“Pelestarian Bahasa Bali Hanya “Sebates Munyi” (Putu Supartika)
SAYA MULAI TULISAN ini dengan judul opini Putu Supartika yang dimuat di tatkala.co tanggal 2 Februari 2018 dan sudah dibagikan sebanyak 385 kali. Supartika dengan bahasa beblakasan, tidak makulit-makulitan, alias secara berani dan eksplisit mengkritik guru bahasa Bali yang saat itu demo besar-besaran karena isu bahasa Bali akan dihapuskan dari kurikulum nasional.
Menurutnya guru demo karena takut kehilangan pekerjaan. Setelah bahasa Bali tetap masuk kurikulum, semangat guru bahasa Bali dikatakan kembali melempem. Guru-guru tidak lagi semangat memperjuangkan pengadaan buku berbahasa Bali di perpustakaan sekolah, tidak semangat melakukan pengembangan diri, seperti menulis atau membaca sastra Bali, atau malas melakukan inovasi sehingga pembelajaran bahasa Bali jadi membosankan.
Setelah lima tahun tulisan Supartika itu bagaimana kondisinya sekarang? Apakah guru bahasa Bali masih “sebatas munyi“? Saya tidak mengatakan bahwa opini Supartika sepenuhnya benar tetapi memang ada benarnya.
Tidak sedikit guru bahasa Bali yang totalitas menjadi pendidik, juga produktif menghasilkan karya. Seperti IGB Weda Sanjaya guru SMAN Bali Mandara peraih Rancage tahun 2022, I Wayan Sudiana uru SDN 1 Padangsambian peraih penghargaan guru inspiratif pembelajaran bahasa daerah dari Kemdikbudristek tahun 2023. Masih banyak lagi yang berprestasi, tetapi masih banyak juga guru yang terus bergerak mengembangkan diri seperti yang dikatakan oleh Supartika.
Kebijakan revitalisasi bahasa daerah yang salah satu rangkaian kegiatannya adalah melatih guru bahasa daerah SD dan SMP menjadi guru master menjadi bukti bahwa pemerintah serius meningkatkan kompetensi guru. Mungkinkah karena opini Putu Supartika? Mungkin saja ia. Di era digitalisasi sekarang informasi bisa menyebar dalam hitungan detik.
Dari kiri ke kanan: Nyoman Armaja (Ketua MKKS SMP Kabupaten Buleleng), Putu Primasuta (Kabid PSMP Disdikpora Kabupaten Buleleng), Ketut Wariana (Ketua MGMP Bahasa Bali SMP Kabupaten Buleleng) | Foto: Komang Sujana
Pemerintah sepertinya tidak mau ceroboh. Data Kemdikbudristek (2022) menunjukkan bahwa bahasa Bali dikategorikan aman karena masih digunakan sebagai sarana komunikasi dalam kehidupan sehari-hari orang Bali. Akan tetapi ancaman kepunahan bahasa datang silih berganti. Peran pendidikan sebagai alat pemertahanan bahasa diharapkan tetap terjaga. Komitmen guru sebagai salah satu unsur penting dalam pendidikan juga harus dijaga.
Saya sendiri sebagai guru bahasa Bali secara sadar mengakui bahwa celoteh Supartika masih relevan sampai saat ini. Saya adalah salah satu guru yang Supartika maksud. Peran saya sebagai pelestari bahasa Bali melalui pendidikan harus divitalkan-dihidupkan dan digiatkan-kembali. Rasa syukur dan ucapan terima kasih kepada pemerintah karena telah mengangkat saya sebagai ASN. Namun, saya menyadari belum sepenuhnya melaksanakan amanah sesuai tuntutan undang-undang.
Di sela-sela tugas mengajar di sekolah, saya memang menyempatkan diri untuk melakukan pengembangan diri, seperti menulis puisi Bali, menulis artikel. Namun, Saya mengakui belum konsisten menjadi guru yang haus inovasi. Pada beberapa kesempatan mengajar saya belum memaksimalkan penggunaan model pembelajaran yang inovatif, belum sepenuhnya memanfaatkan teknologi digital, belum memanfaatkan lingkungan sekolah sebagai tempat belajar. Padahal menurut I Wayan Artika dalam sebuah esainya mengatakan merdeka belajar memberikan kesempatan kepada guru untuk keluar dari belenggu tembok ruang kelas sehingga pembelajaran menjadi bermakna dan menyenangkan.
Sebagai guru bahasa Bali saya sangat bersyukur mendapatkan kesempatan mengikuti kegiatan Workshop Pengimbasan Revitalisasi Bahasa Daerah Bagi Guru-guru Bahasa Bali se-Kabupaten Buleleng, Jumat–Senin, 23–26 Juni 2023 di SMP Negeri 1 Seririt. Kegiatan ini diikuti oleh 54 guru. Narasumbernya adalah para guru master yang sebelumnya telah mengikuti kegiatan Pelatihan Guru Master Dalam Rangka Revitalisasi Bahasa Daerah Di Provinsi Bali tanggal 10-13 Mei 2023 yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Provinsi Bali.
Materi yang disampaikan adalah kebijakan Disdikpora Kabupaten Buleleng, kebijakan Merdeka Belajar Episode ke-17: Revitalisasi Bahasa Daerah, teknik membaca dan menulis aksara Bali, teknik masatua, teknik membaca dan menulis puisi Bali modern, teknik matembang sekar alit, teknik membaca dan menulis cerpen, teknik mapidarta, dan teknik bebanyolan tunggal. Materi ini sangat menambah wawasan saya juga rekan guru yang lain sebagai bekal untuk pengimbasan di sekolah.
I Made Jimat, S.Pd., M.Pd., Kepala SMP Negeri 3 Busungbiu, selaku salah satu narasumber mengatakan bahwa menjadi guru jangan ngekoh ati, tetapi benar-benar panggilan hati. Dalam konteks revitalisasi bahasa daerah, untuk menjadikan siswa senang dan terampil berbahasa, membaca, dan menulis aksara Bali maka gurunya senang berbahasa Bali, senang membaca, menulis, dan melakukan pengembangan diri untuk mendukung kompetensi profesional dan pedagogi.
Saya sangat terpantik dari pesan yang disampaikan oleh Pak Jimat. Saya senang membaca sastra Bali khususnya puisi Bali baik di media digital atau di media cetak, seperti buku atau koran. Tetapi saya masih belum menjadi pembaca cerita berbahasa Bali yang baik, seperti satua bawak (cerpen) apalagi novel.
Sapardi Djoko Damono dalam bukunya Sastra dan Pendidikan mengatakan bahwa dalam pembelajaran apresiasi sastra guru harus berperan sebagai fasilitator untuk menjembatani siswa dan karya sastra. Guru tidak boleh menjadi pemutus pendapat siswa hasil dari penafsiran mereka terhadap karya sastra yang dibaca. Hal ini mengharuskan guru memiliki wawasan lebih sehingga mampu memberikan umpan balik atau penguatan yang membangun. Membaca, menulis, mengikuti pelatihan, atau bergaul dengan komunitas literasi adalah salah satu cara untuk menjadi guru yang dimaksudkan oleh Sapardi.
Banyaknya tugas tambahan di sekolah selain mengajar sering sekali menjadi salah satu kambing hitam terhambatnya pengembangan diri. Padahal guru pasti memiliki waktu luang setelah mengajar atau mengerjakan tugas sekolah. Sering kita tidak menyadari bahwa waktu luang di sekolah justru kita manfaatkan untuk membuka media sosial yang tidak begitu berkaitan dengan tupoksi sebagai guru. Apakah facebook-an, tiktok-an, dan sejenisnya salah bagi guru? Tentu tidak.
Hanya saja saya sekarang menjadi lebih sadar bahwa saya harus memaksimalkan kemajuan teknologi untuk meningkatkan kompetensi profesional dan kompetensi pedagogi melalui membaca karya sastra puisi, cerpen di media laman digital, seperti suarasakingbali.com atau di https://ban.wikipedia.org/, tatkala.co, dan laman web lainnya.
Peserta Diseminasi RBD Berlatih Menggunakan Aplikasi Bali Simbar Dwijendra 2021+ | Foto: Komang Sujana
Selain memvitalkan peran guru, sangat perlu juga memvitalkan peran lembaga terkait. Misalnya Pemerintah Provinsi dan Daerah perlu kiranya membuat kebijakan agar sekolah secara rutin menganggarkan pengadaan buku bacaan berbahasa Bali. Di perpustakaan sekolah saya misalnya masih minim buku bacaan berbahasa Bali. Dan sangat mungkin juga kondisinya hampir sama dengan perpustakaan-perpustakaan sekolah yang lain.
Pemerintah daerah perlu lebih menggiatkan kegiatan-kegiatan yang mendukung revitalisasi bahasa daerah, misalnya Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI) tingkat daerah. Seperti diketahui bahwa FTBI tingkat provinsi dan tingkat nasional menjadi rangkaian kegiatan tindak lanjut dari pelatihan guru master dan pengimbasan di sekolah.
Pada tahun lalu ada tiga siswa Buleleng, yaitu Kadek Dwi Adelina Apriliani (SPMN 2 Sawan), Komang Yenita Wulandari (SDN 1 Banjar Jawa), dan Gede Widi Sedhana Putra (SDN 4 Banyuning) yang menjadi wakil Bali di Festival Tunas Bahasa Ibu tingkat nasional setelah sebelumnya menjadi juara di tingkat provinsi.
Namun, saat itu Pemerintah Kabupaten Buleleng tidak mengadakan FTBI tingkat daerah. Padahal ini penting untuk seleksi dan apresiasi kepada guru dan siswa yang sudah melakukan dan menerima pengimbasan revitalisasi bahasa daerah di sekolah.
Tahun ini juga akan ada kegiatan FTBI tingkat provinsi yang rencananya dilaksanakan bulan November. Saya dan rekan-rekan guru bahasa Bali berharap besar pemerintah daerah mendukung penyiapan siswa yang akan mengikuti FTBI Provinsi sehingga prestasi Buleleng bisa lebih baik dari tahun lalu.
Menurut Prof. Dr. I Made Sutama, M.Pd., bahasa Bali memiliki tiga keutaman sehingga patut dilestarikan. Pertama, bahasa Bali mampu dan telah terbukti sebagai bahasa sastra. Kedua, bahasa Bali memiliki aksara. Tidak semua bahasa daerah di Indonesia memiliki aksara sehingga ini patut menjadi kebanggaan. Ketiga, bahasa Bali mendokumentasi seluruh khazanah kebudayaan Bali.
Jadi, dengan tiga keutamaan itu, memvitalkan kembali bahasa daerah sangat penting. Tidak kalah penting juga adalah memvitalkan peran guru dan lembaga terkait sehingga memiliki tanggung jawab moral untuk mendukung pelestarian bahasa Bali.
Dan saya sendiri sebagai guru bahasa Bali akan terus menjaga komitmen mengembangkan diri dan mendidik dari hati sehingga sedikit demi sedikit bisa menjawab opini sebates munyi. [T]
- BACA artikel lain yang ditulis oleh penulis KOMANG SUJANA