PERKEMBANGAN SENI RUPA, khususnya seni lukis, belakangan ini cukup menggembirakan. Berbagai pameran seni rupa di gelar di daerah dan kota-kota besar di Indonesia. Semua berpacu untuk dapat menembus pasar seni rupa. Namun benarkah seni rupa punya dan perlu pasar? Seperti apa pasar seni rupa, dan bagaimana menembusnya?
Ada yang beranggapan para perupa atau pelukis itu seniman. Mereka tidak perlu pasar. Yang diperlukan adalah ide, ruang, dan karya. Tetapi bukankah proses karya adalah menghasilkan dan menginterpretasikan hasil karya? Dengan demikian dibutuhkan komunikasi terhadap seni rupa dan perupanya.
Setiap karya memerlukan apresiasi. Tanpa apresiasi sama saja onani. Setiap muncul gairah dituangkan dalam kanvas. Setelah itu klimaks. Selesai. Orang lain tak dapat menikmatinya.
Ada pula yang berpendapat karya seni rupa tak butuh apresiasi, karena karya itu lahir dari gejolak rasa. Anggapan semacam itu tentu saja egois, karena menegasikan sisi penikmat karya; yaitu orang lain. Oleh sebab itu pasar seni rupa akan menjadi ajang apresiasi sekaligus pertukaran dan pertarungan gagasan seni.
Ruang Karya
Karya seni rupa memiliki kekuatan yang berbeda antara satu perupa dengan perupa lain. Kekuatan itu bisa ada di hasil karya maupun diri pribadi perupa. Keduanya akan menyatu dalam satu ruang karya, seperti lukisan. Kekuatan hasil karya merupakan perpaduan goresan, garis, dan warna.
Lukisan yang memiliki kekuatan bukan hanya enak dilihat (eye catching), namun juga memiliki daya hidup. Lukisan yang mempunyai getaran menusuk jiwa penikmatnya. Kekuatan itu di Bali disebut metaksu, punya kekuatan metapersonal; kekuatan magis. Itu semua karena melukis dengan sepenuh jiwa dengan mantra dan pasopati. Jadi lukisan itu punya ruh, bisa “hidup”.
Ruang karya juga dapat dilihat dari identitas perupa yang mengarah pada personal branding. Banyak perupa Indonesia yang mencoba membuat personal branding, sehingga menambah daya dobrak karyanya. Personal branding juga membuat seorang perupa menjadi sosok yang unik, yang membedakan dari perupa lain.
Dahulu, seorang pelukis hanya sekadar menggaris dan menggores di kanvas. Kini banyak pelukis yang menambah personal branding dengan membuat karya instalasi maupun musikalisasi puisi. Entah sebagai pengusir kejenuhan dalam melukis atau memang mencipta personal branding.
Fenomena dekonstruksi atau demitologi identitas perupa atas dasar aliran seni rupa juga mulai tampak belakangan ini. Ada yang beranggapan, melukis adalah melepas jiwa yang merdeka tanpa sekat aliran; keluar dari mainstream.
Sesungguhnya fenomena tersebut merupakan bentuk konsistensi pada perubahan, bukan terbelenggu pada keajegan. Hari ini melukis abstrak, besok realis, lusa dekoratif. Tak mengapa. Kampus saja sekarang merdeka; kenapa pelukis tidak.
Ruang Komunikasi
Pasar seni rupa pada hakikatnya merupakan ruang komunikasi bagi sebuah karya. Ruang itu bisa bersifat konvensional maupun digital. Secara konvensional ruang komunikasi karya dapat dilakukan dalam bentuk pameran di galeri, mall, perkantoran, hotel, maupun art center. Kota-kota besar seperti Denpasar, Yogya, Surabaya, Bandung, dan Jakarta sering menjadi ajang pameran lukisan.
Pameran sering dianggap sebagai portofolio yang akan menggambarkan jam terbang perupa. Selain itu, pameran dijadikan ajang unjuk karya terbaru perupa. Keberhasilan pameran bukan hanya diukur dari berapa buah lukisan yang terjual saat pameran, tetapi juga seberapa banyak pengunjung yang hadir serta siapa saja yang hadir dalam pameran.
Perupa akan menjalin jejaring dengan berbagai pihak untuk menyukseskan pameran; mulai dari kurator, sponsor, kolektor, pengusaha, politisi, LSM, selebritis, akademisi, dan sebagainya. Pameran akan dianggap berkelas jika ada artis ibukota yang hadir, bupati, gubernur, dan menteri.
Meski demikian, perupa tidak cukup sekadar mengandalkan pameran. Ruang komunikasi maupun show room digital perlu diciptakan pula. Media sosial seperti Instagram, Youtube, Facebook, dan Twitter sering digunakan perupa sebagai ruang komunikasi hasil karya. Bahkan transaksi digital dalam penjualan karya bisa menjadi keniscayaan.
Membincang pasar dan ruang komunikasi, tampaknya perupa perlu berdamai dengan rezim pariwisata yang konon kapitalistik. Setiap event pariwisata, baik berskala nasional maupun internasional, dapat menjadi pasar dan ruang komunikasi bagi perupa. Industri pariwisata dapat menyediakan ruang untuk eksebisi perupa.
Dunia seni rupa dapat pula menjadi bagian dari paket wisata suatu daerah. Wisatawan diajak menikmati karya perupa di galeri, atau belajar melukis. Oleh karenanya diperlukan sinergi antara pemerintah, biro perjalanan, dan perupa. Bagaimanapun, seni rupa adalah produk budaya suatu masyarakat yang perlu menjadi kebanggaan bangsa.
Seni rupa adalah media komunikasi yang menyenangkan dan dapat dinikmati secara renyah. Karena perupa biasanya akan menyampaikan pesan dalam karyanya secara mudah, meski pesan yang disampaiakan mungkin terasa berat bagi penikmat karya. Penyair Charles Bukowski berujar, seorang intelektual mengatakan hal yang sederhana dengan cara yang sulit. Seorang seniman mengatakan hal yang sulit dengan cara yang sederhana. [T]
- BACA artikel lain dari penulis CHUSMERU