PARA AUDIENCE PUN disilahkan memasuki ruang pertunjukan usai mengikuti presentasi Wayan Sumahardika tentang perjalanan proses produksi proyek pertunjukan repertoar arsip The (Famous) Squatting Dance selama beberapa tahun belakangan.
Di ruang pertunjukan itu, kami disambut dengan narasi audio visual tentang laku jongkok di masa lalu dalam seting kolonial. Suguhan arsip visual pada layar itu memanggil ingatan penonton untuk mengingat kembali Indonesia di masa penjajahan. Dimana laku jongkok kerap kali dimanfaatkan oleh penguasa untuk menciptakan relasi kuasa antara penjajah dan terjajah melalui laku tubuh berupa hukuman.
Ketiga penampil pun melakukan pemanasan ditengah persiapan menujukkan kepiawainnya menampilkan koreografi jongkoknya. Pementasan tertutup oleh Mulawali Institute, Sabtu (10/6/2023) sebagai bagian dari persiapan pementasan pada program Helatari di Teater Salihara Jakarta pada Sabtu-Minggu 17-18 Juni 2023.
Berangkat dari tari Igel Jongkok atau kini dikenal dengan sebutan Kebyar Duduk karya I Ketut Marya yang populer pada tahun 1928. Wayan Sumahardika dengan piawai menyusun kepingan-kepingan pengetahuan koreografi laku jongkok secara apik melalui riset arsip yang sangat dalam.
Pembacaannnya terhadap fenomena I Ketut Marya sebagai pendobrak zaman dunia kesenimanan tari di Bali, dapat ia tarik dalam berbagai isu dan gagasan. Kemudian memanggil hasrat para penikmatnya untuk mendialogkan koreografi laku tubuh jongkok dengan narasi politis-estetis, konteks seting kolonial kala itu, serta jalin kelindan dialog lokal dan global atas dinamika kebudayaan dan perubahan sosial masyarakat Bali.
Koreografi “The (Famous) Squatting Dance : Jung Jung te Jung” di Teater Salihara | Foto: Dokumen Salihara
Kehadiran sosok I Ketut Marya pada awal abad 20 melalui karya monumental Igel Jongkok itu menjadi penanda transisi Bali menuju modernitas dalam setting lokal. Dikenal sebagai Ketut Mario di kalangan peneliti Barat, Ia berhasil menciptakan genre tarian baru menyambut era gamelan Kekebyaran atau Gong Kebyar yang kala itu sedang populer dalam jagad musik tradisi Bali.
Perjumpaan Marya dengan latar belakang penari Gandrung dengan Gong Kebyar menghasilkan konstruksi tarian bernama Igel Jongkok. Tak hanya itu, kemunculan sosok Marya sebagai seniman tari juga menunjukkan upayanya menerobos tatanan tradisi penciptaan tari yang sebelumnya bersifat komunal dan anonim menjadi karya tunggal dengan karakter dan keabadian yang kuat.
Koreografi jongkok lahir dari laku tubuh Marya dalam merespon ruang kalangan atau panggung pertunjukan yang belum pernah ia alami sebelumnya. Pola penataan gamelan Gong Kebyar yang hampir separuh mengelilingi arena pertunjukan telah membatasi interaksinya dengan penonton.
Untuk tetap menciptakan suasana interaktif, maka digantikan dengan para penabuh salah satunya pengendang dalam posisi duduk bersila. Keadaan itulah yang mengharuskan Marya untuk mengambil posisi jongkok sambil menari sebagai bentuk interaksi dirinya sebagai penari dengan penabuh kendang. Melalui gaya tari gandrung yang telah menubuh pada sosoknya, ia pun melakukan improvisasi yang menarik.
Jenis tarian tradisi Gandrung memang lazim menampilkan interakasi menari secara berpasangan antara penari dengan para penonton laki-laki yang nyaris bersentuhan hidung. Maka gaya tari gandrung yang dikoreografi atas situasi kebaruan gamelan Gong Kebyar dengan ritme cepat, rancak dan dinamis itulah melahirkan Igel Jongkok dengan citra laki-laki Bali yang maskulin sekaligus menampilkan sisi feminim dan juga romantis.
Koreografi “The (Famous) Squatting Dance : Jung Jung te Jung” di Teater Salihara | Foto: Dokumen Salihara
Di tengah upaya menghidupkan sosok I Ketut Marya pada panggung pertunjukan , potongan-potongan repertor arsip dan narasi dinamika tari Igel Jongkok itupun juga dihadirkan. Mulai dari sosok murid Marya bernama I Sampih dari Gianyar hingga perubahan penamaan tari Igel Jongkok menjadi Kebyar Duduk oleh kehendak birokrat. Seperti I Sampih yang merupakan sosok populer sebagai penari Igel Jongkok pada era pemerintahan Sukarno.
Marya melalui Sampih juga turut menghadirkan Oleg Tamulilingan sebagai turunan dari tari Igel Jongkok yang sangat populer di tahun 50an. Namun, Sampih berakhir meninggal secara tragis di tengah popularitasnya sehingga membawa teka teki yang belum terungkap sampai hari ini.
Menerjamahkan Repertoar Arsip ke dalam Koreografi dan Pertunjukan
Bagi penikmat pertunjukan dari kalangan awam seperti saya, menikmati pertunjukan ini seperti menonton teater dan tari sekaligus pameran arsip. Bersumber dari arsip teks dan visual pada rentang tahun 1928-1935 oleh Collin McPhee dan Miguel Covarrubias. Semuanya dibingakai dalam format pertunjukan, dan ragam gagasan melalui selang seling teks, audio, visual, koreografi dan dialog para penampilnya yang cukup apik.
Kelahiran Igel Jongkok sezaman ketika Bali mengalami perubahan lansekap sosial politik memasuki awal abad 20. Pasca meletusnya perang Puputan Badung, kolonialisme di Bali makin menunjukkan eksistensinya. Keran industri pariwisata di Bali mulai dibuka, ditandai dengan kehadiran banyaknya peneliti barat menikmati dan mengungkap eksostisme tradisi dan budaya Bali yang otentik didukung dengan bentang alam tropis bak surga untuk digaungkan seluruh dunia.
Di sisi lain, kolonialisme semakin menancapkan perannya dalam berbagai aspek kehidupan. Kesewenangan kolonial kerap kali memperlakukan masyarakat terjajah dengan hukuman berjalan jongkok. Laku Jongkok pun seakan menciptakan pengalaman yang menubuh pada masyarakat terjajah dalam kuasa budaya feodal dan politik berbasis kelas di negara jajahan.
Atas pengalaman itulah, laku jongkok kerap hadir dalam dinamika keseharian laku tubuh yang mengekspresikan relasi kuasa, misal hukuman yang diberikan orang tua kepada anaknya atau guru kepada muridnya. Lalu kemudian, situasi itu ditangkap melalui pembacaan sang sutradara melalui proyek pertujukan ini. Bagaimana jika laku jongkok diintervesi dalam koreografi sejalan dengan ekspresi Marya merespon situasi zaman kala itu.
Sosok-sosok penampil yang memiliki keragaman latar belakang personal juga memberikan sisi lain yang memperkaya jalinan narasi pada pertunjukan. Sosok Jacko misalnya, tampil membawakan laku jongkok sebagai pengalaman tubuh yang sangat dekat dengan kesehariannya. Ia lahir dari keluarga perantauan Jawa di Bali yang menjalani usaha sebagai penjual tanaman hias.
Koreografi “The (Famous) Squatting Dance : Jung Jung te Jung” di Teater Salihara | Foto: Dokumen Salihara
Aktivitas berkebun dan bertanam dengan posisi tubuh jongkok menjadi laku tubuh yang dialami dalam keseharian bersama orang-orang di sekitarnya. Kepiawaiannya menarikan jenis tarian shuffle berhasil mempresentasikan tranformasi koreografi gerak dasar tari Bali dari laku tubuh sehari-hari menjadi gerak tari bali yang estetis.
Sehingga penonton mampu menangkap asal muasal gerak dasar tari Bali yang sangat erat kaitannya dengan aktivitas masyarakat agraris. Di sisi lain, eksplorasi Jacko sebagai penampil yang menghadirkan karakter kejawaannya menyiratkan pertunjukan ini turut hadir dalam menyuarakan dialog antarbudaya dan keragaman masyarakat Bali hari ini.
Begitu juga dengan Mangtri, yang hadir bagaikan jelamaan sosok Marya dan Sampih diatas panggung. Sebagai pemuda Bali yang lahir dan tumbuh dengan tradisi Bali yang kuat, perjalanannya kepenariannya tak jauh dari pengalaman biografi Marya dan Sampih.
Koreografi “The (Famous) Squatting Dance : Jung Jung te Jung” di Teater Salihara | Foto: Dokumen Salihara
Sejak kecil ia tumbuh dalam didikan aktivitas dunia tari atas arahan orang tuanya. Mendalami tari tradisi Bali dari sanggar hingga tingkat pendidikan tinggi di Bali, menjadikan dirinya sebagai sosok penari profesional yang sangat lekat persinggungannya dengan pengetahuan tradisi dan non-tradisi. Adegannya membawakan koreografi Igel Jongkok ditampilkan secara paripurna juga cukup berhasil menerjemahkan arsip visual dari layar menuju panggung yang nyata.
Begitu juga dengan Agus, berangkat dari latar belakang teater. Perannya di atas panggung tampil dominan membawakan serpihan-serpihan monolog dari berbagai narasi arsip yang menjadi bahan bakar pertunjukan ini. Ia hadir melengkapi kedua sosok penari dengan menghadirkan narasi menjaga jalannya pertunjukan agar tetap tampil menonjolkan sisi riset arsip yang kuat.
Di tengah lalu-lalang gagasan yang kompleks dalam pertunjukan ini, terdapat hal yang rupanya luput dari perbincangan. Yaitu, perihal ekspresi lelaki maskulin sekaligus feminim dalam koreografi Igel Jongkok.
Sisi unik ini patut menjadi ruang eksplorasi yang menarik, bagaimana gagasan ekspresi itu hadir ditengah gagasan heteronormatif biner yang dominan di tengah masyarakat kita baik dulu maupun hari ini? Atau perlukan itu dihadirkan dan dibaca ulang? Sengaja atau tidak, mungkin akan menjadi kejutan pada versi The (Famous) Squatting Dance versi berikutnya.
Sebagai tontonan, upaya kreatif Wayan Sumahardika bersama kolektif Mulawali Institute-nya, telah membawa kesegaran dan kekinian pada lansekap panggung pertunjukan kontemporer di Bali. Mereka menawarkan celah baru dalam upaya pembacaan ulang dan jembatan atas pengetahuan tradisi dengan situasi kontemporer yang dialami Bali dalam kontestasinya di tingkat lokal maupun global. [T]
- BACA artikel seni dan budaya lainnya dari penulis ARIF WIBOWO