BUNDA TERESA pernah berkata “the worst sickness is not leprosy or tuberculosis, but the feeling of being respected by no one, of being unloved, deserted by everyone”. Kata-kata dari Bunda Teresa tersebut bisa dibaca dalam tulisannya Elisabeth Noelle-Neumann pada Teori Spiral of Silence. Apa yang ditakuti oleh manusia? Ialah ketakutan akan terisolasi, ketakutan dikucilkan, dan diasingkan.
Takut tidak satu orang pun melihat dan merasakan keberadaan kita. Dalam Teori Spiral of Silence disebutkanbahwa kita akan lebih banyak berkomunikasi dan menyatakan pendapat apabila kita merasa berada di kelompok mayoritas, dan kita akan semakin diam bahkan takut untuk berpendapat ketika kita merasa berada di luar mayoritas.
Spiral of silence merupakan teori tentang opini publik dan pengaruhnya pada kelompok-kelompok tertentu. Teori ini menjelaskan bahwa dorongan-dorongan manusia untuk berkomunikasi dan berpendapat karena adanya dorongan dari masyarakat mayoritas agar kita tidak dikucilkan atau diasingkan oleh mereka. Keterasingan berarti ketiadaan. Manusia yang eksis adalah manusia yang berkomunikasi.
Ada teori menarik lain yang bisa kita lihat untuk memahami komunikasi dan eksistensi. Expectations-State Theory, perkembangan dari teori ini diawali oleh Robert F. Bales kemudian dikembangkan oleh Joseph Berger, Bernard Cohen, Morris Zelditch, dan kolega-kolega mereka. Teori ini menjelaskan tentang terbentuknya hierarki status dalam situasi-situasi di mana para aktornya dituntut untuk melaksanakan dan mencapai suatu tujuan atau tugas kolektif.
Fokus para anggota kelompok terhadap tujuan kelompok menghasilkan tekanan pada diri masing-masing anggota kelompok untuk mengantisipasi kualitas relatif dari kontribusi setiap anggota dalam menyelesaikan tugas untuk memutuskan bagaimana bertindak.
Kesempatan berpartisipasi akan diberikan kepada para aktor yang menurut anggota kelompok memberikan kontribusi yang lebih baik. Dikenal dengan harapan kinerja, kontribusi kita dipengaruhi oleh harapan-harapan yang dilekatkan kepada kita. Makin tidak terlihat berkontribusi, pendapat kita makin diabaikan oleh masyarakat, kita tidak terlihat oleh mereka.
Melihat kedua teori tersebut dengan konteks fenomena yang terjadi di ruang maya dalam platform media sosial. Bisa dijelaskan dengan terlebih dahulu mengetahui tentang apa itu media sosial. Media sosial bisa dipahami dengan melihat dua hal, pertama yaitu mehamai tentang definisi media.
Dalam konteks komunikasi, media merupakan alat yang digunakan untuk berkomunikasi. Kedua, yaitu memahami tentang definisi sosial. Dalam ilmu sosiologi, sosial dipahami sebagai sebuah relasi. Media sosial memberikan medium bagi pengguna untuk terhubung secara mekanisme teknologi. Jaringan yang terbentuk antarpengguna ini pada akhirnya membentuk komunitas atau masyarakat yang secara sadar maupun tidak akan memunculkan nilai-nilai yang ada di masyarakat.
Media sosial menjadi seperti wadah bagi komunitas-komunitas, bisa dibilang sebagai sebuah komunitas, masyarakat tersendiri. Jaringan dari para pengguna ini akhirnya membentuk suatu nilai-nilai. Ini bisa terlihat dari ciri-ciri dari masing-masing platform media sosial. Suka foto dan video bisa “berkumpul” di Instagram, suka bercerita melalui video bisa bergabung di TikTok atau YouTube, suka menulis bisa bergabung di Twitter. Pada akhirnya pengguna-pengguna ini saling membentuk aturan dan nilai sendiri.
***
Kembali pada Teori Spiral of Silence yang juga terjadi di media sosial. Orang akan cenderung pasif untuk menulis gagasannya saat dia merasa bahwa dia adalah minoritas. Pada media sosial, minoritas berarti dia yang memiliki pengikut yang sedikit, bukan tokoh terkenal, tidak memiliki sirkel pertemanan dengan tokoh-tokoh yang berpengaruh, memiliki ideologi yang berbeda dengan masyarakat, bukan akademisi, maupun artis.
Media sosial juga mengikuti hukum-hukum yang ada di kehidupan nyata. Siapa yang tidak berpengaruh tidak layak untuk berbicara dan didengar, pengguna yang berbeda pandangan dari mayoritas otomatis tidak akan mendapatkan spotlight. Maka dari itu, pengguna berlomba-lomba untuk mencuri pengaruh di media sosial, berbagai cara ditempuh.
Media sosial menjadi tempat yang sangat berisik, walau penggunanya berada di ruang-ruang kesunyian. Orang berlomba-lomba untuk mencuri pengaruh dengan membuat beragam konten, yang menilai? Pengguna media sosial yang lain. Media sosial dibanjiri dengan konten-konten yang dibuat oleh para pengguna, hanya agar mereka terlihat, eksis.
Manusia-manusia berisik di ruang maya ini juga didorong akan adanya harapan yang dilekatkan oleh mereka. Tokoh politik yang sangat berpengaruh membuat thread berbelas-belas postingan di Twitter karena harapan pengguna lain tokoh tersebut untuk berpendapat. Saat tokoh tersebut tidak bisa memenuhi harapan komunitas, dia akan ditinggalkan. Jadi tidak heran jika banyak “war” di media sosial, karena ini bentuk dari eksistensi.
Seorang selebtweet dengan jutaan pengikut, harus terus membuat postingan hanya agar tidak ditinggalkan oleh pengikutnya. Kita dituntut untuk terus berkomunikasi sebagai tanda eksistensi kita sebagai manusia dengan harapan-harapan dari status dan peran yang dilekatkan oleh masyarakat atau komunitas kepada kita. Karena itu pesan diproduksi secara terus menerus dengan menggunakan berbagai media.[T]
- BACA ESAI-ESAI KOMUNIKASI LAINNYADI SINI