30 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

“Setelah Puisi Memanggil” | Dari Peluncuran 9 Buku 9 Penyair di JKP Denpasar

I Made SujayabyI Made Sujaya
June 26, 2023
inKritik Sastra
“Setelah Puisi Memanggil” | Dari Peluncuran 9 Buku 9 Penyair di JKP Denpasar

Sembilan buku karya sembilan penyair di Bali yang diluncurkan di JKP Denpasar | Foto: Ist

MINGGU, 25 Juni 2023 malam, Jatijagat Kehidupan Puisi (JKP) Denpasar menggelar peluncuran bersama sembilan buku karya sembilan penyair dari Bali. Delapan di antaranya buku puisi dan satu buku kumpulan cerita anak.

Delapan buku puisi itu, yakni Izinkan Aku Memuisikanmu (Ida Bagus Dharmadiaksa), Malam Cahaya Lampion (Tan Lioe Ie), Air Mata (Tanah) Bali (GM Sukawidana), Puisi-puisi yang Ditulis Karena Cinta (Sthiraprana Duarsa), Mengening (Winar Ramelan), Mimpi Tak Usai (Ngurah Arya Dimas Hendratno), Roda Musim (Bonk Ava), dan Renjana (April Artison). Sementara buku cerita anak, yakni Cerita Anak Binatang Mitologi (Mas Ruscitadewi).

Meski bukan buku puisi, Cerita Anak Binatang Mitologi ditulis oleh seorang penyair. Dua hari sebelumnya, Mas Ruscitadewi juga meluncurkan buku Nawa Sena, sebuah novelet yang merespons karya rupa I Wayan Sujana Suklu sehingga diklaim sebagai karya kolaboratif.

Hampir semua buku merupakan terbitan tahun 2023. Hanya Mengening yang terbit tahun 2020. Malam Cahaya Lampion merupakan penerbitan kembali buku dengan judul serupa tahun 2005 lalu. Pada terbitan ulang yang ditandai sebagai “edisi khusus” ini, beberapa sajak di buku sebelumnya tidak disertakan.

Sembilan buku ini memperlihatkan keragaman latar belakang sekaligus pengalaman penyair atau penulisnya. Ada penyair atau penulis yang sudah “jadi”, namun ada juga yang sedang berproses. Mereka berasal dari generasi tahun 1970-an hingga tahun 2010-an.

Penyair tertua berusia 67 tahun (IB Dharmadiaksa, kelahiran tahun 1956), dan termuda berusia 32 tahun (April Artison, kelahiran tahun 1991). Jarak usia penyair ini adalah 35 tahun. Jika 20 tahun dianggap sebagai tanda satu generasi, maka jarak usia penyair ini hampir dua generasi.

Dilihat dari sudut pergaulan kreatif yang melatarbelakangi, sembilan penyair dan penulis yang karyanya diluncurkan juga memperlihatkan suatu perjalanan panjang dunia perpuisian di Bali. Mulai dari era pra-Umbu yang diwakili oleh IB Dharmadiaksa hingga pasca-Umbu yang diwakili oleh April Artison.

Para penyair yang bukunya diluncurkan di JKP Denpasar, Minggu 25 Juni 2023 | Foto: Dok Sujaya

IB Dharmadiaksa mulai meniti “karier” kepenyairannya pada tahun 1976, tiga tahun sebelum kedatangan Umbu. Dia bersentuhan dengan pergaulan kreatif di halaman sastra Bali Post saat diasuh oleh Tjok Raka Pemajun dan Made Taro.

Sementara April Artison mulai menulis puisi tahun 2016, ketika Umbu pelan-pelan mulai mengurangi perannya sebagai penjaga gawang halaman apresiasi sastra Bali Post sebelum akhirnya beralih ke Nusa Bali pada tahun 2020.

Karena itu, sembilan buku yang diluncurkan memberi kemungkinan untuk menelusuri perkembangan puisi Indonesia di Bali era pra-Umbu, era Umbu, dan pasca-Umbu.

Puisi Memanggil

Pertanyaan yang segera menyeruak ketika sembilan buku yang umumnya buku puisi ini diluncurkan, mengapa para penyair itu begitu bergairah menerbitkan buku puisi? Padahal, buku puisi tergolong paling sulit laku. Jangankan untuk mencari pembeli, bahkan untuk menemukan orang yang mau mengapresiasi puisi saja tidak mudah.

Mengapa seorang IB Dharmadiaksa yang lama tak menulis puisi setelah membenamkan diri dalam kesibukan sebagai dosen di Fakultas Ekonomi (FE) Unud kini kembali menulis puisi lalu menerbitkannya? Mengapa seorang anak muda semacam Bonk Ava rela bersusah payah menerbitkan buku kumpulan puisi? Sebagian besar penyair ini menerbitkan buku puisinya dengan biaya sendiri.

“Puisi pun memanggil.” Begitu Yoki (panggilan akrab Tan Lioe Ie) menulis dalam pengantar buku Malam Cahaya Lampion. Panggilan puisi bagi penyair atau mereka yang mengikhtiarkan diri meniti “jalan kata-kata”, merupakan sesuatu yang sulit ditolak. Laksana seorang yang tengah dihinggapi Dewi Cinta, tak kuasa berpaling, bahkan siap menyerahkan segalanya. Panggilan puisi adalah panggilan cinta.

Arya Dimas dalam pengantar buku Mimpi Tak Usai menulis, “Cinta adalah awal dari segala hal di dunia.” Cinta pulalah, tandasnya, yang menjadi awal dari seluruh perjalanan kepenulisan puisi dalam bukunya.

Panggilan puisi sebagai panggilan cinta tak hanya dinyatakan secara eksplisit dalam pengantar para penyair dalam bukunya, tetapi juga dituangkan dalam sajak-sajaknya. April Artison dalam sajaknya “Ketika Melihatmu dengan Mata Terpejam” menulis: “Di taman surga/ Puisi adalah desahan menghanyutkan/ Suara alam menjelma kidung rindu/ Yang menenggelamkan/ Jauh ke dasar jiwa tak terbatas/ Sampai kulupa segala//.

Bonk Ava juga dengan bersahaja menulis: “aku setia menulis sajak/ dengan kata-kata sederhana/ sebab aku mencintai kata/ dengan segala kekurangannya// (Sajak “Aku Mencintai Kata, Dengan Segala Kekurangannya (I)”. Walau, tak jarang, percumbuan dengan puisi begitu getir, bahkan ironis, seperti dilukiskan Ary Duarsa dalam sajak “Puisi-puisi yang Ditulis karena Cinta”: “Aku menulis dan menulis/ Aku menjadi bahagia/ Di atas penderitaanku//”.

Senada dengan Ary Duarsa, IB Dharmadiaksa juga berseru: “Hari-hariku adalah sajak/ penuh hujan dan gelap/ tapi senyum/ di luka// (Sajak “Aku”). Para penyair didikan Umbu itu seolah mengimani betul petikan sajak Umbu, “Melodia”: “cintalah yang membuat diri betah untuk sesekali bertahan/ karena sajak pun sanggup merangkum duka gelisah kehidupan//.

Tapi, bagi penyair, memenuhi panggilan puisi tentu tidak cukup. Panggilan puisi harus dilanjutkan dengan “memanggil puisi”. “Memanggil puisi” bukan sekadar menghadirkan daya hidup puisi dalam diri tapi juga menuntaskannya sampai pada puncak keindahan puisi.

Soal “memanggil puisi” ini, menarik lagi membaca pengantar Yoki yang mungkin bisa menjadi cermin bagi penyair yang sedang berjuang. Pada awalnya, segalanya menjelma puisi, produktivitas menjadi sesuatu yang niscaya. Tapi, perlahan mencuat kesadaran tentang pentingnya faktor pembeda dalam berpuisi.

Dalam memenuhi panggilan puisi, Yoki berusaha memancing dengan cara-cara tertentu sebagai eksperimen untuk “memanggil puisi” agar lahir sebagai puisi dengan faktor pembeda tertentu.

Akibatnya, produktivitas terganggu. Selalu tidak mudah, bahkan tidak jarang penyair harus “bersiap kecewa bersedih tanpa kata-kata” (meminjam larik sajak “Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi” karya Goenawan Muhamad). Namun, persabungan dengan kata dan rasa yang intens terkadang juga bisa menghadirkan sesuatu yang mengejutkan bagi penyair, sehingga upaya “memanggil puisi” menuai hasil.

Untuk bisa “memanggil puisi” yang memiliki faktor pembeda itu, memang penyair mesti bersedia membuat perhitungan dengan menantang hegemoni struktur maupun wacana yang dianggap sudah mapan dalam arena sastra.

Tidak mudah, memang, karena dalam proses kreatif berkarya, pengaruh para pendahulu, terutama yang dianggap guru atau memberi inspirasi dalam berkarya, kerap kali sulit dihindarkan. Karena itu, tantangan yang dihadapi para penyair muda yang tengah memulai biasanya pengulangan, bahkan tanpa disadari bisa menjadi epigon.

Hal ini pernah dinyatakan penyair sekaligus kritikus Arif Bagus Prasetyo saat memabahas buku kumpulan puisi Saron yang juga diterbitkan JKP pada tahun 2018 lalu.

Menurut Arif, sajak-sajak dalam buku itu menggambarkan stagnasi dalam perkembangan puisi Indonesia di Bali. Arif menyebut tak tampak adanya terobosan puitik dan eksperimen yang serius. Dia menyebut hal itu sebagai tantangan serius bagi para penyair-penyair muda yang sedang berproses.

Menemukan “Ladang Garapan”

Itu sebabnya, kesadaran untuk hadir dengan pembeda kiranya penting bagi para penyair yang sedang berproses. Filsuf sekaligus sosiolog Pierre Bourdieau memandang arena sastra atau seni pada umumnya, sesungguhnya arena kekuasaan yang penuh pergulatan, bahkan pertarungan.

Mereka yang mampu merebut posisi dan legitimasi dalam arena sastra ditentukan oleh akumulasi modal yang dimiliki serta habitus yang dilakoni. Bourdieau mengelompokkan modal itu menjadi empat, yakni modal ekonomi, modal kultural, modal sosial, dan modal simbolik.

Dalam arena sastra, modal yang penting, yakni modal kultural berupa kemampuan menulis puisi yang dibuktikan melalui karya-karyanya. Selain itu, modal sosial berupa jaringan dalam komunitas-komunitas sastra atau pergaulan kreatif juga memiliki pengaruh karena memungkinkannya untuk makin menguatkan modal kulturalnya.

Melalui modal kultural dan modal sosial itu, seseorang bisa mendapatkan modal simbolik berupa legitimasi sebagai sastrawan atau penyair. Modal simbolik itu memungkinkan untuk dikonversi menjadi modal ekonomi, walaupun tidak selalu sejalan.

Membaca kesembilan buku yang diluncurkan, segera terasa perbedaan modal simbolik yang telah diraih para penyairnya yang tentu berasal dari modal kultural yang dimiliki.

Modal kultural itu, selain dalam hal kematangan struktur, juga apa yang disebut Umbu sebagai ladang garapan yang menjelma identitas masing-masing penyair atau penulisnya. Melalui kekhasan ladang garapan itu terlihat perbedaan karya-karya mereka di antara karya-karya penyair lain.

Sajak-sajak Tan Lioe Ie, misalnya, menunjukkan suatu kesuntukan mengeksplorasi warna ketionghoaan. Begitu juga sajak-sajak GM Sukawidana yang merepresentasikan kesetiaan menggarap “ladang garapan” segitiga upacara-pesisir-tanah yang dibalut warna lokal Bali.

Hal itu semakin ditegaskan dalam buku kumpulan puisi terbarunya, Air Mata (Tanah) Bali yang mengimpun sajak-sajaknya dengan satu tema tentang keprihatinan atas tergerusnya pesisir dan tanah Bali.

Ary Duarsa juga melakukan hal serupa dengan mencoba menawarkan pembeda itu melalui upaya mengikat sajak-sajaknya dalam satu tema cinta dengan tetap menawarkan permenungan tentang hidup yang paradoks, bahkan ironi.

Dengan kata lain, buku puisi mereka dibingkai dalam satu konsep tertentu, walau konsep itu dirumuskan kemudian, setelah melihat kecenderungan dalam sajak-sajak yang telah dihasilkan.  

Kecenderungan kerja kreatif yang dilandasi konsep yang jelas untuk kepentingan menghadirkan faktor pembeda itu kiranya kini kerap dilakukan kawan-kawan sastrawan. Karena itu, kita menemukan buku puisi yang mengeksplorasi tema tertentu atau diikat oleh tema-tema tertentu.

Buku puisi Playon karya F. Aziz Manna, misalnya, khusus mengeksplorasi dunia permainan tradisional Jawa. Penyair sekaligus pekukis Nyoman Wirata suntuk menggali-gali tentang keteduhan pohon dalam Merayakan Pohon di Kebun Puisi. I Made Suantha tekun mengeksplorasi dunia kupu-kupu dalam Pastoral Kupu-kupu.

Tentu saja, seorang penyair bisa saja menggali-gali “ladang garapan” yang sama dengan penyair pendahulunya. Namun, tetap mesti ada upaya menghadirkan warna berbeda sehingga memperluas kemungkinan bagi “ladang garapan” itu. “Ladang garapan” tentang konflik adat Bali sudah menjadi semacam tradisi dalam sastra Indonesia di Bali, tapi Oka Rusmini tetap bisa tampil berbeda karena dia memilih menautkan persoalan adat Bali itu dengan wacana feminisme di tengah budaya patriarkhi.

Selain konsep karya yang jelas, sastrawan juga mesti bersedia dan bersetia untuk suntuk melakukan sejenis penelitian untuk mendalami dan mempertajam karya yang akan digarap sesuai konsep yang telah ditetapkan.

Dengan begitu, kerja kreatif sastrawan tak beda jauh dengan seorang peneliti. Hal ini juga kerap diakui sejumlah sastrawan. Oka Rusmini dan Cok Sawitri dalam berbagai kesempatan menyebutkan novel-novelnya lahir dari riset yang mendalam.

Upaya semacam itu tentu bisa dipahami karena melalui karyanya, sastrawan sesungguhnya menawarkan suatu “dunia baru”, dunia imajinatif sebagai dunia kemungkinan yang lahir dari refleksi dan interpretasi pengarang terhadap kehidupan.

Melalui karya sastra yang menawarkan berbagai kemungkinan, baik moral, sosial, maupun psikologis, orang dapat lebih cepat mencapai kemantapan bersikap yang menjelma ke dalam perilaku dan pertimbangan pikiran yang dewasa. Sastra memberi ruang bagi pembaca memasuki “segala macam situasi” sehingga pembaca bisa menempatkan diri dalam kehidupan yang luas daripada situasi diri yang nyata.

Inilah kemerdekaan berpikir yang ditawarkan sastra. Begitulah kiranya tantangan sastrawan atau penyair, tak hanya menemukan bahasa, tapi juga menemukan “dunia alternatif” itu.

Tentu, ada banyak motif seseorang menulis puisi. Selain didorong obsesi bahkan mungkin ambisi untuk mendapat legitimasi di tengah arena sastra, ada juga yang menulis puisi karena semata-mata memang ingin menulis puisi. Mungkin baginya puisi adalah rumah yang teduh, tempat untuk pulang, melepaskan dari segala kesuntukan hidup. Dia sudah merasa cukup bahagia ketika puisinya lahir. Tak penting penilaian orang, apakah itu puisi bagus atau jelek, atau malah tak dianggap puisi. Tentu ini juga mesti dihargai.

Namun, penemuan kemungkinan-kemungkinan baru dalam pengungkapan merupakan ikhtiar yang terus dirawat agar dunia puisi Indonesia terus berkembang. Hal ini juga merupakan ciri penting sastra modern, bahkan dunia kreatif secara umum.

Sejatinya, sajak-sajak karya penyair muda yang bukunya turut diluncurkan bukan tidak memiliki potensi bagi terbukanya kemungkinan-kemungkinan baru. Diksi dan metafora berani dari April Artison, kebersahajaan ungkapan Winar Ramelan dan Bonk Ava, maupun ketenangan bahasa seorang Ngurah Arya Dimas merupakan harapan bagi dunia puisi Indonesia di Bali.

Tentu keberhasilan sangat ditentukan oleh kesediaan dan kesetiaan untuk tidak hanya memenuhi panggilan puisi, tapi juga kesuntukan “memanggil-manggil puisi” hingga ke kedalaman makna maupun puncak keindahan hakikinya.

  • Esai ini merupakan pengembangan dari pandangan umum yang disampaikan penulis untuk merespons sembilan buku puisi dan cerita anak karya sembilan penyair yang diluncurkan di Jatijagat Kehidupan Puisi (JKP), Denpasar, Minggu, 25 Juni 2023 lalu.
Melihat Keutuhan Bali | Epilog Suteja Neka untuk Buku Puisi Air Mata (Tanah) Bali
Buku Puisi “Blengbong” | Jejak Penting Kompetisi Puisi ala Umbu Landu Paranggi di Bali
Bukan Liyan, Lebur Tiada Jarak: Faisal Baraas dalam Leak
Tags: GM SukawidanaJatijagat Kehidupan PuisiMade SujayaMas RuscitadewiPenyairSastra Indonesiasastra indonesia di BaliTan Lioe Ie
Previous Post

Lima Hal yang Patut Dihindari Sebelum Memasuki Umur 30-an

Next Post

Berawal dari Chit-Chat, Berujung Bencana bagi Hubungan

I Made Sujaya

I Made Sujaya

Wartawan, sastrawan, dosen. Pengelola balisaja.com

Next Post
Berawal dari Chit-Chat, Berujung Bencana bagi Hubungan

Berawal dari Chit-Chat, Berujung Bencana bagi Hubungan

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Film “Mungkin Kita Perlu Waktu” Tayang 15 Mei 2025 di Bioskop

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Membunyikan Luka, Menghidupkan Diri : Catatan Pameran “Gering Agung” Putu Wirantawan

by Emi Suy
May 29, 2025
0
Membunyikan Luka, Menghidupkan Diri : Catatan Pameran “Gering Agung” Putu Wirantawan

DI masa pandemi, ketika manusia menghadapi kenyataan isolasi yang menggigit dan sakit yang tak hanya fisik tapi juga psikis, banyak...

Read more

Uji Coba Vaksin, Kontroversi Agenda Depopulasi versus Kultur Egoistik Masyarakat

by Putu Arya Nugraha
May 29, 2025
0
Kecerdasan Buatan dan Masa Depan Profesi Dokter

KETIKA di daerah kita seseorang telah digigit anjing, apalagi anjing tersebut anjing liar, hal yang paling ditakutkan olehnya dan keluarganya...

Read more

Sunyi yang Melawan dan Hal-hal yang Kita Bayangkan tentang Hidup : Film “All We Imagine as Light”

by Bayu Wira Handyan
May 28, 2025
0
Sunyi yang Melawan dan Hal-hal yang Kita Bayangkan tentang Hidup : Film “All We Imagine as Light”

DI kota-kota besar, suara-suara yang keras justru sering kali menutupi yang penting. Mesin-mesin bekerja, kendaraan berseliweran, klakson bersahutan, layar-layar menyala...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”
Panggung

ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”

MENYOAL asmara atau soal kehidupan. Ada banyak manusia tidak tertolong jiwanya-sakit akibat berharap pada sesuatu berujung kekecewaan. Tentu. Tidak sedikit...

by Sonhaji Abdullah
May 29, 2025
Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025
Panggung

Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025

LANGIT Singaraja masih menitikkan gerimis, Selasa 27 Mei 2025, ketika seniman-seniman muda itu mempersiapkan garapan seni untuk ditampilkan pada pembukaan...

by Komang Puja Savitri
May 28, 2025
Memperingati Seratus Tahun Walter Spies dengan Pameran ROOTS di ARMA Museum Ubud
Pameran

Memperingati Seratus Tahun Walter Spies dengan Pameran ROOTS di ARMA Museum Ubud

SERATUS tahun yang lalu, pelukis Jerman kelahiran Moskow, Walter Spies, mengunjungi Bali untuk pertama kalinya. Tak lama kemudian, Bali menjadi...

by Nyoman Budarsana
May 27, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

May 17, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [15]: Memeluk Mayat di Kamar Jenazah

May 15, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co