PEMAIN SEPAKBOLA hebat dunia sering dijuluki seniman bola. Bahkan Pele atau Maradona, misalnya, disanjung tinggi sebagai pesepakbola berkelas maestro.
Olahraga yang paling populer sejagat itu juga dikagumi sebagai sebuah permainan yang maha indah. Karena itu, permainan elok sepakbola Brasil dipuji bak tari Samba. Demikian pula liukan sepakbola Argentina disanjung bagaikan tari Tango nan mempesona.
Jika kesenian dipandang bersifat universal—memancarkan binar keindahan pada kehidupan manusia di penjuru bumi—sepakbola juga tak kalah semesta spirit damainya.
Jejak-jejak olahraga ini sudah ditemukan pada sejumlah peradaban kuno Tiongkok dinasti Han abad II Masehi hingga zaman Romawi dengan sebutan haspartun.
Kini, sepakbola dimainkan di negara-negara besar modern sampai di pelosok kampung pedalaman yang posisinya mungkin tak terendus dalam peta dunia.
Olahraga permainan si kulit bundar yang merakyat ini termasuk digemari banyak penonton. Ada pula yang dengan fanatik mengusung olahraga ini sebagai “agama” kedua.
Sepakbola membumbung gengsinya sejak digelar dalam ajang Piala Dunia oleh Federation Internationale de Football Association (FIFA) pada tahun 1930 yang dilangsungkan di Uruguay.
***
Masyarakat Indonesia masa kini termasuk sangat menggandrungi sepakbola. Olahrahga ini mulai dimainkan di Pulau Jawa pada tahun 1914 yang diperkenalkan oleh orang-orang Belanda.
Sebaran pegiat dan pecinta olahraga bola kaki ini, dalam perkembangannya, kemudian dinaungi dengan pendirian lembaga Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) pada tahun 1930. Sejak itu, timnas sepakbola Indonesia tak mau kalah untuk merengkuh prestasi bahkan sampai level Piala Dunia, seperti misalnya ambil bagian dalam kualifikasi Piala Dunia pada tahun 1958 yang dilangsungkan di Swedia.
Kendati belum mampu unjuk gigi membanggakan bangsa di forum tertinggi itu, akan tetapi eksistensi sepakbola di Tanah Air tak pernah kendor, hingga hari ini. Di Bali, misalnya, masyarakatnya, selain antusias menonton seni pertunjukan, juga banyak yang tertarik menonton pertandingan sepakbola—menggeliat sejak tahun 2015 yang digelorakan oleh kebolehan Bali United. Stadion Kapten I Wayan Dipta di Kabupaten Gianyar menjadi saksi membuncahnya riuh penonton sepakbola di Pulau Dewata.
Hampir setiap negara di dunia berharap para atlet sepakbolanya tampil di Piala Dunia. Selain terobsesi dan berambisi menggamit juara, tidak sedikit yang berjuang keras untuk menjadi tuan rumah pesta akbar sepakbola sedunia itu.
Hasrat sebagai negara peserta maupun berdahaga menjadi penyelenggara tersebut, juga bergemuruh di dada bangsa Indonesia. Walaupun asa itu tampaknya seperti halusinasi, akan tetapi ada jalan ada peluang.
Celah itu menguak pada gelaran Piala Dunia U-20. Digedor oleh keinginan yang berdebur, dengan percaya diri, Indonesia pun mengajukan diri untuk menjadi tuan rumah perhelatan tahun 2023. Syukur, melalui suatu proses seleksi yang dilakukan oleh FIFA, mimpi indah untuk turut sebagai peserta dan sekaligus bertindak selaku tuan rumah dipastikan menjadi kenyataan.
Pada bulan Mei-Juni, Indonesia resmi ditunjuk sebagai penyelenggara. Bersama 23 negara lainnya, pesepakbola muda Indonesia yang sudah jauh-jauh hari mempersiapkan diri, diberi “bonus” untuk turut berlaga. Enam lapangan sepakbola telah dipilih, termasuk stadion Kapten I Wayan Dipta.
Tunggu, jangan bereuforia dulu. Tak ada mendung tak ada hujan, kebanggaan dan kehormatan menjadi tempat perhelatan prestisius Piala Dunia itu, tiba-tiba disambar gledek di siang bolong.
Sekitar pertengahan Maret, sejumlah pihak dari ormas, partai politik hingga satu dua pejabat pemerintah melontarkan penolakan keikutsertaan dan kehadiran Israel—salah satu kesebelasan yang lolos kualifikasi.
Polemik pun merebak bersengkarut dalam silang pro dan kontra. Singkat cerita, akhir Maret, FIFA mengambil langkah lugas, mencoret Indonesia sebagai tuan rumah. Kita ternganga. Kita blingsatan terbangun dari sebuah buaian mimpi.
Para insani sepakbola Indonesia bersedu sedan, sedih dan kecewa. Kesempatan langka untuk menunjukkan harkat dan martabat bangsa di mata dunia sirna. Media sosial menjadi sesak dengan beragam hiruk pikuk ungkapan, dari yang mengerang emosional hingga celoteh menggerutu dongkol.
Di tengah ingar bingar ini, Presiden Joko Widodo berpidato dengan amanat jelas, “Jangan mencampuradukkan urusan olahraga dengan politik”. Tapi, kiranya, para penolak tim Israel itu, telah berhura riang.
***
Panggung diplomasi kebudayaan telah berkontribusi pada politik luar negeri Indonesia. Jagat seni sering dikedepankan pada zaman Bung Karno, di antaranya dengan mengirim para seniman andal unjuk pesona di luar negeri.
Namun, walau kini, partisipasi atlet-atlet kita dalam perhelatan olahraga antar bangsa yang digelar di dalam maupun di luar negeri tak digadang-gadang secara eksplisit sebagai misi diplomasi, akan tetapi sumbangsihnya pada keharuman nama Indonesia tidak sedikit.
Dalam bidang bulutangkis misalnya, Indonesia begitu disegani dunia dan sering mengobarkan keharuan nasionalisme kita di forum internasional. Terbukti pula, asas sportivitas dan persahabatan dalam olahraga telah menunjukkan hasil yang positif dan berhasil merujukkan hubungan renggang antar negara.
Tengoklah kembali diplomasi pingpong Amerika-Tiongkok di tahun 1970an yang berujung pada kunjungan Presiden Amerika Richard Nixon yang menjadi penanda dibukanya isolasi Tiongkok dari dunia luar. “Diplomasi sepakbola” yang bertujuan perdamaian antar bangsa juga sudah banyak dipertandingkan di penjuru belahan jagat.
Pencampuradukan olahraga dengan politik yang kontra produktif bahkan destruktif adalah bila dicemari dengan politik bablas pragmatis. Kiranya, pembatalan Piala Dunia U-20 di Indonesia dikoyak oleh egoisme politik oportunis tumpul empati, mengabaikan dimensi konstruktif bagi persepakbolaan kita.
Bagi Bali yang terpilih sebagai salah satu venue pertandingan, sudah pasti akan mereguk imbas ekonomi kepariwisataan berikut semua aspeknya. Mata dunia pun kian akan lebih terbelalak pada Bali, sebagai destinasi wisata masyur Island of Paradise.
Tetapi, begitulah. Binar-binar cerah itu telah padam. Gol pinalti FIFA telah menerjang. Kita telah mempermalu diri sendiri. Kita dicibir dengan sinisme tudingan mencla-mencle, plintat-plintut, konyol dan sederet cap minor lainnya.
Jika kita tak jera berulah offside dan berpaham absurd dalam konteks percaturan olahraga internasional, Indonesia akan terus diganjar “kartu merah”. Sepakbola kita membusuk di liang kubur. Sepakbola pun tak tampak indah lagi.[T]