SEBAGAI GENERASI yang lahir di pertengahan tahun ’90an (saya lahir menjelang krisis moneter), saya besar dan tumbuh, selain bersama tayub dan wayang, juga musik dangdut, campur sari, orkes koplo, dan, tentu saja, musik pop cengeng—yang pada tahun 2000-an sedang menemukan momentumnya itu.
Tetapi, tumbuh bersama yang saya maksud tidak seperti yang Anda bayangkan. Pada kenyataannya, budaya massa seperti dangdut, campur sari, dan musik pop tak pernah betul-betul saya miliki, terutama secara fisik—dan itu terjadi karena satu hal yang klise: kemiskinan.
Tetapi benar, Karang Binangun hingga awal dekade ‘90an memang hanyalah dusun tegalan miskin pelosok yang tak tahu apa-apa tentang budaya urban yang sedang hit pada masa itu. Karena miskin dan pelosok, anak-anak seperti kami juga tak pernah punya riwayat mainan mahal (pabrikan), apalagi sampai berpikir untuk memiliki TV atau perangkat pemutar musik, mustahil.
Soal mainan, hampir semua yang kami mainkan hanyalah hasil tangan kami sendiri: kincir angin dari bambu dan lontar, layangan (sejauh yang saya ingat macam-macam namanya: puter tanggung, tanggalan, banyakan, biduan, dst…), gasing, roda-rodaan dari buah ental (lontar), pistol bambu, meriam bambu, hingga belakangan kami mengumpulkan banyak kantong plastik yang kemudian kami jejalkan semuanya, semuat-muatnya, ke dalam plastik bekas ukuran 1 kg dan kami bentuk sebulat dan serapi mungkin sampai menyerupai bola kasti (mainan yang sangat 3R, bukan?), dan masih banyak lagi—untuk nama-namanya, bentuk dan cara memainkannya lebih baik saya rahasiakan.
Atau pada saat kemarau panjang, bersama teman-teman saya senang membakar biji mete—yang dalam bahasa kampung kami menyebutnya: ukiran—di dekat telaga kecil kampung kami.
Kami menusuk biji-biji itu dan menyusupkannya ke lapisan terdalam dedaunan kering yang akan dibakar. Saat biji-biji itu sudah mengepul dan hitam arang, kami membukanya dengan batu. Serpihan arangnya memberi noda di tepi beton telaga—tempat kami merendam kaki ke dalam airnya yang dasarnya berlumpur dan penuh dengan pecahan cangkang keong.
Sebutir inti, kacang kecil di antara pecahannya, akan menggelinding ke mana saja, kami hanya perlu mencucinya dengan air telaga keruh yang kecokelatan. Kadang-kadang tidak.
Sementara itu, di saat kami sedang asyik menikmati gurihnya biji mete dengan mulut belepotan hitam arang—saat jalanan terasa panas seperti dipanggang dan angin kering berembus membawa debu dan aroma kotoran ternak—orang-orang dewasa berlalu-lalang di ladang kering dengan gertu-gerutu.
Di atas adalah sedikit—sangat sedikit bahkan—gambaran masa kecil kami sebagai anak kampung miskin di pelosok daerah yang kaya akan batu kapur dan tanah liatnya itu—yang tentu sudah menjadi milik pabrik semen sekarang. Jadi, dengan kondisi demikian, sekali lagi, mustahil kami mempunyai perangkat pemutar musik sendiri.
Ya, kami menikmati musik dari curi dengar di TV atau pemutar musik milik orang lain atau di acara hajatan-hajatan tetangga kami yang kaya. Saat itu, perangkat musik bagi kami sama mahalnya dengan mainan berisi batrai yang diremot bisa bergerak sendiri. Ini klise, tapi sepenuhnya benar. Dan saya pikir bukan saya saja yang punya pengalaman seperti ini.
***
Mengenai musik pop, khususnya band, generasi saya menemui banyak sekali grup di tanah air. Seolah algoritmanya dulu seperti itu. Grup-grup seperti Paterpan, Wali, Sheila on 7, Kangen, Dewa 19, Padi, Jikustik, Ada Band, Samsons, Ungu, Kerispatih, Armada, Kuburan, dan lainnya, lagu-lagunya berseliweran di telingan kami.
Tetapi, dari sekian banyak nama grup band yang muncul di era itu, setidaknya hanya Kangen Band yang paling membekas di ingatan saya sebagai anak kampung. Hal tersebut bukan saja karena band ini waktu itu sedang—meminjam istilah sekarang—viral-viralnya, tapi juga karena lagu-lagu dari band ini yang pertama saya miliki secara fisik. (Pada usia saya ke-15, bapak membeli TV berserta VCD-nya.)
Pada awalnya saya tidak tahu saat teman-teman saya menyanyikan lagu dewasa dengan lirik “… tapi kamu kok selingkuh” atau “…empat belas hari kumencari dirimu” yang hit itu sampai seorang teman saya di sekolah dasar bilang, “Ini lagunya Kangen Band, Jas. Grup band yang sedang terkenal.” Semenjak saat itu, saya sering nongkrong di rumah salah seorang teman yang memiliki VCD untuk mendengar dan ikut menyanyikan lagu-lagu Kangen Band beramai-ramai.
Grup band yang dibentuk di Bandar Lampung pada tahun 2005 oleh Dodhy (Gitar), Andika (Vocal), Tama (Gitar), Bebe (Bass), Izzy (Keyboard), dan Baim (Drum) ini, tak membutuhkan waktu lama untuk memikat hati saya—maksud saya, hati kami. Pasalnya, lagu-lagu yang mereka ciptakan dan nyanyikan sungguh sangat mudah untuk kami ingat. Apalagi saat album ketiga mereka yang diberi judul “Pujaan Hati” (2008), dengan hit single “Terbang Bersamaku” dan “Pujaan Hati” rilis, kami semakin terpikat dengan grup band yang berhasil masuk sebagai Grup Band Tervaforit pada SCTV Award 2007 itu.
Lagu “Terbang Bersamamu” dan “Pujaan Hati” selalu kami nyanyikan di kelas saat guru belum hadir dengan meja sebagai drum-nya. Saya memukul-mukul meja—atau lebih tepatnya menggebrak-gebraknya—dengan penuh antusias dan teman saya Suyono tampil sebagai vokalis dan, tentu saja, sambil membayangkan sedang konser di atas panggung yang penuh lampu sorot dengan ratusan ribu penonton yang berteriak histeris karena melihat aksi kami.
Tak hanya dua lagu itu saja sebenarnya, lagu “Tentang Aku, Kau, dan Dia” (2007) dalam album dengan judul yang sama juga menjadi lagu yang tidak pernah terlewatkan kami nyanyikan di kelas maupun di rumah. Belakangan saya tahu, tak main-main, album ini langsung menyabet Golden Award karena penjualannya melebihi angka 150 ribu kopi. Fantastis.
Seorang teman membeli poster Kangen Band di lapak penjual CD bajakan di Pasar Hewan Kecamatan Kerek—zaman itu kami biasa membeli CD bajakan full album seharga sepiring nasi pecel lengkap dengan paha ayam. Lalu dia menempelkannya di dinding kayu rumahnya.
Kami memandanginya lekat-lekat. Dari atas sampai bawah. Dari ujung rambut sampai ujung kaki. Salah seorang teman berkata dengan sangat percaya diri sambil membasahi rambutnya dengan air lalu menatanya sedemikian rupa sampai menyerupai sosok dalam poster. “Kita harus membuat grup band.” Sialnya, kami semua mengangguk tanda setuju.
Pada waktu itu, sebagai anak kampung miskin pelosok pinggiran yang tak mungkin dapat mengikuti jejaknya, Kangen Band bagi kami merupakan grup yang sempurna. Anggapan itu tentu tidak memiliki argumen atau analisis intelektual seperti misalnya yang ditulis Rhenald Kasali dalam buku Cracking Zone. (Kangen Band, menurut Rhenald, dinilai sebagai sebuah fenomena yang menggambarkan naik kelasnya kalangan ekonomi bawah ke kelas menengah secara masif.)
Belakangan saya tahu, band yang kami anggap sempurna itu, meski disambut meriah oleh pasar dengan penjualan sampai menembus 300.000 keping CD, kehadiran mereka mengejutkan karena baik penampilan maupun kualitas musik dianggap di bawah band menengah-elit. Kehadiran mereka juga dituduh merusak kualitas musik Indonesia seperti komentar sengit dari David Bayu, vokalis band Naif.
Dalam sebuah acara yang diadakan oleh Rollingstone, secara terbuka Bayu menyatakan keberatannya terhadap Kangen Band, termasuk label tempat bernaung band tersebut. Keberatan pria pelantun lagu Benci untuk Mencinta (2005) itu dilatari oleh banyaknya produser musik yang pada saat itu cenderung mematikan heterogenitas musik Indonesia dengan hanya fokus menggarap band-band bercorak pop melayu.
Benar. Pada pertengahan tahun 2000-an, sekali lagi, grup band (melayu) tanah air memang sangat menjamur seperti musik indie saat ini. Dalam hal ini, Kangen Band kemudian bukan satu-satunya grup yang kami letakkan dalam dada kami. Ia harus rela berdesakan dengan band-band yang lebih dulu dibentuk tapi kami baru tahu lagu-lagunya atau band-band yang baru dibentuk setelahnya.
Kami memasukkan Radja Band, Wali Band, Letto, Kuburan Band, Hijau Daun, D’Bagindas, D’Masiv, Armada, Republik, The Virgin, Viera, Peterpan, Vagetoz—dan masih banyak lagi—ke dalam saku dada kami masing-masing. Meski sekarang, semakin ke sini, semakin pudar dan tergantikan oleh penyanyi-penyanyi pop baru yang lebih segar dengan mengusung tema yang bagi generasi sekarang relevan: self love—meskipun tema cinta cengeng tetap tak tergantikan.
Tetapi, terlepas apakah kualitas lirik dan musik mereka ketengan atau tidak, yang jelas, berkat grup band tersebut, kami, anak-anak udik Dusun Karang Binangun, pernah memiliki pilihan cita-cita selain menjadi polisi, tentara, guru, dokter, dll. Kami mendadak bercita-cita menjadi vokalis, gitaris, basis, pianis, maupun drumer. Hidup generasi kami menjadi lebih berwarna.
Namun, pada akhirnya, kami harus bangun dari tidur dan disadarkan oleh realita bahwa untuk menjadi anak band tak semudah membalikkan telapak tangan. Cita-cita kami patah dan terlupakan, seperti saat Andika dan Izzy—dua personil Kangen Band—ditahan polisi sebab narkoba. Tahun itu menjadi awal band pujaan hati ini mulai meredup.[T]