SUATU SORE sekitar pertengahan tahun 1998, seorang lelaki kurus mengenakan kemeja dan topi, dengan berjalan kaki dari arah pasar, menyambangi rumah seorang siswa kelas II SMA di Desa Kusamba, Klungkung. Dia mengenalkan dirinya dengan nama Idk Raka Kusuma.
Saat itu, remaja belasan tahun itu baru memulai belajar menulis di Bali Post Minggu yang diasuh Umbu Landu Paranggi. Dia tentu saja terkejut dengan kunjungan itu. Sebelumnya dia hanya tahu nama IDK Raka Kusuma dari puisi-puisinya di Bali Post Minggu dan cerita dari mentornya, I Wayan Suartha, penyair Klungkung yang juga kawan akrab IDK Raka Kusuma.
“Tiang diutus Kak Umbu untuk bertemu Dik Made. Kak Umbu meminta Dik Made ikut acara apresiasi sastra Sanggar Kata di Karangasem. Usahakan datang, Made. Kalau tidak, nanti Kak Umbu tak akan memuat puisi-puisi Made,” katanya.
Pengarang muda itu tak tahu apakah “ancaman” Umbu itu benar atau hanya taktik IDK Raka Kusuma agar dia datang ke Karangasem. Yang jelas, dia akhirnya datang dalam acara apresiasi sastra di Karangasem bersama dua orang teman sekolahnya. Kala itu pula, dia berkenalan dengan sejumlah teman sesama pengarang muda, antara lain Ni Wayan Adnyani, Ida Ayu Wayan Sugiantari, Ida Ayu Basmiari, I Wayan Sumadiyasa, dll.
Kunjungan sastrawan Gde Aryantha Soethama ke rumah IDK Raka Kusuma (kanan), Agustus 2020 / Foto: Dok. Made Sujaya
Akhir tahun 1998, IDK Raka Kusuma kembali menyambangi rumah anak pesisir itu bersama Komang Berata. Kali ini membawakannya piala sebagai salah satu pemenang Sayembara Mengarang Puisi Bahasa Bali se-Bali yang digelar Sanggar Saraswati Tabanan. Pengarang belia itu tak bisa hadir dalam penyerahan hadiah karena sakit.
“Terus nulis ya, De. Nanti Pak Dewa kirimi buku-buku puisi,” pesannya ketika hendak pamit.
Beberapa bulan kemudian, bersama teman-temam di sekolahnya di SMA 1 Dawan, Klungkung, anak muda itu tergerak mendirikan sebuah sanggar sastra. Namanya, Sanggar Tutur. Seolah merespons Sanggar Kata di Karangasem yang didirikan IDK Raka Kusuma bersama Nyoman Tusthi Eddy, I Wayan Arthawa dan Komang Berata.
***
Begitulah cara IDK Raka Kusuma memotivasi anak-anak muda agar tekun menulis. Mirip dengan gurunya, Umbu, dia menggunakan cara-cara gerilya dan pendekatan personal.
Melalui majalah Buratwangi yang diasuhnya, misal, sejak tahun 1999, IDK Raka Kusuma tak pernah lupa “mengontak” para pengarang muda agar terus menulis dalam bahasa Bali.
Jika hari ini sastra Bali modern bergeliat dengan pengarang-pengarang mudanya yang bergairah, tentu tak lepas dari peran seorang IDK Raka Kusuma. Karena itu, sangat wajar jika Yayasan Rancage menganugerahinya penghargaan sastra Rancage untuk kategori jasa pada tahun 2002 dan kategori karya pada tahun 2011 untuk buku kumpulan puisi “Sang Lelana”.
Edisi perdana Buratwangi yang didirikan dan diasuh secara konsisten oleh IDK Raka Kusuma / Foto: Dok. Made Sujaya
Kerap kali dia menghadiahi “anak-anak didiknya” buku sastra agar semangat menulis mereka tetap terjaga. Saking intensnya mengikuti perkembangan para pengarang muda itu, Raka Kusuma tahu keunggulan tiap-tiap pengarang pemula itu. Bahkan, dia sampai menyimpan kliping karya mereka dan menghadiahinya suatu ketika. Padahal, si pengarang muda itu justru tak menyimpannya lagi.
“Apa yang saya lakukan di sastra Bali modern memang diilhami cara-cara gerilya Kak Umbu,” tuturnya suatu ketika.
IDK Raka Kusuma memang dikenal dekat dengan Umbu. Dia tergolong “murid kesayangan” Umbu. Dia menyimpan sajak-sajak dan tulisan tentang Umbu. Akhir tahun 2019, saat sastrawan kelahiran Getakan, Klungkung, 21 November 1957 itu mulai jatuh sakit, Umbu secara khusus mengunjunginya di rumahnya di BTN Kecicang, Karangasem.
Tatkala Umbu wafat pada 6 April 2021, IDK Raka Kusuma merasa sangat kehilangan. Yang menarik, rasa kehilangan yang dalam itu mengilhaminya menulis sajak-sajak tentang Umbu. Tak hanya satu dua sajak, tapi 60 sajak yang kemudian diterbitkan menjadi buku dengan judul “Pukul Nol Tiga Lima-lima” pada tahun 2022 dalam rangka penerimaan penghargaan Bali Jani Nugraha untuknya pada tahun 2021.
Buku kumpulan puisi karya IDK Raka Kusuma untuk mengenang gurunya, Umbu Landu Paranggi / Foto: Dok. Made Sujaya
“Candi puisi” persembahan IDK Raka Kusuma itu terbilang unik dalam sejarah sastra Indonesia karena sangat jarang kepergian seorang sastrawan dikenang dengan satu buku kumpulan puisi tunggal karya seorang sastrawan.
Minggu, 6 Agustus 2023, Jatijagat Kehidupan Puisi (JKP) mulai menggelar Festival Umbu Landu Paranggi sebagai upaya mengenang jasa-jasa sang guru para penyair Indonesia. Pada pagi itu juga, kabar dan ungkapan duka cita atas kepergian IDK Raka Kusuma berseliweran di media sosial.
Ternyata, Raka Kusuma sudah berpulang Sabtu, 5 Agustus 2023 malam di RS Balimed Amlapura dalam usia 65 tahun. “Sang Lelana” telah menyusul gurunya “menuju sorga paling sorga”.
Selamat jalan, Pak Dewa Raka Kusuma. Terima kasih atas karya-karya dan pengabdianmu bagi dunia sastra di Bali.[T]