PADA tahun 2015 A.A. Raka Sidan meluncurkan lagu pop Bali yang berjudul ”Kenceng”. Lagu ini adalah potret kritis kehidupan mahasiswa. Ketika mahasiswa-baru memasuki dunia kampus pada pertengahan Agustus ini, ”Kenceng” relevan dijadikan renungan kritis. Esai ini membahas muatan lagu tersebut yang dikaitkan dengan kritik pendidikan kepada mahasiswa.
W.S. Rendra menulis sejumlah puisi yang mengritik dunia pendidikan seperti pada ”Sajak Sebatang Lisong” atau ”Seonggok Jagung di Kamar”. Semua kritik pendidikan Rendra ditujukan kepada pemerintah, pihak yang paling bertanggung jawab terhadap pendidikan. Sasaran kritiknya juga terhadap lembaga penyelenggara pendidikan.
Sementara itu, kritik Iwan Fals tidak hanya kepada kehidupan guru Indonesia yang miskin lewat lagu ”Umar Bakri” (1981) tetapi juga terhadap lulusan perguruan tinggi yang adalah kaum pengangguran terdidik dan hanya bisa mengemis pekerjaan, dalam lagu ”Sarjana Muda” (1981).
Rupanya dunia pendidikan masih membuka banyak kemungkinan untuk disoroti. Di Bali, A.A. Raka Sidan melontarkan kritik atas kehidupan mahasiswa dalam salah satu lagunya. A.A. Raka Sidan berbeda dengan Rendra atau Iwan Fals dalam hal itu. Kritik Pendidikan pada “Kenceng” sama sekali bukan terhadap dosen, guru, pendidikan sebagai lembaga atau infrastruktur, atapun pemerintah. Yang dikritik pedas oleh A.A. Raka Sidan justru mahasiswa. Ya, mahasiswa!.
Kritik itu, ketika berbagai lembaga akreditasi atau perubahan paradigma layanan pendidikan memposisikan mahasiswa sebagai ”anak emas”; tampak sebagai suatu sikap bahwa permasalahan pendidikan itu justru datangnya dari subjeknya (siswa/mahasiswa). A.A. Raka Sidan seolah tengah mengakui bahwa yang salah dalam pendidikan itu adalah mahasiswa yang jadi pemalas dan mudah kena pengaruh.
”Kenceng” menceritakan seorang mahasiswa sejak awal kuliah. Kisahnya dimulai dari kehidupan baru mahasiswa di kota, di sebuah kamar kos yang digambarkan ”acak-acakan”; generalisasi kehidupan anak kos yang jauh dari orang tua atau keluarga sehingga bebas dan tidak terurus! A.A. Raka Sidan memulai menggambarkan dengan sangat menarik.
Di kamar cenik tiga kali tiga
Medug dug cen buku cen celane cen anduk cen kasur
Tiang menongos
Kost
(Ukuran kamar itu hanya 3×3 meter. Di dalam kamar ini bercampur aduk berbagai benda khas mahasiswa, seperti buku dan pakaian.)
”Kenceng” menggambarkan latar belakang atau alasan para mahasiswa untuk kuliah adalah karena harapan, dukungan, dan motivasi orang tua. Pada tingkat mahasiswa, tidak semua orang tua memiliki harapan tersebut. Mengingat biaya kuliah yang tidak terjangkau dan walaupun ada berbagai biasiswa dari BUMN atau negara, namun itu semua masih tidak cukup; hanya sedikit saja orang tua yang bisa menguliahkan anaknya. Selebihnya adalah setamat SMA/SMK memilih bekerja atau syukur bisa kuliah D1 di bidang kapal pesiar.
Namun demikian, A.A. Raka Sidan menceritakan orang tua yang memiliki harapan besar kepada dunia pendidikan tinggi atau universitas, dalam lagunya ini. Di tengah dunia pendidikan yang sebelum era MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka, yang digawangi oleh Bapak Nadiem Anwar Makarim), harapan atas pendidikan itu nyaris pupus, dan hilangnya kepercayaan kepada dunia pendidikan (karena hanya mencetak pengangguran terdidik, seperti lagu ”Sarjana Muda”); rupanya harapan untuk memberi jaminan masa depan anak-anak mereka; masih ada.
Atas harapan itulah roda pendidikan di kampus-kampus bergerak. Berbagai episode merdeka belajar yang telah diluncurkan, mampu mengubah potret buran, stagnasi, dan birokratisme dunia pendidikan yang mengarah masif.
Lagu ini kemudian menjelaskan alasan terbesar bagi seorang mahasiswa untuk kuliah. Ternyata itu semua karena dorongan orang tua semata. Itu semua atas harapan orang tua. Secara gamblang dilukiskan sebagai kutipan di bawah ini.
Rerama ngarepin tiang melajah
Megedi ling jumah
Kone otak tiang pang wayah
Ne jani kuliah
Peran orang tua atau keluarga paling penting dalam proses pendidikan di universitas, terutama dalam memberi jaminan finansial atau pihak yang menanggung seluruh biaya pendidikan. Kuliah bagi orang tua memang untuk menyiapkan anak-anak mereka agar menggenggam masa depan atau mendapat pekerjaan dan hidup dengan penghasilan yang memadai. Namun, harapan jangka pendek orang tua dalam pendidikan, sejalan dengan kutipan tersebut, adalah agar seorang mahasiswa menjadi cerdas. Dalam kutipan di atas, A.A. Raka Sidan menggunakan ungkapan yang sangat sederhana tetapi syarat makna, ”otak tiang pang wayah”. Hal ini mencerminkan suatu harapan yang timpang dalam dunia pendidikan, jika dipandang dari tujuan pendidikan tiga ranah (kognitif, apektif, dan psikomotor). Namun demikian, bahasa lagu yang sarat pertimbangan kreatif, harus diterima sesuai dengan pakem musik yang berlaku.
Walaupun harapan orang tua yang dinyatakan ”otak tiang pang wayah” yang mana otak identik dengan alat biologi untuk berpikir (ranah kognitif) namun bagian lirik ini dapat dimaknai bahwa tujuan atau harapan orang tua terhadap pendidikan tinggi, ya, tidak jauh-jauh amat dengan kebijakan-kebijakan atau pembaruan pendidikan. Hanya saja, bahasa awam atau bahasa masyarakat tentu tidak persis dengan bahasa ilmiah. Inti lirik ini adalah, seorang mahasiswa memutuskan untuk kuliah karena adanya dorongan orang tua. Anak memikul harapan itu di pundaknya.
Pertanyaan yang muncul, di samping harapan mulia tersbut, apakah seorang mahasiswa dalam lagu ini sejalan dengan harapan orang tua? Secara implisit, bagian lirik ini menyatakan bahwa, tanggung jawab anak dan rasa hormat kepada orang tua menjadi motivasi mereka menuju universitas.
Memang dalam berbagai pengalaman, sering muncul konflik harapan antara anak dan orang tua dalam kuliah atau dalam memilih prodi atau fakultas.
Di luar betapa mulia harapan orang tua dan betapa tinggi tanggung jawab anak atas orang tua dan demi itu semua siap memikul harapan itu; A.A. Raka Sidan menghadirkan sosok mahasiswa yang menyimpan potensi gagal menjalankan harapan orang tua.
Mule ling jumah
Ngabe penyakit memunyah
Ne jani kuliah
Tiang paling ngenah
Masuk kapah kapah
Persoalan berupa kebiasaan yang menyimpan potensi besar untuk menghambat kemajuan studi di kampus ada pada diri mahasiswa. Hal itu digambarkan dalam lirik yang dikutip di atas. Pada kutipan itu, persoalan atau kebiasaan buruk mahasiswa bersangkutan adalah kebiasaan minum atau ”ngabe penyakit memunyah”.
Ini adalah salah satu representasi dari sekian banyak persoalan yang dimiliki oleh mahasiswa baru. Mereka mungkin ada yang sama sekali gagal karena persoalan-persoalan yang dibawa sejak awal tidak mampu mereka atasi. Atau sebaliknya, ada banyak yang sukses dan berbagai persoalan sama sekali tidak menjadi hambatan dalam studi mereka.
Sehubungan dengan persoalan tersebut, A.A. Raka Sidan, tampaknya sangat moderat. Dengan persoalan ”Mule ling jumah, Ngabe penyakit memunyah”, seorang mahasiswa bisa mengembangkan potensi positif atau potensi produktifnya. Ini terjadi pada tahun-tahun awal di kampus, tepatnya pada semsetr I, II, dan III. Pada semester ini digambarkan mahasiswa tersebut hampir menunjukkan karakter atau jati diri mahasiswa yang ideal.
Semester awal satu dua tiga
Mule sedeng demene tiang
Yening teke ke kampus
Lakar melajah
Pada semester-semester tersebut, A.A. Raka Sidan menggambarkan mahasiswa memiliki kegemaran belajar, selalu terdorong untuk datang kuliah ke kampus. Singkatnya, motivasi belajar mahasiswa tidak perlu diragukan. Tidak lupa juga, A.A. Raka Sidan menyampaikan ada sejumlah faktor pendorong daya belajar mahasiswa, seperti adanya pandangan posisif mahasiswa terhadap kampusnya yang megah dan para dosen yang sangat ramah.
Bagi penyelenggara Pendidikan tinggi, di tengah era yang lebih berpihak kepada mahasiswa; faktor keramahan dosen dalam memberi layanan akademik dan bimbingan, rupanya menjadi hal yang utama sehingga bagian itulah ditulis menjadi lirik dalam “Kenceng”. Daya tarik lain universitas, tentu fasilitas yang modern, relevan, dan memadai sehingga “Kampuse megah” adalah pemenuhan harapan infrastruktur visual yang didamba mahasiswa. Daya Tarik kuliah sebagai sebuah sebuah proses pendidikan di lembaga pendidikan tinggi, di hati mahasiswa, digambarkan sebagai berikut oleh A.A. Raka Sidan.
Ulian mekejang tepukin melah
Kampuse megah
Dosen dosene ramah Tunangan
Tiang masih ngelah
Di tengah segala keramahan dosen dan kemegahan kampus, tentu dimensi romantisme mahasiswa tidak bisa diabaikan. Hal ini telah dibuktikan dalam berbagai kisah cinta dalam pendidikan tinggi. Yang paling tua adalah khazanah kisah cinta dalam San Pek Eng Tay. Hampir terlalu banyak sastra pop Indonesia mengangkat tema romansa cinta, bahkan tidak hanya di antara sesama mahasiswa tetapi cinta beda “kasta” antara mahasiswa dan dosen, seperti “legenda” romansa cinta di fakultas psikologi, Kampus Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta), Cintaku di Kampus Biru (Ashadi Siregar, 1974).
Pun demikian juga tampak dalam “Kenceng”, yang merupakan satu motivasi penting bagi mahasiswa untuk lebih bersemangat kuliah. Sehubungan dengan masalah itu, A.A. Raka sidan menulis dalam lirik lagunya, “Tunangan Tiang masih ngelah”. Namun, cinta selama kuliah kadang-kadang menjadi salah satu faktor kegagalan studi.
Tetapi di samping semua itu, harapan orang tua, kepatuhan dan rasa hormat berlimpah tanggung jawab seorang anak, dan daya tarik iklim belajar di kampus yang megah dengan dosen yang ramah; memang tidak menjadi jaminan, seorang mahasiswa dapat menwujudkan harapan keluarganya yang berbayar sangat mahal.
Pada bagian itu, A.A. Raka Sidan seperti tengah menyenandungkan sebuah tragedi kehidupan mahasiswa. Tragedi itu, melanda pada semester-semester di paruh akhir masa studi. Apa yang dilukiskan pada bagian ini oleh A.A. Raka Sidan mirip sekali dengan yang dialami Lambo (siswa SMA di Yogyakarta) dalam novel Lambo (N. Marewo). Demikianlah, motivasi belajar mahasiswa nyaris terhenti digantikan oleh motivasi lain, untuk mencari kesenangan atau hedonisme dalam skala dan pengertian yang luas; atau bisa juga sebuah kesadaran untuk menolak Pendidikan!
Nanging di tengah
Semester papat lima nenem
Tiang Ngelaleng
Demen pesu peteng
Kanti sekripsine nganceng
Bagian ini memang terbukti menjadi pemicu kegagalan, bermula pada terbengkalainya proyek akhir menyusunan skripsi (Kanti sekripsine nganceng). Kutipan tersebut menggambarkan telah terjadi peralihan pada prinsip hidup mahasiswa. Peristiwa ini bisa saja terjadi dan pada konteks ”Kenceng” A.A. Raka Sidan telah menyiapkan ”kunci” mengapa tragedi ini pada akhirnya menjadi fakta penghancur harapan meraih masa depan lewat kuliah. Hal ini diselipkan sejak awal lirik dan berhasil dengan baik sehingga terkesan mahasiswa tersebut siap dan bulat pergi kuliah demi harapan, kehormatan, dan tanggung jawab kepada orang tua dan keluarga. Pun pihak orang tua, dibangun sebagai pribadi yang otimis bahwa anaknya tidak bermasalah dan pasti sukses jadi sarjana.
A.A. Raka Sidan mengingatkan secara halus, bahwa, niat baik orang tua masih harus dikonstelasikan dengan diri sang anak. Orang tua berdiri di rel segala niat baik dan pengorbanan atau “investasi” kepada anak tercinta. Itu harga mati. Tapi anak ada dalam dua kemungkinan yang sama-sama kuat: (1) menjalankan niat baik orang tua demi diri sendiri di masa depan atau (2) hidup berpura-pura baik, berpura-pura hormat, atau berpura-pura bertanggung jawab kepada kedua orang tua. Keduanya dilukiskan oleh A.A. Raka Sidan. Pada fase awal kehidupan anak (mahasiswa) ia benar-benar menjadi mahasiswa yang baik. Tetapi hal itu tidak bertahan lama karena berganti dengan ”tragedi” yang bersumber pada penyakit lama
Mule ling jumah
Ngabe penyakit memunyah
Ne jani kuliah
Tiang paling ngenah
Masuk kapah kapah
Yang bisa dibicarakan terkait dengan perubahan ke arah yang buruk tersebut, mungkin persoalan gagalnya pendidikan tinggi membangun karakter mahasiswa. Mahasiswa yang pintar tetapi gagal dalam hal pembentukan karakter sehingga mereka terjerumus dalam kubangan kegagalan dan menjadi ancaman di masa depan! Hal ini bisa dijadikan poin yang dikritik dengan cara halus oleh A.A. Raka Sidan bahwa pendidikan tinggi bisa mencerdaskan mahasiswa namun gagal mengubah perilaku buruk mereka.
Artinya, pendidikan akademik, intelektual, berjalan di satu sisi dan mencapai sukses pada ranah kognitif mahasiswa namun pada sisi lain, pendidikan tinggi abai kepada karakter budi dan soft skill (kecakapan hidup). Lagu ini mengiritik pendidikan yang tidak berintegritas dan telah menghancurkan harapan masyarakat dan masa depan mahasiswanya sendiri.
Jika saja pendidikan yang berkarakter kuat dan terintegrasi dengan dua ranah lain secara holistik dan autentik, (sikap dan tindakan) maka mahasiswa yang menjadi aku lirik ”Kenceng”, tidak akan mengalami tragedi dalam masa paruh akhir yang paling menentukan kuliahnya. Dengan pendidikan yang utuh (kognitif, apektif, dan psikomotor), seorang mahasiswa, sebagaimana yang digambarkan di dalam lagu ini oleh A.A. Raka Sidan, tentu akan terhindar dari kondisi.
Sangkane tiang sing kukuh
Ne jani payu memuduh
Ulian enggal kene pengaruh
Bagi mahasiswa baru, tentu saja dapat becermin dari lagu itu. Dengan demikian, dapat lebih konsisten dalam menjalani proses studi di kampus. Meskipun paradigma pendidikan tinggi sudah banyak berubah; namun kegagalan dan keberhasilan itu masih tetap ada di tangan mahasiswa sendiri!
Nasib ”aku lirik” dalam ”Kenceng” tidak jelas atau dapat sejatinya gagal! Dalam ”Sarjana Muda Iwan Fals”, nasib seorang tamatan pergurian tinggi terbilang pahit: menjadi pengangguran. Karena itulah dengan segala daya upaya universitas hendak mengeliminasi nasib buruk mahasiswa baik dalam ”Kenceng” dan ”Sarjana Muda”. [T]
- BACA artikel lain dari penulis I WAYAN ARTIKA