisional.
“Festival Ke Uma ini adalah cara untuk memperkenalkan permainan tradisional kepada anak-anak. Permainan tradisional dapat meningkatkan rasa persaudaraan, membangun rasa kerjasama, dan solideritas. Semoga ini bisa berlanjut dan dapat menghibur,” ucapnya
Acara dilanjutkan dengan “Mabalap Megandong” atau lomba menggendong teman sembari berlari untuk anak-anak TK dan SD di areal sawah.
Lomba paid upih di tengah sawah | Foto: Amrita
Lomba ini mengundang gelak tawa pengunjung festival ketika ada anak yang menggendong temannya yang lebih besar, sehingga tak kuat menggendong, apalagi berlari.
Demikian pula ketika lomba “Negul Saang Aji Tali Kupas” (mengikat kayu bakar dengan pelepah pidsang kering). Disamping dituntut mengetahui simpul, para peserta juga dituntut bisa “Nyuun Saang” (menjunjung kayu bakar) sambil berlari.
Ketika diputar musik, para peserta wajib goyang, namun tetap menjaga kayu bakar agar tidak jatuh. Menjaga kesimbangan menjadi kunci dari lomba ini.
Lomba yang menjadi perhatian pengunjung adalah “Paid Upih” (menarik pelepah pinang yang di atasnya duduk seorang anak). Paid upih merupakan lomba berpasangan yang dilakukan pada sawah yang berisi air dan penuh lumpur.
Walau demikian, permainan ini banyak peminatnya, sehingga panitia membagi menjadi dua kategori, yakni anak SD dan anak SMP, untuk putra dan putri. Para peserta wajib menarik upih mulai dari pematang timur hingga ke pematang barat, lalu kembali ke pematang timur.
Namun, saat kembali ke pematang timur penarik dan yang ditarik harus bertukar, sehingga sama-sama merasakan antara menarik dan ditarik untuk menumbuhkan rasa solideritas dam toleransi.
Lomba “Paid Upih” bahkan menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung festival. Anak-anak yang sebelumnya menolak ikut lomba “Pai Ubih”, setelah melihat teman-temannya asyik bermain lumpur, mereka akhirnya ingin menjadi peserta.
Karena terbatasnya alat dan waktu, hanya sebagian anak yang bisa ikut sebagai peserta. Walau demikian, tak menyurutkan niat mereka untuk terjun ke sawah bermain lumpur. Mereka tampak senang ketika berada di lumpur.
Mereka lari, berteriak, berguling sambil menyanyi hingga tubuhnya berwarna coklat kehitam-hitaman karena berlumuran lumpur.
Komunitas Budang Bading Badung pentas di kubu kandang sapi | Foto: Amrita
Panitia kemudian memaksa mereka untuk beristirahat, dan membersihkan badannya dengan air yang mengalir di subak itu. Para peserta juga pengunjung yang hadir di festival itu kemudian disuguhkan bubur Bali sebagai pengganti makan siang.
Suasana saat itu sungguh menarik. Ada yang makan bubur di pematang sawah, di kubu, dibawah pohon kelapa, di tegalan dekat tanman ketela ada pula yang makan bubuir di Bale Subak, seperti yang dilakukan oleh para petani tempo dulu ketika usai membajak sawah, menanam padi, panen padi atau aktivitas di sawah lainnya.
Festival kemudian jeda, para peserta dan pengunjung lalu pulang.
Festival Ke Uma kembali berlanjut pada pukul 15.00 Wita dengan kegiatan workshop Menulis Cerita yang menghadirkan Santi Dewi, seorang penulis sebagai narasumber.
Workshop ini diikuti oleh peserta para remaja dengan menusli cerita singkat untuk di Instagram ataupun Facebook. Bersamaan dengan itu pula, anak-anak setingkat SD mengikuti permainan tradisional Megandu yang dipandu oleh I Wayan Weda. Penggali dan pelestari permainan Megandu ini mengawali dengan sejarah dan nilai-nilai yang terkandung dalam permainan tersebut, lalu mempraktekan sebara langsung.
Anak-anak yang terlibat begitu banyak, sehingga dari awal sampai akhir taka da anak yang bisa digandu. Tokoh seni ini lalu membagi anak-anak menjadi dua, sesuai dengan jumlah bola gandu yang ada.
Permainan menjadi seru, karena anak yang bertugas sebagai pencari digandu (dilempari bola gandu) berkali-kali. Bahkan, setelah permainan usai masih ada yang megandu, walau mereka lari ke luar arena.
Permainan megandu | Foto: Amrita
Pemandangan itu ternyata menarik perhatian para Sekaa Teruna yang hadir. Mereka kemudian kompak ikut sebagai peserta Megandu. I Wayan Weda pun memberikan kesempatan, sehingga permainan Megandu dengan peserta para remaja itu berlangsung seru.
Hari semakin sore, pengunjung festival khususnya anak-anak lalu diajak mengikuti workshop membuat mainan dengan kayu bekas.
Workshop ini diberikan oleh seniman Jong Santiasa Putra bersama teman-temannya di Kacak Kicak Puppet Theatre. Para peserta diperkenalkan membuat mainan berupa ikan dengan berbagai jenis.
Bahannya, berupa kayu bekas dan tumbuhan yang ada disekitar sawah. Setelah ikan-ikan itu terbentuk, semua peserta kemudian dilibatkan dalam pementasan teater yang menarik dan menghibur.
Anak-anak mengikuti workshop membuat boneka dari kayu alam | Foto: Amrita
Para peserta tak hanya diajak kreatif untuk menciptakan sebuah karya seni, tetapi dituntut unruk mengenal lingkungannya sendiri.
Komunitas Budang Bading Badung yang menampilkan musikalisasi puisi sebagai sajian pamungkas dalam festival itu.
Sajian seni modern ini dikemas unik yang meminjak tempat di sebuah “Kubu” (bangunan mirip rumah sederhana, bangunan khas di subak di Bali).
Penonton yang hadir digiring ke “Kubu” munggil itu untuk bisa menyaksikan sajian seni yang penuh makna itu. Walau hari semakin gelap, namun penonton tetap setiap menyaksikan sajian seni ini hingga yang terkashir.
Saat itu, komunitas yang berdomisili di Kabupaten Badung ini menampilkan delapan musikalisasi pusisi secara beruntun.
Sekretaris Panitia Pelaksana Festival Ke Uma ke-4, I Gede Gita Wiastra mengatakan, Festival Ke Uma ini merupakan program nonprofit yang dikelola secara swadaya, serta melibatkan partisipasi warga.
Jong Santiasa Putra mengajar anak-anak membuat boneka dari kayu | Foto: Amrita
“Ada begitu banyak permainan yang kemudian mejadi seni pertunjukan tercetus di Uma. Permainan ini dilakukan tatkala rehat usai menanam padi di sawah. Mereka memainkan hal-hal yang ada di Uma untuk melepas lelah agar bisa bekerja kembali,” katanya.
Festival Ke Uma ini sebagai cara untuk mengenang itu kembali, sekaligus memberikan pengalaman kegiatan di sawah yang belakangan ini semakin ditinggalkan oleh anak-anak.
Meski mereka tidak menjadi petani, tetapi memiliki pengetahuan dan pengalaman di sawah akan menjadi bekal mereka ke depan.
“Karena itu, Festival Ke Uma mengingatkan kembali, bahwa Uma (sawah), selain sebagai tempat bekerja, juga jadi tempat berkumpul dan bermain,” katanya. [T]
Reporter: Amrita Dharma
Penulis: Amrita Dharma
Editor: Made Adnyana