SEBENARNYA tak ada produk hukum (negara) yang melarang wartawan/jurnalis menjalani pilihan menggeluti politik praktis, baik sebagai anggota partai, menjadi calon anggota legislatif, calon kepala daerah, atau menjadi pejabat negara lainnya. Namun, larangan biasanya ada di organisasi wartawan/jurnalis atau peraturan perusahaan pers—interpretasi atas Kode Etik Jurnalistik dan pandangan praktisi media atau akademisi.
Sudah banyak wartawan/jurnalis menjadi pelaku politik praktis, termasuk dalam kabinet pemerintahan Presiden Joko Widodo. Sejarah pers di dunia, adalah sejarah politik dan kekuasaan—sejarah mencatat bahwa Bapak Pers Dunia adalah Julius Caesar (100-44 SM) lewat Acta Diurna (papan pengumuman, sejenis majalah dinding atau papan informasi sekarang. Acta Diurna diyakini sebagai produk jurnalistik pertama, pers, media massa, atau surat kabar harian, atau koran pertama di dunia).
Sekretaris Eksekutif Dewan Pers Lukas Luwarso, dalam Buletin Etika Dewan Pers (2009), menuliskan, “Jurnalis memang lazimnya mengawasi politisi, mempersoalkan dan membeberkan ke publik kinerja politisi tidak beres. Secara kimiawi, ion jurnalis dan ion politisi bertentangan, seperti air dan minyak, tidak bisa campur.”
Di atas adalah materi Paulus Tri Agung Kristanto, Ketua Komisi Pendidikan dan Pengembangan Profesi Dewan Pers, dalam “Workshop Peliputan Pemilu Tahun 2024” yang diselenggarakan Dewan Pers di Sanur, Denpasar, Bali, Senin (31/7/2023). Dengan tegas dia mengatakan, bahwa “jika ada wartawan yang memilih menjadi politisi, lebih baik berhenti jadi wartawan.”
Tetapi, bagaimana jika pemilik media yang juga sekaligus seorang pilitisi?
Pertanyaan di atas memang agak sulit dijawab. Seorang politisi yang memiliki media tentu berpengaruh terhadap independensi pers itu sendiri—meski hari ini independensi pers agak utopis dibicarakan. Agak sulit membayangkan hasil pemberitaan, penanyangan, atau penyiaran suatu liputan tidak ada unsur intervensi (pesanan, teguran, dll) pemilik media—dalam hal ini kita sebut sebagai oligarki-pebisnis yang memikirkan untung-rugi—atau setidaknya intervensi pemimpin redaksi yang notabene memiliki kedekatan dengan pemilik media.
Mempertanyakan Independensi Pers
Keberimbangan informasi dan keadilan representasi adalah syarat bagi terwujudnya ide media massa sebagai ruang publik. Menurut Habermas, media sebagai sarana komunikasi perlu menjadi ruang yang setara bagi semua orang untuk mengakses informasi dan menyatakan pendapatnya (Jones, 2009).
Dalam momen-momen pemilu presidensial di Indonesia seperti sekarang ini, tuntutan pada media untuk menjalankan fungsinya sebagai ruang publik semakin mendesak. Tak pelak lagi, media yang independen adalah syarat mutlak bagi terpenuhinya kebutuhan akan informasi yang berimbang dan berorientasi pada kepentingan publik (Haychael , 2014).
Namun, mengharapkan pers yang independen terhadap peliputan Pemilu 2024, rasanya seperti berharap hujan turun di kala musim kemaru. Meski ada kemungkinan, tapi sangat sulit terjadi.
Dalam konteks peliputan Pemilu, kita bisa melihat—dan belajar—bagaimana independensi televisi menjelang pemilu presiden 2014 silam. Dalam penelitiannya Independensi Televisi Menjelang Pemilu 2014: Ketika Media Menjadi Corong Kepentingan Politik Pemiliknya (2013), Muhamad Heychael dan Holy Rafika Dhona memberikan uraian menarik tentang bagaimana praktik pemberitaan, iklan, dan program non-berita yang bersifat politis di enam stasiun televisi menjelang Pemilu 2014.
Haychael dan Rafika menganggap bahwa Surya Paloh adalah pemilik stasiun televisi yang paling masif menjadikan media miliknya sebagai sarana politik. Hal ini bisa diidentifikasi dari empat hal.
Pertama, Surya Paloh adalah pemilik stasiun televisi yang paling masif memberitakan dirinya sendiri. Metro TV menayangkan 15 judul berita dengan durasi 6297 detik mengenai Surya Paloh (dari durasi tersebut sebanyak 2745 detik memberi penonjolan padanya). Dari jumlah tersebut, 10 berita bernada positif dan lima lainnya netral.
Kedua, frekuensi pemberitan Partai Nasdem di Metro TV adalah yang kedua tertinggi setelah partai Golkar, yaitu 21 kali. Ketiga, pemberitaan mengenai partai lain cenderung bernada netral atau bahkan negatif. Partai Golkar yang mendapat 31 frekuensi (tertinggi di Metro TV) pemberitaan di Metro TV, tidak satu pun yang bernada positif. 22 kali bernada netral dan 9 kali bernada negatif.
Hal yang sama juga terjadi pada PKS; dari 15 berita, 8 bernada netral dan 7 lainnya negatif. Ini menandakan bahwa besarnya sorotan Metro TV terhadap partai lain (lawan politik Nasdem) lebih banyak mengangkat isu negatif. Dugaan ini juga diperkuat oleh fakta bahwa hanya ada 3 partai yang mendapat permberitaan bernada positif di Metro TV, yaitu: Nasdem (10 kali), PDIP (4 kali), dan PBB (1 kali). Dari 3 partai tersebut, Nasdemlah yang paling banyak mendapat nilai positif.
Keempat, meski Surya Paloh, sebagai ketua pembina partai Nasdem, tidak pernah beriklan sama sekali di Metro TV, frekuensi Iklan Nasdem di Metro TV adalah yang tertinggi: 100 kali. Angka tersebut merupakan jumlah terbesar iklan partai politik di televisi selama awal November 2013.
Menurut Haychael dan Rafika (2013), Aburizal Bakrie, selaku Ketua Umum Golkar dan sekaligus pemilik TV One, memang tidak banyak mendapat porsi pemberitaan di televisi miliknya (hanya 7 kali). Namun ini bukan berarti TV One adalah stasiun TV yang independen. Sebab, dari 7 berita mengenai Bakrie enam bernada positif dan satu sisanya netral.
Bakrie adalah tokoh politik dengan nada berita positif tertinggi di TV One. Hal yang sama terjadi pada partai Golkar yang diketuai oleh Bakrie. Partai itu mendapat porsi pemberitaan positif tertinggi di TV One, 60% dari total seluruh berita positif. Sebaliknya, pada partai lain yang merupakan lawan politik pemilik, TV One Cenderung memberitakannya secara negatif. Hal ini ditandai dengan fakta bahwa Partai Demokrat mendapat pemberitaan negatif tertinggi di TV One (50% dari seluruh berita negatif di TV One).
Fakta lain temuan Haychael dan Rafika adalah, meski tidak masif diberitakan, frekunsi dan durasi iklan politik Aburizal di TV One merupakan yang tertinggi yaitu: 152 kali dengan durasi 6060 detik. Jumlah ini merupakan frekuensi dan durasi iklan tokoh politik tertinggi sepanjang awal November di semua stasiun televisi.
Hal ini bisa diartikan bahwa Aburizal Bakrie memilih jalan yang berbeda dari Surya Paloh. Bakrie lebih banyak menggunakan saran iklan ketimbang berita. Ini konsisten dengan data frekuensi iklan politik partai Golkar di TV One yang mencapai 49 kali. Bakrie dan Partai Golkar menggunakan 201 Spot di TV One untuk beriklan sepanjang 1-7 November 2013.
Seperti halnya TV ONE dan Aburizal Bakrie, tulis Haychael dan Rafika, pasangan Hary Tanosoedibjo-Wiranto, tidak banyak mendapat peliputin berita (hanya 6 kali) di RCTI. Meski demikian, Hanura merupakan partai dengan prosi pemberitaan tertinggi di RCTI. RCTI juga merupakan televisi yang paling masif menjadi tempat bagi iklan politik Pasangan Wiranto-Hary Tanoesoedibjo, dengan frekuensi 66 pemberitaan dan durasi 2605 detik.
Angka di atas masih ditambah dengan kemunculan Wiranto dan Hary Tanoesoedibjo, baik secara langsung maupun dalam bentuk atribut slogan kampanye, dalam program non-berita Kuis Kebangsaan di RCTI sebanyak 14 kali. Jumlah ini adalah yang tertinggi untuk kemunculan tokoh politik pada program nonberita di 6 stasiun televisi.
Berbeda dari 3 pemilik media (Hary Tanoesodibjo, Aburizal Bakrie, dan Surya Paloh), besarnya frekuensi pemberitaan Joko widodo (Jokowi) di 6 stasiun televisi—yang mencapai 59 kali dengan durasi 9557 detik—didapat dari pemberitaan yang tersebar di 6 stasiun televisi secara noneksklusif dan merata. Ini menandakan besarnya peliputan berita Jokowi tidak berkaitan dengan kepemilikan media.
Fakta lain yang menguatkan dugaan ini adalah, dari 59 berita Jokowi, 11 di antaranya bernada positif, 12 negatif, dan sisanya netral. Jokowi adalah tokoh yang paling banyak memperoleh pemberitaan negatif sekaligus positif dari semua capres dan cawapres di stasiun televisi. Senada dengan itu, dari total durasi berita mencapai 5898 detik, hanya 1065 penonjolan yang diberikan pada Jokowi.
Bandingkan dengan Surya Paloh, yang mendapatkan porsi pemberitan 6297 dengan durasi penonjolan sebanyak 2745 (43.6% dari total durasi berita) hanya dalam satu stasiun TV saja, Metro TV.
Data-data tersebut membawa kita pada suatu kesimpulan bahwa besarnya peliputan berita atas Jokowi lebih diakibatkan oleh posisinya yang waktu itu sebagai Gubernur Jakarta—yang berada di pusat penyiaran (mengingat sentralisasi penyiaran hari ini)—serta figur Jokowi sendiri yang unik dan memiliki nilai berita bagi media.
Sebagaimana temuan pada penelitian di atas, wajah televisi pada cuaca politik seperti saat sekarang ini tak juga berubah. Data dalam riset lain masih menunjukkan kesimpulan yang sama, yaitu stasiun televisi yang berafiliasi dengan partai politik terindikasi menggunakan medianya bagi kepentingan golongan. Stasiun televisi tak ubahnya buletin internal partai politik, yang hanya lancar berbicara dari satu sisi saja. Televisi kita hari ini adalah televisi satu dimensi.
Lantas, bagaimana dengan media non-televisi? Mengenai hal tersebut silakan baca artikel Sanggupkah Media Meliput Pemilu 2024 Secara Proporsional? | Catatan Workshop Peliputan Pemilu Tahun 2024 Dewan Pers [1]
Pengaruh Pemilik (Oligarki) Media
Dari hasil uraian penelitian di atas, kita dapat melihat bagaimana pengaruh pemilik (oligarki) media terhadap penayangan, pemberitaan, iklan, atau penyiaran hasil liputan. Meski demkian, dalam “Workshop Peliputan Pemilu Tahun 2024” Dewan Pers, Senin (31/7/2023), Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Bali (KPID), Agus Astapa, mengatakan tak usah khawatir, sebab hari ini pemilih (rakyat Indonesia) sudah cerdas-cerdas, tidak lagi terpengaruh oleh tayangan-tayangan politik di media.
“Tayangan-tayangan itu nyatanya tidak berbanding linier terhadap hasil pemilu. Kalau berpengaruh, para pemilik media sudah jadi presiden,” ujarnya, dangkal.
Sangat disayangkan pendapat dangkal seperti itu keluar dari seorang Ketua KPI. Seolah Agus Astapa tidak tahu bahwa permasalahan politik muncul ketika oligarki media sekaligus ketua umum partai politik berpihak pada kandidat capres-cawapres dalam Pilpres.
Padahal, dukungan pemilik media terhadap calon presiden dapat memengaruhi kepentingan oligarki media dalam memimpin partai politik dan orientasi politik pemberitaan dari bisnis media miliknya, termasuk pemberitaan pada saat kampanye pemilu. Agus Astapa barangkali lupa bahwa pemilu membuat setiap rakyat memiliki hak suara yang sama untuk menentukan pemimpin sebuah negara.
Menurut Rembulan Randu Dahlia dan Panji Anugrah Permana dalam Oligarki Media dalam Pusaran Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia 2019 Menuju 2024 (2022), pemilu menjadikan rakyat, pemilik sumber daya suara, dibutuhkan kandidat untuk resmi menjadi penjabat publik. Pemberitaan berbalut kepentingan yang beredar inilah yang memengaruhi keputusan rakyat. Keberpihakan oligarki media pada kandidat membuat pemberitaan bias. Pers seolah hanya menjadi kendaraan, senjata, dan amplifikasi keperluan kandidat yang didukung oleh oligarki media semata.
Secara empiris, terdapat penelitian mengenai hubungan oligark media dan penguasa, di antaranya oleh Laksono (2020); Tapsell (2017); Pleines (2016); Sephahuma (2015); Ali Azhar (2012); Ade Armando (2016), Hadiz & Robison (2014), dan Dahlia & Permana (2022). Para Peneliti ini mengulas keterkaitan kepentingan penguasa media yang semakin terpusat dalam menjalankan bisnis pers, sehingga oligarki media menjadi semakin kaya dan berpengaruh politis.
Hary Tanoesoedibjo, misalnya, sebagai oligarki media memiliki peran dalam setiap proses pemilihan umum di Indonesia—sejak pasca reformasi yang menegaskan kebebasan pers. Kenyataan media sebagai sumber informasi masyarakat, membuat Hary Tanoesoedibjo memanfaatkan media yang dimiliki untuk dapat mempengaruhi opini masyarakat maupun melakukan negosiasi politik dengan elit politik.
Pada tahun 2019, misalnya, keberpihakan Hary Tanoe terhadap pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin— dikarenakan sikap oportunis mendukung petahana, mengamankan bisnis, mendapatkan perlindungan hukum dari kasus yang sedang menjeratnya—membuatnya mendapatkan jabatan Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif meski dijabat oleh anak nya.
Cara Hary Taoe merealisasikan dukungan tersebut dilakukan dengan sumbangan dana, dukungan partai Perindo, penyediaan kantor pusat untuk basecamp Tim Kampanye Nasional, membuat setiap tayangan di MNC Group memberikan citra yang bagus bagi pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin (Dahlia & Permana, 2022).
Dan pada tahun 2024, melihat kondisi partai politik yang ketergantungan pada modal oligarki dan media di Indonesia, pemilik media rasanya masih akan menjadi sosok penting dalam pemilu mendatang. Dengan begitu, rasanya mustahil pers dapat memberitakan Pemilu 2024 secara proporsional atau berimbang. Mengingat, Hary Tanoe, misalnya, bos media yang memiliki 5 stasiun TV, 2 media daring, 1 media cetak, dan 3 stasiun radio, jelas akan lebih banyak memberitakan calon yang didukungnya.
Dua Tantangan KPI
Mengenai penyiaran, pemberitaan, dan iklan kampanye merupakan aktivitas yang diamanatkan oleh Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), pasal 287. Secara teks, pasal 289, 290, dan 291 mengatur mengenai pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye.
Pelaksanaan kegiatan tersebut sangat berkelindan dengan beragam jenis media seperti media cetak, elektronik, media dalam jaringan, maupun media sosial. Berkaitan dengan peran KPI, menurut Agus Astapa, pada Pasal 296 UU No. 7/2017 tentang Pemilu menyebutkan bahwa pengawasan di media penyiaran dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia.
Namun, Ketua KPID Bali itu menegaskan, setidaknya ada dua tantangan pengawasan siaran pemilu. Pertama, tantangan internal. Salah satu tantangan internal yang bersifat substansial adalah regulasi terkait Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Minimnya pasal yang meregulasi persoalan mengenai pemantauan menjadi salah satu contoh.
“Pasal 71 dalam P3SPS ialah satu-satunya pasal di mana peran KPI muncul untuk mengawasi Siaran Pemilihan Umum dan Pemilihan Umum Kepala Daerah. Selama masa pelaksanaan pemilu pasca berdirinya KPI misalkan, banyak sekali pertanyaan bagaimana KPI dan KPI Daerah melakukan pengawasan, terutama terkait peralatan penunjang pemantauan,” ujarnya, menjelaskan.
Berdasarkan Buku Pedoman Pengawasan Penyiaran Pemilihan Kepala Daerah, ada beberapa permasalahan penting yang harus dijadikan perhatian bersama dalam menunjang pelaksanaan fungsi pemantauan KPI. Pertama, hubungan kelembagaan antara KPI dan KPI Daerah yang selama ini sifatnya hanya koordinatif. Hal tersebut terutama ikut menggambarkan bagaimana sinergi pengawasan atau pemantauan di seluruh Indonesia.
Kedua, buku tersebut juga menampilkan fenomena di mana tidak berimbangnya peralatan pemantauan penyiaran. Sehingga ketidakberimbangan tersebut menyebabkan kurang optimalnya pelayanan pemantauan di setiap provinsi.
Selain tantangan internal, dalam melakukan pengawasa terhadap siaran Pemilu 2024, KPI juga harus menghadapi tantangan eksternal. Beberapa tantangan eksternal misalkan problematika hukum terhadap kedudukan KPI dalam pengawasan media digital, yakni pada kata “media lainnya” dalam Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran.
Meningkatnya integrasi siaran TV ke ranah media digital seperti YouTube memerlukan perhatian tersendiri, apalagi terkait dengan masifnya pengguna sosial media di Indonesia yang saat ini menyentuh angka 212 juta pengguna dan hampir 83 persen menggunakan internet sebagai alasan untuk mencari informasi.
“Selain YouTube, atau media streaming lain sejenis, misalkan Netflix, tentu secara signifikan merubah lanskap dunia penyiaran di Indonesia. Hal tersebut merupakan salah satu tantangan eksternal yang perlu mendapat porsi lebih di masa depan,” kata Agus.
Maski KPI memiliki tantangan dalam melakukan pengawasan terhadap praktik penyiaran, pemberitaan, dan iklan kampanye sebagaimana di uraikan di atas, kita semua berharap, melalui KPI, media seperti radio dan televisi dapat menghasilkan liputan Pemilu 2024 yang proporsional, berimbang, dan independen, meski agak sulit.[T]