DALAM LANSKAP sastra kawi, adikawya Kakawin Rāmāyana dinobatkan sebagai kakawin tertua, terpanjang, dan terindah dalam jenisnya (JJ.Ras, 2014: 61). Sebagai bagian dari karya sastra dunia, kakawin yang dalam tradisi Bali diyakini digubah oleh seseorang berkualitas Yogiswara ini berisi eksiklopedi pengetahuan tentang persoalan hidup secara menyeluruh, termasuk di dalamnya figur manusia ideal berjiwa mahardika.
Jiwa-jiwa mahardika idealnya tumbuh dan terbit di dalam relung-relung hati anak bangsa, di tengah-tengah kemerdekaan yang telah diraih melalui pengorbanan keringat bercampur darah oleh para pejuang pada zamannya. Jiwa mahardika menjadi harapan ideal untuk mengisi kemerdekaan yang diperjuangkan oleh para pahlawan kusuma bangsa, sebagaimana seremonialnya kita peringati saban 17 Agustus setiap tahunnya.
Seorang penekun studi Linguistik Historis Komparatif, James T. Collins dalam bukunya Bahasa Sansekerta dan bahasa Melayu menyatakan bahwa kata mahardika inilah yang berevolusi menjadi kata merdeka. Hal ini juga dikonfirmasi oleh Mukunda Madhava Sarma dalam bukunya “Elements of Sanskrit in Indonesian” (1985).
Kata ‘maharrddhika’ yang berasal dari bahasa Sansekerta, dalam prasasti-prasasti berbahasa Melayu pada abad ke-7 semula bermakna ‘kuat’. Lebih lanjut dikatakannya, kata ‘maharddhika’ yang telah mengalami evolusi fonologis menjadi kata ‘mardika’ tersebut pada abad ke-17 mengalami perubahan makna menjadi ‘hamba atau abdi yang dibebaskan dari ikatan undang-undang sebagai abdi, sehingga dapat berdiri sendiri’. Kini kata ‘mardika’ dalam bahasa Indonesia mengalami tahapan perubahan bentuk menjadi kata ‘merdeka’ yang secara semantik bergayut erat dengan ranah politik modern dengan pemaknaan ‘bebas dari penghambaan dan penjajahan, berdiri sendiri (KBBI, 1989: 577).
Kata mahardika dalam Kakawin Rāmāyana disebutkan pada fragmen menghadapnya Wibhisana kepada Rāma. Wibhisana adalah adik Rawana yang telah menculik belahan jiwa Rāma yaitu Sita. Penculikan ini berujung pada perang besar yang melibatkan para dewa, raksasa, resi, bahkan pasukan kera. Di tengah-tengah situasi perang tersebut, Wibhisana berusaha menjalankan kewajiban sebagai adik untuk menyelamatkan kakaknya Rawana dari malapetaka yang akan menimpanya melalui nasihat-nasihat tentang kebenaran.
Wibhisana memang telah berulang kali mengingatkan kakak kesayangannya itu untuk meminta maaf kepada Sri Rāma (Santikangen-angen pangupasama, haywa tan wawarengo lara humadang, kweh arista hatikasta katakut, yapwa tan upasaman pati bhisama). Akan tetapi, Rawana tidak sedikitpun mengindahkan kata-kata Wibhisana. Malahan Wibhisana dikatakannya sebagai seorang penghianat yang nista dan tidak setia terhadap kakak yang sekaligus rajanya. Rawana bagaikan batu yang nirrasa. Ia tak mampu memilah kata-kata yang mengandung amerta atau racun dalam hidupnya.
Wibhisana akhirnya diusir dari istana Alengka karena dianggap telah berkhianat kepada Rawana dan kerajaan. Saat itulah Wibhisana yang sejak semula telah melihat kebenaran menyala pada ujung-ujung panah ‘senjata’ dan manah ‘pikiran’ Rāma menghadap reinkarnasi Wisnu itu. Ada berita menarik yang disampaikan Hanoman mengenai kedatangan Wibhisana ke tempat Sri Rāma. Penggubah Kakawin Rāmāyana yang prototipenya konon diresepsi dari karya Bhatti Kawya tersebut menyatakan sebagai berikut.
“Prawara guna wibhisana ikana teka, huluna ri suku sang prabhu tan alang-alang, sahuripana maharddhika tuwi gunawan, nipuna ring aji sastra wenanga sarana”.
Teks berbahasa Jawa Kuna tersebut dapat diterjemahkan sebagai berikut:
“Sang Wibhisana yang bijaksana kini datang, bermaksud menghamba kepada Paduka Rāma dengan tulus hati. Dia sungguh adalah orang yang bijaksana dan berpikiran merdeka. Sangat memahami ajaran sastra agama. Oleh karenanya patut dijadikan sekutu (Agastia, 1998: 54-55).
Pada kutipan di atas, Wibhisana dinyatakan sebagai seseorang yang bijaksana (gunawan) dan berpikiran merdeka. Kata ‘mahardhika’ yang berarti ‘merdeka’ dalam teks Kakawin Rāmāyana di atas memang tepat disandang oleh seorang Wibhisana.
Ia adalah sosok yang berani memperjuangkan kebenaran dengan berpihak kepada Rāma. Wibhisana tidak terikat pada wilayah kerajaan yang menjadi tempatnya hidup bersama anak dan istrinya selama ruang itu dipenuhi oleh ketidakbenaran. Sampai di sini mungkin Wibhisana memiliki perbedaan sikap dengan saudaranya Kumbakarna. Sang Kumbakarna dalam sejumlah tafsiran memang dianggap sebagai sosok yang patriotis. Sebab, keinginannya bertarung dan mati di medan pertempuran bukan semata-mata karena membela Rawana tetapi karena jiwa bela negaranya.
Dia turun ke medan laga dengan motivasi memperjuangkan wilayah kerajaannya yang diserang musuh. Dalam pengamatan Kumbakarna, seorang Rāma dan pasukannya adalah musuh yang hendak menghancurkan kerajaan. Kehancuran kerajaan dan wilayahnya itulah yang hendak dibelanya dengan jiwa dan raganya.
Dari sikap-sikap yang diambil oleh kedua bersaudara itu, cerita Rāmāyana yang bagi sebagian orang sederhana menjadi kompleks dan multitafsir. Yang menganggap cerita itu sederhana barangkali hanya mengetahui cerita Rāmāyana lewat mendengar atau menonton bagian-bagian tertentu dari pementasan wayang.
Sementara itu, bagi sejumlah orang yang pernah membaca karya sastra Kakawin Rāmāyana akan merasakan betapa kompleksnya cerita yang dibingkai dengan kepadatan metrum kakawin tersebut. Tidak banyak orang yang mampu membaca Kakawin Rāmāyana dengan tuntas, meskipun kesucian pikiran menjadi pahala yang akan diraih ketika selesai membaca karya sastra yang sarat ajaran tentang kehidupan itu.
Ajaran itu terselip dalam dialog maupun salampah laku dan dilema-dilema para tokohnya. Dilema-dilema yang multitafsir selalu memeras keringat penafsiran para peminatnya, seperti dalam fragmen Dewi Kekayi yang menuntut agar Bharata menjadi raja Ayodya, fragmen peperangan Subali dan Sugriwa, fragmen Laksmana dalam menjaga Sita yang diakhiri dengan penyamaran Rawana menjadi pendeta dan yang lainnya.
Khusus dalam konteks sikap Wibhisana dan Kumbakarna, entah demi kepentingan moral cerita atau sebab-sebab lainnya, dapat disimak bahwa Kumbakarna gugur di medan pertempuran. Sementara Wibhisana tetap hidup. Bahkan Rāma menyerahkan kerajaan Alengka yang semula diperintah oleh kakaknya kepada Wibhisana. Wibhisana tampaknya dijadikan figur oleh pengarang untuk memaknai jiwa yang mahardika ‘bebas’.
Dari sikap-sikap yang diambil oleh Wibhisana, ia sejatinya bukanlah seseorang yang tidak memiliki patriotisme. Wibhisana lebih memilih pendekatan dialogis untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada Rawana sebagai pucuk pimpinan di kerajaan Alengka. Barangkali hanya dengan cara itu Wibhisana berharap dapat membalikkan kesadaran Rawana untuk mengurungkan niatnya berperang melawan Rāma. Dengan cara itu pula kerajaannya akan selamat.
Pendekatan dialogis yang dilakukannya ternyata tidak membuahkan hasil. Bahkan berujung pada pengusiran. Wibhisana lalu menghadap Rāma yang menjadi tokoh sentral cerita. Meskipun reinkarnasi Wisnu, Rāma tetaplah manusia yang memiliki tubuh (darah dan daging) dan perasaan.
Sebagai manusia, Rāma dengan usaha keras terus berjalan dan membangun jembatan di atas laut dengan pasukan kera. Sebagai putra mahkota, Rāma rela tahtanya digantikan oleh adiknya sang Bharata. Sebagai seorang suami, tentu ia juga marah, sedih dan emosi ketika istrinya diculik oleh Rawana. Dari keseluruhan cerita, baik pihak yang menang dalam pertempuran maupun yang kalah, sama-sama merasakan penderitaan. Konon dunia memang tidak hanya menyediakan kesenangan, tetapi sekaligus duka lara dan kematian.
Dalam adikawya tersebut, Rāma dijadikan simbol kebenaran. Dengan mengabdikan seluruh kemampuannya kepada Rāma, barangkali Wibhisana dapat dimaknai sebagai abdi pada kebenaran itu sendiri. Wibhisana tidak memihak kepada Rawana, walaupun secara genetis ia adalah saudaranya. Itu artinya, seorang Wibhisana tidak memiliki karakter nepotisme, sebagaimana menjadi trend di zaman ini. Sikap-sikap Wibhisana itu tentu menjadi anomali di wilayahnya sendiri. Terlebih di wilayah kerajaan yang penuh dengan kerakusan, nepotisme, bahkan mungkin korupsi yang dilakukan para raksasa.
Di dalam lingkungan seperti itu Ia menjadi sosok yang dibenci. Namun demikian, kita yang hidup di dunia nyata dapat merasakan bahwa Wibhisana adalah seseorang yang berpikiran bebas ‘merdeka’. Dengan landasan keyakinan dan tekad yang bulat Ia memutuskan untuk berpihak pada kebenaran.
Situasi politik kerajaan yang carut marut dan ingin meraih segala keinginan termasuk cinta, harta, dan tahta dengan segala cara tak mampu mengikatnya. Wibhisana memang bagaikan butir embun yang ada di dalam mahligai teratai. Ia tetap memancarkan kejernihannya, meskipun akarnya menancap pada lumpur dan batangnya hidup pada air yang tidak jarang bersahabat dengan ‘kekeruhan’. [T]
- Klik untuk BACA artikel lain dari penulis PUTU EKA GUNA YASA