MALAM ITU penuh haru dan pecah pada puncak perayaan kemerdekaan RI yang ke 78 di Desa Tembok, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, Sabtu (26/8/2023). Acara dibuka oleh MC tepat pada pukul 20.00 Wita. Sekitar 500 orang memenuhi Balai Desa Tembok. Ini terhitung langka dan lumayan, mengingat, Desa Tembok biasanya ramai hanya saat hari raya saja.
Sebelumnya, serangkaian dengan perayaan HUT RI ke 78, pemerintah Desa Tembok dan Karang Taruna Yodhapura mengadakan perayaan dengan lomba-lomba permainan tradisional, layang- layang, dan banyak lomba hiburan lainnya.
Acara perayaan puncak malam itu sangat berbeda dari perayaan sebelum-sebelumnya. Dengan memacak tema “Merawat Budaya Merayakan Kebhinekaan”, acara yang biasanya lebih banyak seremoni, malam itu justru lebih banyak menampilkan budaya, seni, dan tradisi. Di antaranya, pementasan tarian Bali, hadrah, gamelan kreasi, genjek, dan kecak.
Pengisi acara kesenian, baik tari-tarian, silat, dan lain-lain, merupakan bagian—atau hasil—dari suatu ruang belajar di Tembok yang disebut “Rumah Bertumbuh”. Ruang belajar tersebut digagas oleh Pemerintah Desa Tembok kurang lebih satu tahun yang lalu. Begitu juga komunitas seni yang terdapat di Desa Tembok, baik dari agama Hindu maupun Islam.
Adapun persiapan acara ini dilakukan seminggu sebelumnya, terkecuali persiapan tarian kecak. Tarian Kecak persiapannya dibantu juga oleh beberapa dosen dari STAH Mpun Kuturan yang sedang melakukan pengabdian masyarakat di Desa Tembok.
Kolaborasi Dua Agama
Di Desa Tembok—yang terletak di ujung timur Kabupaten Buleleng—terdapat dua agama yang hidup berdampingan, yaitu agama Hindu dan Islam, yang sudah terawat kurang lebih 200 tahun lamanya. Sudah tidak asing lagi, sebagai masyarakat satu desa yang hidup berdampingan, kami selalu manjaga dan saling menghargai perbedaan dan menjadikannya keindahan.
Momentum kebersamaan tersebut juga dapat dilihat pada malam perayaan kemarin. Kali pertama perayaan HUT RI dilakukan dengan mengkolaborasikan kesenian kedua agama tersebut. Kata Kepala Desa Tembok, Dewa Koamang Yudi Astara, bahwasanya dengan merayakan kebhinekaan adalah arti sesungguhnya sebuah kemerdekaan.
“Kita bisa saling menghargai sebuah perbedaan/keberagaman, dan Bali adalah rumah untuk siapa saja, baik orang beragama Hindu dan agama lainnya,” tambahnya. Dan benar, perayaan ini menjadi ruang untuk menjalin kebersamaan tanpa adanya sekat agama dan lain- lain.
Sambil melanjutkan mengisap rokoknya, Dewa Komang juga menyampaikan harapannya ke depan supaya hal seperti ini bisa terus berlanjut—hubungan persaudaraan tanpa mempermasalahkan perbedaan. “Walaupun tahun depan saya tidak lagi menjadi Kepala Desa Tembok, karena berkesempatan untuk maju pada pemilihan legislatif di Kabupaten Buleleng tahun 2024 nanti,” ujarnya.
Undangan yang hadir pada malam itu di antaranya, dari perusahaan pendukung acara seperti PT. PRIMA LARVAE, Hotel Spa Village, dan Hotel Holiway, yang masing-masing diwakilkan oleh beberapa tim manajemen dan wisatawan yang kebetulan bermalam di hotel tersebut.
Kurang lebih ada 15 wisatawan luar negeri yang hadir, yaitu dari Jerman dan Amerika. Salah satu wisman Jerman, Carmen Matthiesen, yang tinggal di Holiway mengatakan baru pertama kali datang ke Bali dan sudah mengunjungi Ubud, Seminyak.
Menurut Carmen, acara seperti ini sangat luar biasa. Selain pertunjukan yang sangat menarik, ada nilai dari kebersamaan yang sangat erat yang ia kagumi. “Saya harap, hal seperti ini (menjaga persaudaraan dan kebersamaan) tetap dijaga dan melestarikan budaya-budaya yang diwariskan,” pesannya.
Selain pementasan seni, juga terdapat beberapa kuis seputar hari kemerdekaan yang diberikan kepada warga dengan hadiah uang tunai.
Pada akhirnya, masyarakat begitu antusias. Hal tersebut terlihat dari selama kurang lebih tiga setengah jam acara berlangsung, warga nampak begitu menikmati pertunjukan sampai selesai.[T]