PERINGATAN Puputan Badung akan dilaksanakan lagi tahun ini, tepatnya tanggal 20 September 2023. Kita yang tidak mengalami perang habis-habisan itu tentu memiliki berbagai pandangan. Pikiran manusia modern yang terlalu rasional mungkin saja bertanya, apakah sikap Puputan Badung itu sebentuk prestasi atau frustrasi karena menghadapi tekanan Belanda?
Bagi kutub yang menyatakan sikap itu sebagai langkah frustrasi, barangkali didasarkan atas perbedaan senjata yang digunakan kedua belah pihak dalam berperang. Belanda memiliki senjata meriam, bedil, dan granat yang canggih, sementara masyarakat Bali masih dominan menggunakan senjata keris.
Harusnya, perbedaan senjata tersebut membuat masyarakat Denpasar mundur agar tak banyak korban jiwa yang gugur akibat perang. Di samping itu, faktanya tak semua kerajaan di Bali kompak memusuhi Belanda. Sebagian kerajaan lain di Bali justru menjadikan Kompeni sebagai sekutu dan koalisi.
Di kutub masyarakat yang meyakini Puputan Badung sebagai langkah yang penuh prestasi biasanya tersemat nilai-nilai cinta tanah air, sikap kesatria, dan sikap yang totalitas dalam menghadapi masalah.
Kita tidak perlu berdebat soal itu, semangat zaman yang berbeda tentu akan melahirkan sikap yang berbeda. Yang ingin kita coba lihat adalah gambaran Ida Padanda Ngurah dalam Kidung Bhuwana Winasa mengenai tata cara seorang pemimpin dalam menghadapi tekanan masalah.
Berdasarkan pembacaan terhadap karya sastra yang juga diduga berjudul Rundah Pulina ini, kita mendapatkan suatu gambaran mengenai pemimpin Bali yang senantiasa “bersenjatakan sastra” dalam menghadapi berbagai tekanan. Dapat dikatakan bahwa sebelum mengambil sikap Puputan, sang raja telah melakukan sejumlah tahapan.
Ketika utusan Belanda di Batavia mendatangi Raja Denpasar seraya menagih ganti rugi atas perampokan Kapal Dagang Cina yang dituduh dilakukan warga Sanur, raja tidak mau menyerahkan begitu saja atas tuntutan itu.
Sang Pemimpin terlebih dahulu mengkonfirmasi kepada tokoh-tokoh masyarakat Sanur. Sikap ini adalah bagian dari ajaran Pratyaksa Pramana: yaitu memperoleh pengetahuan secara langsung dari pihak yang terlibat dalam suatu masalah agar segala sesuatunya menjadi jelas (mangda putus).
Setelah meyakini bahwa rakyat Sanur tidak melakukan penjarahan terhadap Kapal Sri Komala, barulah raja memutuskan untuk menolak tawaran itu. Beliau meyakini bahwa tuduhan atas rakyatnya tersebut sebagai salah satu bentuk cara mencari masalah yang tidak ksatria—yang dilakukan oleh orang Jawa (baca: Pasukan Belanda di Batavia).
Ida Padanda Ngurah dalam Kidung Bhuwana Winasa melalui tokoh Cokorda Denpasar menyatakan sikap orang Jawa itu dengan pernyataan pedas, “Terlampau busuk, tan ulahing satria!”
Penolakan terhadap tawaran utusan itu dapat diketahui dengan baik oleh Cokorda Denpasar, pasti membawa konsekuensi peperangan. Kemampuan memaknai tanda-tanda baik alam maupun tanda-tanda yang ditunjukkan oleh sesorang ini tampaknya merupakan pengejewantahan dari Anumana Pramana—kemampuan memaknai tanda, seperti menebak asap yang bersumber dari api.
Oleh sebab itulah pemimpin Denpasar segera menyampaikan berita ini kepada Raja Klungkung dan Raja Tabanan, dengan cara mengutus dua orang padanda bernama Pranda Ketut Jlantik dan Pranda Ketut Krutuk.
Dengan bantuan dua utusan itu, raja Tabanan segera datang ke kerajaan Badung untuk bertemu. Dalam pembicaraan yang serius antara raja Badung dengan raja Tabanan, terjadi dialog memaknai perang. Ida Padanda Ngurah tampak menitipkan makna perang bagi seorang ksatria dengan meminjam lidah tokoh Cokorda Denpasar dalam Pupuh Pangkur, I: 4-5.
Miwah Sira Paranata
Akaron lawan Tabanan mangkin
Liwar sukangkwa anulu
Yadyan katekaning baya
Suka nulus rasangkwa ya pareng anut
Prihalnyane peristiwa
Niti Sara rakweng aji
Sang sura menanging rananggana
Lwih wibawa danendra ya pinanggih
Susrama makara pinupul
Arabi ayuning ranyang
Lwih ta iku sang sura pejah ndatan surud
Lewih rasannyane amat
Agung swarga ya pinanggih
Dalam bahasa Indonesia:
Dan para kerabatku semua
Kini kita telah bersatu dengan Raja Tabanan
Amat senang hatiku menyaksikan
Walaupun akan datang marabahaya
Benar-benar gembira rasa hatiku sebab bersama ikut
Perihal kejadian ini
sudah termuat dalam ajaran Niti Sara (Niti Sastra)
Pahlawan yang menang dalam peperangan
Sangat mulia mendapatkan kekayaan
Pemberani disebut
Dapat memperistri wanita cantik
Seorang pahlawan tidak akan mundur sebelum gugur di medan laga
Itulah kenikmatan utama baginya
Ia akan memperoleh sorga yang utama
Dari kutipan di atas, dapat diketahui secara benderang bahwa ada kitab yang harus dijadikan pegangan wajib seorang pemimpin dalam menghadapi masalah, terlebih menghadapi peperangan. Ida Padanda Ngurah dalam fragmen cerita tersebut menyebutkan kitab Niti Sara, yang lebih populer dengan sebutan Niti Sastra sebagai pedoman.
Dalam pustaka tersebut dinyatakan pahlawan yang menang dalam peperangan, akan mendapatkan kemuliaan dan kekayaan serta istri yang cantik. Seorang perwira tidak akan mundur sebelum gugur di medan laga.
Setelah ditinjau dalam teks Niti Sara, kutipan tersebut memang tampaknya merujuk pada Kakawin Niti Sara. Dalam pustaka Niti Sara disebutkan Sang Sura pĕjahing rananggańa umusir ing Surapada iniring de parapsari “Seorang Pahlawan gugur di medan perang akan menempati sorga Wisnu didampingi oleh apsari”.
Beliau seolah ingin menyampaikan kepada kita yang hidup di hari ini, bagaimana tradisi Bali menjadikan sejumlah pustaka penting yang mesti dipegang oleh seorang pemimpin. Salah satunya adalah Niti Sastra, yang dalam tradisi Bali diyakini oleh Dang Hyang Nirarta.
Setelah raja Badung bertemu dengan raja Tabanan untuk menjalin koalisi. Tahap persiapan yang dilakukan sebelum Perang Puputan adalah bertemu dengan para mantri dan pendeta kerajaan. Pada bagian itulah Ida Padanda Ngurah “menjelaskan ihwal” penyebab perang harus dilaksanakan.
Melalui ungkapan yang disampaikan Cokorda Denpasar, beliau menulis bahwa sebab puputan itu dilaksanakan adalah mempertahankan ajaran agama (angukuhi patut rasaning aji).
Setelah melakukan seluruh tahapan itu, apa yang diduga menjadi kenyataan. Pasukan Belanda menyerang mulai dari pesisir timur wilayah Denpasar. Sedikit-demi sedikit semua wilayah mulai diduduki oleh Belanda.
Rakyat Bali yang melakukan perlawanan seperti wilayah Intaran, Panjer, Sanglah, Padang Sambian, gugur dalam mempertahankan kedaulatan wilayahnya. Perang sengit terjadi. Belanda dengan senjata bedil (brahmasara), meriam (lela), granat (jrenat) membunuh banyak prajurit Bali.
Pada situasi genting itulah, Ida Padanda Ngurah menceritakan bahwa Cokorda Denpasar pada malam harinya memanggil para pendeta (Sang Dwija) untuk meminta nasihat dan ajaran. Mari kita coba simak, apa ajaran yang diminta oleh seorang raja dalam situasi genting kepada purohita kerajaan.
Ahum ahum singgih praya sri diksita
Mapa rakwa lingning aji
Suyasaning lirang
Suramrĕtha dhiramrĕta
Sunyamrĕtha ika malih
Ndi ya dinungkap
Wratmaranikanang luwih
Ala tala pwa yata suksma elmuka
Yata pwa ya inungsi
Sumahur sang dwija
Singgih pwa Sri Naranata
Sunyamreta ya inungsi
Den sunyeng cita
Anganusmarakena ring jati
Jatinika ya taya mara ktresnan
Ya taya rakwa pinanggih
Lila wreneng cita
Den kukuh aywa simpang
Angungsi mati ajurit
Apan kasunyan
Parama durlaba jati
Dalam bahasa Indonesia:
Oh oh Pandanda yang suci
Bagaimanakah ucapan dalam ajaran agama
tiga jalan mati yang baik
mati dengan kepahlawanan [suramrĕta], mati dengan keteguhan [dhiramrĕta]
wafat dengan yoga Samadhi [sunyamrĕtha]
Yang mana baiknya dilaksanakan
Sebagai jalan yang harus ditempuh?
Coba terangkanlah ilmu yang sulit ini
supaya dapat saya tuju
lalu menjawab Sang Resi:
“Ya Sri Baginda”
Sunyamreta-nya patut dituju
Supaya ikhlas dalam hati
dan ingat pada kebenaran
Dan lagi supaya tidak ada keterikatan dalam hati
Serta tiada lagi memikirkan kesenangan
Kemabukan dalam hati
supaya kuat tidak boleh berubah
Akan mencari mati dalam peperangan
sebab keikhlasan hati itu
Sangat sulit sekali
Dari kutipan yang agak panjang di atas, dapat diketahui bahwa dalam situasi sulit itu seorang raja senantiasa meminta pencerahan kepada pendeta kerajaan (Purohita Kerajaan). Di sanalah peranan purohita.
Ternyata seorang raja dalam situasi seperti itu, akhirnya berlabuh untuk meminta penjelasan tentang hakikat kematian kepada sang pendeta. Sang pendeta juga menyarankan agar raja melaksanakan pembakaran mayat kakaknya [amasmi sira kakaji] dan melakukan upacara potong gigi [dantiayuning lampah].
Sang raja pun menuruti semua nasihat dari sang purohita [sang nata lintang misinggih]. Beberapa hari setelah meminta nasihat itu, Raja Denpasar melakukan upacara pitra yadnya dan upacara potong gigi, diiringi oleh para permaisuri kerajaan sesuai saran sang pendeta.
Meminta ajaran dari orang suci adalah bagian dari ajaran Agama Pramana. Ajaran ini adalah bagian dari upaya untuk memperoleh pengetahuan dengan cara memohon kepada orang-orang suci yang telah tuntas dalam ajaran sakala-niskala.
Teks Niti Sastra berpesan, sang sastrjnya wuwusniramrĕta sutusteng praja “seseorang yang berpengetahuan, nasihatnya bagaikan air suci keabadian yang menentramkan orang lain”.
Setelah semua nasihat tersebut dilakukan, perang masih terjadi di beberapa wilayah di Denpasar. Satu persatu perwira kerajaan dikalahkan. Akhirnya, Sang Raja turun ke medan peperangan. Dua senjata perang beliau yang bernama Jala Kadingding kehilangan tuahnya, hanya keris Singapragalah yang digunakan.
Ida Padanda Ngurah menceritakan gugurnya Cokorda Denpasar dengan sangat mengharukan. Dari uraian Ida Padanda Ngurah mengenai Perang Puputan Badung, dapat diketahui bahwa sejatinya perang itu telah dilakukan dengan landasan ajaran Tri Pramana yaitu Pratyaksa, Anumana, dan Agama Pramana.
Dengan jalan itulah, Samajnyana atau pengetahuan yang utuh dapat diraih. Melalui Samajnyana dan landasan sastra yang kuat, Perang Puputan dengan heroik dilakukan. Sekali lagi, Puputan Badung adalah perang yang dipersiapkan. Bukan dengan grasa-grusu. Ida Cokorda Denpasar melakukan perang habis-habisan itu dengan landasan pengetahuan yang benar (samajnyana).[T]
- Klik untukBACAartikel lain dari penulisPUTU EKA GUNA YASA