KETIKA saya masih kelas I di SMAK Swastiastu (sekarang SMAK Santo Yoseph) di Denpasar, satu saat pelajaran di kelas, seorang guru malah mengajak siswa menyanyikan lagu “Berpisah di St. Carolus”. Setelah itu siswa diajak mencermati kalimat demi kalimat dalam lagu itu serta menangkap makna tersirat di dalamnya.
Itu bukan baru pertama kalinya saya mendengar lagu tersebut. Bisa dikatakan cukup familiar bahkan hafal liriknya, karena sejak SD di kampung halaman di Pupuan, Tabanan, saya sering mendengar lagu itu dari pita kaset yang disetel Bapak di tape recorder masa itu.
Mungkin seperti kebanyakan orang juga saya hanya tahu lagunya dan sedikit tahu judulnya tapi kurang tahu dengan penyanyi bahkan penciptanya, meskipun di sampul kaset disebutkan Wedhasmara. Tak terbersit sedikitpun keinginan untuk mencari tahu siapa dia dan orang mana gerangan.
Nah, pertengahan 90-an ketika tamat kuliah dan mulai bekerja di salah satu media cetak ternama di Bali, tetiba ada seorang rekan wartawan yang membuat tulisan tentang Wedhasmara. Ia pun menunjukkan tulisan tersebut ke saya serta menyarankan saya untuk melakukan wawancara. Kebetulan tulisan saya memang lebih banyak tentang seni budaya khususnya musik dan film.
Ternyata, sosok yang dimaksud adalah orang Bali yang kemudian saya tahu tinggal di Jro Batan Moning, Banjar Gerenceng, di Jalan Sutomo, Denpasar. Pertemuan pertama saya dengan Wedhasmara untuk wawancara terjadi sekira tahun 1999 atau 2000.
Apa yang saya hadapi sangat jauh dari kesan sosok penyanyi juga pencipta lagu ternama nasional, yang dalam bayangan saya terkesan gemerlap dan mungkin sedikit jaga imej serta segala kesan tentang figur publik nasional umumnya.
Made Adnyana (penulis) pada Pergelaran Tribute to Maestro I Gusti Putu Gede Wedhasmara | Foto: Tim Kreatif FSBJ 2023
Wedhasmara boleh dikatakan sangat ramah dan senang diajak berbincang-bincang, terutama tentang karya juga kiprahnya selama tinggal di Jakarta puluhan tahun. Menariknya dia juga termasuk sederhana dan suka tampil apa adanya. Padahal kalau dilacak rekam jejaknya jelas dia bukan orang sembarangan di belantika musik nasional.
Ada begitu banyak penyanyi kenamaan nasional yang terangkat namanya karena lagu karya ciptanya. Bukan hanya satu dua bahkan mungkin puluhan mulai dari penyanyi tempo dulu seperti Ernie Djohan, Tetty Kade, Lilis Suryani, Anna Mathovani, Isnarti, M. Rivani, Titiek Sandhora, Broery Pesolima, hingga penyanyi Era 90-an seperti Rani Yuni Shara dan seterusnya.
Tak hanya itu, Wedhasmara juga banyak bersentuhan dengan tokoh-tokoh musik nasional seperti Ismail Marzuki, Idris Sardi, Bing Slamet, Cornelis Simanjuntak, dan Pranajaya yang konon banyak memberinya dorongan untuk semangat berkarya di musik nasional
Mulanya saya hanya kenal satu dua karya Wedhasmara terutama “Berpisah di Teras St. Carolus”, “Senja di Batas Kota”, dan “Kau Selalu di Hatiku”. Makin ke sini makin banyak lagu-lagunya yang menurut saya memang bagus dan menarik untuk didengarkan. Mulai dari lagu pop melankolis seperti “Bunga Flamboyan”, “Hasratku”, juga sejumlah lagu keroncong seperti keroncong “Semalam di Kualalumpur”, ”Bintang Pujaan”, hingga lagu berbahasa Bali “Kaden Saja”.
Menariknya, lagu pop Bali “Kaden Saja” diproduksi Lord Record, Jakarta, bukan label rekaman di Bali. Lagu ini terdapat di album berjudul sama, menampilkan sejumlah lagu berbahasa Bali dengan iringan band Pelangi Group di bawah pimpinan Sugeng, M.A. Selain “Kaden Saje” juga ada lagu “Kaje Kaje Luas ke Gunung”, “Mealih-alihan” dan “I Made Bawe”. Wedhasmara sendiri tampil bersama R. Moelyono, Seni Moelyono.
Maka bisa dikatakan Wedhasmara adalah pelopor sesungguhnya dalam rekaman lagu pop Bali meskipun tidak seperti kebanyakan lagu pop Bali yang memang diproduksi di Bali dan beredar di Bali. Jika mendengarkan rekaman pertama dan asli lagu kadang saja cukup mengejutkan juga karena justru Irama musiknya memakai model musik gurun pasir dan cengkok khas Wedhasmara.
Siapa menyangkal kalau karya-karya Wedhasmara tidak hanya beragam dari segi tema — yang konon banyak tercipta dari pengalaman aslinya sehari-hari — juga disajikan dalam tata kalimat yang lugas dan sederhana namun penuh makna. Tak kalah istimewa, sebagian besar lagu Wedhasmara bisa dinyanyikan atau cocok dialihkan ke dalam berbagai irama misalnya saja “Senja Di Batas Kota” mulai dari versi pop, bossas, jazz, dan sebagainya
Pergelaran Tribute to Maestro I Gusti Putu Gede Wedhasmara | Foto: Tim Kreatif FSBJ 2023
Kalau kemudian ada mengatakan karya-karya Wedhasmara legendaris atau bahkan immortal kirannya bukan berlebihan. Ketika lagu-lagu hits tercipta di masanya, Wedhasmara seperti tak terbawa oleh trend yang berkembang pada masa itu. Karenanya lintas zaman pun lagu-lagunya masih enak didengar dan bisa beradaptasi dengan perkembangan musik masa kini. Karena itulah ketika kita mencari judul-judul lagu Wedhasmara di kanal YouTube misalnya akan ada begitu banyak versi jenis musik maupun aransemen yang berbeda-beda dengan penyanyi yang membawakannya pun berbeda-beda.
Bahwa ternyata justru masyarakat Bali justru tidak banyak yang tahu kalau pencipta lagu-lagu hits nasional itu adalah asli putra Bali, mungkin memang ironis. Namun hal ini juga tak terlepas dari sikap Wedhasmara yang cenderung tidak mau menonjolkan kebaliannya saat berkarya di tingkat nasional. Sehingga bahkan banyak orang luar Bali pun tak menyangka kalau pencipta lagu “Kau Selalu di Hatiku”, “Senja di Batas Kota” adalah putra Bali.
Dari cerita salah satu sahabatnya, Wedhasmara memang sempat merasa sedih karena sepulangnya ke Bali tak banyak orang yang ngeh atau tahu akan sosoknya. Namun semuanya telah berlalu dan yang jelas karya-karya Wedhasmara masih tetap digemari hingga saat ini. Barangkali saja generasi zaman sekarang tidak tahu judul lagunya, tidak tahu penciptanya, namun ketika dinyanyikan satu dua bait lagu-lagu wedhasmara, sebagian besar mengatakan tahu atau pernah mendengarkan.
Maka ketika pergelaran Tribute to Maestro sebagai salah satu mata acara dalam Festival Seni Bali Jani mengangkat sosok Wedhasmara, sangatlah tepat. Momentum ini dapat dijadikan sebagai upaya mengingatkan kembali masyarakat bahwa Bali pernah memiliki seorang putra daerah yang cukup besar pengaruhnya dalam perkembangan musik di Tanah Air.
Selain itu tentu saja acara yang digelar 20 Juli lalu juga sekaligus menjadi kesempatan memperkenalkan seuntaian lagu-lagu bagus yang pernah diciptakan oleh Wedhasmara. Karya-karya yang punya pesona tersendiri, ya… pesona ala Wedhasmara.
Zaman memang telah berubah, sejarah pun akan terus berganti, namun demikian bukan berarti kita melupakan begitu saja apa yang catatan perjalanan salah satu Putra terbaik dari Bali seperti Wedhasmara. Sesuai judul lagunya, tepat kiranya kita mengucapkan, “Kau Selalu di Hatiku”. [T]