SEMERBAK aroma manis—yang seolah-olah mengundang untuk segera dilahap—tercium di sepanjang jalan jembatan Bangkiang Sidem, Desa Ambengan, Singaraja-Bali.
Ya, aroma manis itu berasal dari aneka macam buah yang dijajakan pedagang kaki lima di bawah tebing batu dan payung pelangi besar lengkap dengan sebuah meja kayu sederhana yang berderet menghiasi jalur kilometer enam puluh.
Dilansir dari Wikipedia, pedagang kaki lima (PKL) merupakan istilah untuk menyebut penjaja dagangan yang melakukan kegiatan komersial di atas daerah milik jalan (DMJ/trotoar) yang (seharusnya) diperuntukkan untuk pejalan kaki (pedestrian).
Sebenarnya, istilah kaki lima berasal dari masa penjajahan kolonial Belanda. Peraturan pemerintahan waktu itu menetapkan bahwa setiap jalan raya yang dibangun hendaknya menyediakan sarana untuk pejalanan kaki. Lebar ruas untuk pejalan adalah lima kaki atau sekitar satu setengah meter.
PKL di jalur KM 60 Singaraja, berderet di bahu jalan, kira-kira hanya berjarak 10 langkah saja satu sama lain. Dan tentu, kalian akan temui saat dalam perjalanan menuju Singaraja-Denpasar atau sebaliknya. Mereka mulai membuka lapak dari pukul 9 pagi hingga 6 sore. Jalur ini memang sudah menjadi ikon tempat mereka berjualan—walau ini hanya musiman. Ketika musim buah tiba, mereka akan turun ke jalan.
Mangga dan keladi di salah satu lapak / Foto: Dok. Risma
Walaupun bersebelahan dan menjual barang yang sama, sepertinya mereka bersaing secara sehat, karena tak pernah terdengar berita telah terjadi baku hantam akibat memperebutkan pelanggan. Hmm..apa mungkin mereka telah memiliki konsep pemikiran seperti ‘setiap orang sudah memiliki porsi rezekinya masing-masing’? Entahlah.
Tetapi, jika dipikir-pikir, dengan adanya banyak penjual di tempat yang sama dengan barang yang sama pula, itu malah akan memudahkan para konsumen. Mereka tak perlu lagi untuk mengantre lama demi mendapatkan apa yang ingin mereka beli, karena mereka bisa menuju ke pedagang yang lengang tanpa membuang-buang waktu lagi.
Seorang penjual sedang melayani pembeli / Foto: Dok. Risma
Ini juga sangat menguntungkan bagi mereka yang malas untuk pergi ke pasar dan kebetulan lewat di jalur ini. Jadi, tidak perlu berdesak-desakan, hanya perlu melipir sedikit saja ke bahu jalan raya.
Dan ini yang khas, tawar-menawar saling bersahutan dengan suara bising kendaraan. Orang-orang dengan ransel di punggungnya itu—kita akan banyak menemukan orang seperti ini di sana—sibuk memilah dan memilih buah yang mungkin akan dijadikan sebagai bekal atau sebagai buah tangan (oleh-oleh) untuk seseorang.
Sumber kehidupan
Di tengah hiruk pikuk kendaraan berlalu-lalang, terdapatlah Luh Redi. Ia merupakan salah satu bagian dari pemilik dagangan musiman yang sudah berjualan kira-kira selama 10 tahun belakangan.
“Buah yang saya jual ini semua hasil kebun dari Desa Ambengan saja, namun terkadang saya juga mengambilnya dari saudagar buah dari daerah-daerah lain,” terang Luh Redi, sambil menimbang buah mangga.
Luh Redi dan barang dagangannya / Foto: Dok. Risma
Seperti yang dikatakan oleh Luh Redi, para pedagang kaki lima yang berjejer—bahkan sampai Desa Adat Lumbanan itu—kebanyakan berasal dari Desa Ambengan.
Dan, semua buah yang ia pajang saat ini memang sedang musimnya berbuah. Seperti buah durian, mangga, dan talas—yang mentah dan yang sudah diolah menjadi kripik.
Karena Desa Ambengan terkenal dengan duriannya yang melimpah, biasanya para pedagang menjual berbagai jenis durian. Namun, karena saat ini hanya ada durian Bali saja, jadi para pedagang hanya menjual buah yang ada saja.
Bisa dikatakan, para pedagang kaki lima ini menggantungkan harapannya pada orang yang berlalu lalang di jalanan. Mereka menganggap jalur KM 60 ini sebagai sumber kehidupan lain yang diberikan Tuhan kepada mereka.
Jalur ini adalah “pasar” buah musiman yang strategis. Maka tak heran jika orang-orang—khususnya mereka yang dari Ambengan—menggantungkan hindup dari jalur Singaraja-Denpasar ini.
Tetapi, meskipun Luh Redi, dkk, berjualan di pinggir jalan yang ramai, itu tak menjadi jaminan bahwa dagangan mereka akan laris. “Iya sih kita jualan di jalan, terus banyak orang lewat. Tapi itu juga tidak menjamin dagangan kita habis terjual semuanya,” kata Luh Redi menyampaikan keluh kesah hatinya.
Syukur, meski dagangan mereka tak terjual habis semua, setidaknya mereka tak perlu lagi memikirkan atau menyisihkan uang hasil jualan untuk membayar sewa tempat. Bayangkan saja, bagaimana ketika mereka hanya mendapatkan hasil penjualan tak seberapa, tapi harus tetap membayar uang sewa tempat. Bukannya untung, malah jadi buntung.[T]
*Penulis adalah mahasiswa prodi Ilmu Komunikasi STAHN Mpu Kuturan Singaraja. Sedang menjalani Praktek Kerja Lapangan (PKL) ditatkala.co.