LIDAH MANUSIA memiliki dua fungsi utama yaitu mengecap rasa dan mengucap kata. Mengecap enam rasa yang terdiri atas pahit, manis, asam, asin, pedas, dan sepat merupakan kemampuan lidah ketika makanan dan minuman masuk ke dalam mulut.
Meskipun makanan dan minuman telah tertelan, rasa itu sesungguhnya tidak hilang. Rasa tersebut telah dikirim pada saat yang bersamaan oleh lidah ke dalam pikiran karena pikiran adalah raja indria (rajendria). Sementara lidah adalah bawahannya yang disebut dengan jihwendriya. Karena rasa telah terekam dalam pikiran, maka pikiran senantiasa merindukan rasa yang menurutnya enak. Pikiran pada gilirannya akan terikat pada objek yang bernama rasa.
Mengucap kata adalah fungsi lidah yang secara teknis berkolaborasi dengan organ-organ wicara lain dan hembusan udara dari paru-paru. Yang menjadi pengontrol utama dari lidah untuk mengucap kata adalah pikiran. Dalam pandangan sastra klasik, hubungan antara kata dengan pikiran disebut dengan sabda dan idep.
Pikiran tak perlu jeda untuk menjadikan kata-kata sebagai duta atas dirinya. Lidah adalah abdi pikirian yang setia. Uniknya, sekali kata diucapkan, maka manusia seperti melesatkan anak panah yang tak kuasa lagi dikendalikan pemiliknya setelah ia lepas. Itu sebabnya para tetua Bali menganalogikannya dengan ungkapan “jika minyak tumpah masih bisa diambil dengan kapas, tetapi sekali kata terucapkan pemiliknya tak punya kuasa lagi atasnya”.
Kata-kata yang dikomandoi oleh pikiran, seringkali gagal dipikirkan efeknya oleh manusia ketika berkomunikasi dengan mitra tuturnya. Sejumlah karya sastra klasik menunjukkan betapa penderitaan yang mesti ditanggung oleh seseorang akibat dari kurang terkendalinya ucapan yang dilontarkannya. Telah jamak diketahui bahwa pustaka Adi Parwa menceritakan fragmen seorang Dewi Drupadi yang harus rela membagi cintanya kepada lima orang Pandawa karena Kunti salah memberi perintah kepada Arjuna.
Arjuna yang telah mendapatkan Drupadi dari swayembara harus mematuhi ucapan ibunya karena apapun yang didapatkan oleh Arjuna mesti dibagi dengan saudara-saudaranya yang lain. Menikahi lima orang laki-laki untuk satu orang perempuan tersebut adalah aib yang sering dijadikan oleh musuh-musuh Pandawa untuk menjatuhkannya.
Bukan hanya Drupadi yang menderita atas kata-kata yang dijatuhkan mertuanya. Karya sastra Uttara Kanda yang menceritakan ihwal kisah cinta abadi Rama dan Sita juga menarasikan mengenai kisah pilu seorang raksasa bernama Kumbakarna. Ia adalah saudara dari Rawana raja raksasa dari kerajaan Alengka termasuk juga Wibhisana, dan Surpanaka.
Sebagai seorang raksasa, mereka adalah pertapa yang sangat taat dalam mematuhi janji diri atau brata. Setalah ribuan tahun bertapa sesuai dengan caranya masing-masing, leluhur mereka yaitu Dewa Brahma berkenan turun ke dunia untuk memberikan anugerah. Brahma berturut-turut memberikan imbalan kepada para raksasa itu sesuai dengan permintaannya. Ketekunan Rawana dibalas dengan anugerah berupa kejayaan atas tiga dunia. Kegigihan Wibhisana dianugerahi kebijaksanaan. Ketetapan hati Surpanaka dianugerahi kesaktian yang tinggi.
Entah apa yang menjadi dasar pertimbangan Brahma. Ketika hendak memberikan anugerah kepada Kumbakarna beliau merasa ketakutan apabila anugerah itu disalahgunakan. Beliau tidak merasakan kecemasan yang sama pada saat memberi anugerah kesaktian tinggi kepada Rawana yang jelas-jelas juga berperangai raksasa.
Keganjilan tersebut menyebabkan kita sebagai peminat tanda memberikan perhatian khusus atas fragmen karya sastra ini. Dewa Brahma yang menduga bahwa anugerahnya akan disalahgunakan, lalu mengutus sakti beliau yaitu Dewi Saraswati untuk turun ke dunia dan berstana pada lidah Kumbakarna. Dengan menyusup di bagian lidah, Saraswati berhasil membelokkan permintaan Kumbakarna yang semula memohon sukasada atau kesenangan yang tiada henti, menjadi supta sada yang bermakna tidur terus menerus.
Atas kesalahan mengucapkan kata-kata itu Kumbakarna harus tidur terus-menerus sampai pada gilirannya dia akan menunjukkan patriotisme bela bangsanya ketika perang antara Rawana dan Rama meletus. Karena penghayatan atas karya sastra tersebut, sampai saat ini sebagian masyarakat Bali meyakini bahwa basuhan tirta yang dimohonkan pada topeng wayang wong Kumbakarna dapat membantu melancarkan anak-anak yang mengalami hambatan wicara. Mereka bersandar pada satu keyakinan bahwa Saraswati sebagai dewi kata-kata berstana pada lidah Kumbakarna.
Apakah ceritanya selesai? Belum. Melalui pustaka Arjuna Wiwaha, kita juga dapat mengetahui bahwa seorang raksasa bernama Niwatakawaca berhasil dikalahkan oleh Arjuna dengan cara memanah pangkal lidahnya. Sekali lagi karya sastra di atas memberi kita peringatan bahwa lidah menjadi sumber penderitaan bagi pemiliknya. Di tengah-tengah percaturan politik yang sarat dengan potensi ujaran kebencian, kisah-kisah ini penting dibaca ulang terlebih bagi calon pemimpin bangsa. Kita mesti menginsafi bahwa lidah itu bagaikan keris yang siap mengiris hati pendengarnya.
Pustaka-pustaka klasik tidak hanya menyuguhi kita pandangan negatif tentang ujaran. Dalam pustaka Nitisastra kita juga diberi pesan bahwa seorang yang telah membadankan sastra, kata-katanya ibarat air suci keabadian yang bisa memberi vitalitas hidup bagi pendengarnya (sang sastrajnya wuwusnira amreta padayangde sutusteng praja). Hari ini, masih adakah pemimpin yang berpegang pada sastra dan tutur leluhur? [T]
- Klik untukBACAartikel lain dari penulisPUTU EKA GUNA YASA