SALAH SATU ketakutan terbesar manusia adalah kematian. Akibat dari kematian yang seram, manusia selalu mencoba untuk mengalahkannya. Tetapi, kematian tetaplah masa depan yang mutlak sehingga usaha untuk mengalahkan akan kembali beralih ke penyangkalan. Penyangkalan yang pada akhirnya membawa manusia kembali pada ketakutan akan sebuah kepastian.
Ketakutan akan kematian dapat disebabkan oleh banyak hal. Beberapa contoh sebab adalah ketidaktahuan akan alam setelah kematian, berbagai pengalaman kehidupan yang belum memuaskan, hilangnya segala sesuatu yang melekat saat hidup, dan masih banyak lagi. Sebutkan saja.
Dari banyaknya versi, ada satu kemungkinan akan sebab ketakutan akan kematian, yang pernah dikatakan oleh Sogyal Riponche dalam bukunya yang berjudul The Tibetan Book of Living and Dying. Dalam buku tersebut, Sogyal Riponche menyebutkan bahwa—bisa jadi—ketakutan muncul akibat ketidaktahuan akan siapa diri kita setelah kematian.
Konsep ketidaktahuan akan siapa diri kita beranjak dari kenyataan bahwa identitas yang melekat pada diri kita didapatkan dari berbagai label yang melekat, seperti kepribadian yang sangat personal, unik, dan beda dengan orang lain.
Di luar itu, identitas diperkuat oleh perjalanan hidup—biografi—yang mencangkup pasangan, keluarga, rumah, pekerjaan, lingkungan, harta benda, atau apapun yang saat hidup sering kita banggakan—senada dengan pernyataan James Suzman dalam buku Work: A History of How We Spend Our Time. Padahal, semua itu berakhir saat kematian tiba. Semua identitas yang melekat, hilang tak tersisa.
Kondisi memang terlihat buruk saat kita kehilangan identitas. Apalagi, jika dipandang dari sisi yang berlawanan, identitas awalnya memang dibutuhkan. Hal ini berakar dari fungsi identitas sebagai pemberi makna hidup.
Lalu, makna hidup tersebut memiliki peran yang sangat penting bagi individu untuk menjalani hidupnya. Bahkan, jika kita berkaca pada konsep logoterapi, kehilangan makna akan membuat seseorang lebih mungkin mengalami putus asa dan depresi dari pada kehilangan objek kelekatan—lost of love object.
Kedekatan antara makna hidup dan identitas sering kali menyeret manusia ke arah sengsara dengan cara yang halus. Hal tersebut disebabkan oleh pencarian makna hidup yang membuat kita semakin melekat pada identitas yang pada dasarnya tidak kekal. Kelekatan tersebut, pada akhirnya akan memunculkan sebuah kehilangan yang signifikan saat objek kelekatan bernama identitas menghilang bersama kematian.
Jika dilihat dengan seksama, muncul paradoks yang saling meniadakan. Memihak paradoks “identitas” akan memunculkan ketakutan akan kematian, sedangkan berdiri di paradoks “anti-identitas” dapat berujung pada hilangnya semangat untuk menjalani hidup. Lalu, bagaimana?
Bagaimana jika masalah bukan berada pada identitas, tetapi lebih kepada anggapan bahwa identitas adalah sama dengan diri yang sejati? Mungkinkah diri yang sejati dan identitas adalah hal yang berbeda?
Bagaimana dengan melakukan analogi sederhana kepada diri sendiri? Seperti, jika ini adalah kekayaanku, maka kekayaan ini bukanlah aku; jika ini adalah profesiku, maka profesi ini bukanlah aku; jika ini adalah namaku, maka nama ini bukanlah aku; jika ini adalah tubuhku, maka tubuh ini bukanlah aku; jika ini adalah pikiranku, maka pikiran ini bukanlah aku; jika ini adalah perasaanku, maka perasaan ini bukanlah aku.
Dengan semua analogi sederhana tersebut, akan tampak bahwa “aku” dan identitas adalah hal yang berbeda. Kehilangan akan identitas sejatinya tidak akan berdampak sama sekali terhadap “aku”. Dengan analogi itu pula, kematian pun tidak akan lagi menjadi hal yang mencekam bagi diri yang sejati.
Di sisi lain, analogi tersebut akan membuat paradoks yang lekat dengan identitas—pencarian makna—seperti melambai untuk memberi pertanyaan: apakah makna dari adanya “aku”? Sekilas, pertanyaan tersebut tampak menguatkan pertikaian kembali. Tetapi, sebenarnya pertanyaan itu dapat menjadi awal mula perdamaian. Lalu, bagaimana penjabarannya?
Analogi permainan peran dalam teater dapat digunakan untuk mempermudah penjabaran. Analogi ini mungkin akan cocok karena segala peran—dengan identitasnya—dalam pementasan tidak akan dibawa pulang oleh pemain saat peran tersebut selesai dimainkan.
Pementasan teater terdiri dari berbagai elemen peran yang hidup dan berinteraksi di dalamnya. Dalam hal ini pula, ukuran waktu adalah relatif. Bagi pentas teater secara keseluruhan, waktu dihitung dari keseluruhan waktu mulai dan selesainya pementasan. Tetapi, bagi tiap peran, waktu dihitung dari lama waktu peran tersebut masih dibutuhkan di panggung.
Waktu akan sangat berbeda antara peran satu dengan peran lainnya. Begitu pula dengan fungsi tiap peran. Fungsi peran akan jelas berbeda karena tiap peran adalah potongan puzzle yang saling melengkapi satu sama lain untuk membentuk pementasan maha besar yang sempurna.
Dengan memandang bahwa tiap peran adalah potongan puzzle yang berfungsi untuk melengkapi keseluruhan pementasan, dapat dipahami bahwa masing-masing peran sebenarnya tidak berada pada hierarki superior-inferior.
Semua peran memiliki fungsi dan waktunya masing-masing, yang sama penting untuk dimainkan dengan sepenuh hati. Peran yang dimainkan dengan tidak semestinya seperti keluar dari pementasan sebelum waktunya, mengambil hak peran lain, atau tidak bersemangat dalam mensukseskan pementasan hanya akan membuat kekacauan.
Dengan sepenuhnya menyadari hal tersebut, menjalani peran dengan sepenuh hati dan meninggalkan peran tersebut dengan keiklasan saat tiba waktunya, adalah langkah yang dapat ditempuh untuk memeroleh makna yang paripurna.
Bermakna karena memiliki peran penting dalam sebuah cerita tanpa terikat dengan peran tersebut saat waktu pulang sudah tiba. Karena, peran dan pemain peran adalah hal yang berbeda. Sehingga, kematian tidak lagi menakutkan dan hidup tidak lagi membosankan.
***
Lalu, Siapakah “aku”—diri yang sejati?[T]
BACA ESAI-ESAI KRISNA AJA DI SINI