SETELAH SUKSES MENGGELAR pameran pertama, dengan tema “Kembang Langit”, Art Osing, sering dieja sebagai ArtOs, kembali menggelar pameran kali kedua. Pameran dengan tema ArtOs Nusantara dibuka Bupati Banyuwangi, Ipuk Fiestiandani, diantar sambutan daring Mentri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Salahuddin Uno.
Ada yang menarik dari pameran tahun ini, selain membuka lokus baru seni lukis pesisir — dengan segenap diaspora kultural yang terjadi di Banyuwangi — ArTOs kali ini seakan-akan menautkan sejarah niaga Kota Pesisir Banyuwangi, perihal perkembangan sejarah kota dan anasir-anasir yang membangun budaya Banyuwangi.
Sebagai kota pesisir — wilayah paling timur Pulau Jawa ini seperti ditakdirkan menjadi ‘ dermaga’ kultural, mewariskan tenunan kebudayaan dan tradisi khas — di mana silang kebudayaan, diaspora sosio kultural mengalir membentuk identitas kebudayaan Banyuwangi . Memang ada yang terus mengalir di kota pesisir ini, sekaligus menunjukkan daya kreatif kota dalam silang campur kebudayaan yang dinamis.
Terlepas dari tema ke-nusantara-an, dalam rajutan spirit tradisi pulau-pulau — pameran seni lukis dan instalasi kali ini digelar di sebuah gudang tua, tepat di depan teluk buatan, di pesisir Pantai Boom — di mana kesilaman dan kekinian disambung dalam rajutan akar-akar tradisi menuju wajah kekinian budaya Banyuwangi. Dan pameran kali ini seperti tengah menarasikan semangat kreatif baru di tengah-tengah dunia kian datar dalam jejaring nirkabel dunia metaverse dan tantangan dunia serba baru.
Memang sejak zaman silam, alih-alih setelah VOC menekuk Belambangan, usai perang Banyu [1771], menelan banyak korban, Banyuwangi menjelma sedemikian rupa sebagai kota niaga. Pantai Boom, di mana gudang tua ini disisakan sejarah, entah karena kebetulan dijauhkan dari libido vandalisme, yang awalnya adalah pelabuhan penting di mana kapal-kapal hilir mudik mengangkut rempah dan hasil bumi antarpulau. Dan di titik ini, laut tak cuma menjadi sumber hidup rakyat — namun ikut menghidupkan ruang-ruang imajinasi para seniman di Banyuwangi.
Bahkan berdasarkan sumber-sumber lisan, gudang tua ini pernah dijadikan gudang simpan logistik Perang Dunia I [1914 -1918], di mana kontak telegram dari Banyuwangi ke Darwin, atau dari Perth ke Banyuwangi terjalin baik. Bisa dibayangkan, seperti apa kesibukan gudang peti kemas ini di masa silam itu. Namun sebagai cagar budaya satu-satunya di Banyuwangi, ArtOs menginisiasi gudang tua ini untuk menggurat narasi baru — narasi progresif untuk generasi Banyuwangi yang nyaris kehilangan memori tradisi — di tengah-tengah dunia kian datar tehnologi android, di mana tak ada sesuatu bisa disembunyikan masyarakat dunia.
Ini artinya, sebagai pelabuhan penting, Banyuwangi tak cuma terhubung dengan pulau-pulau di Nusantara, akan tetapi terkoneksi juga dengan dunia internasional, dalam konekting sosio-kultural global — menjadi kota pesisir terbuka, lalu terbangun diaspora tersendiri dari berbagai anasir dunia tanpa batas.
Benar apa yang dikatakan Imam Maskun, dari Yayasan Langgar Art Banyuwangi, posisi kota Banyuwangi sebagai kawasan port penting kerajaan pesisir Belambangan sejak dari era Majapahit, membawa serta berbagai aspek kebudayaan saling bersinggungan hingga kemudian turut membentuk wajah kebudayaan Banyuwangi yang dikenal sebagai budaya Osing. Sebagai karakter budaya pesisir, kebudayaan Osing terbentuk dari persilangan hibridasi berbagai kebudayaan, setidaknya diramu dari budaya Jawa, Madura, dan Bali, serta keterlibatan anasir kebudayaan lain.
Menurut Imam Maskun, latar belakang inilah yang menjadi spirit pengembangan pameran ArtOs Nusantara, ia menjadi sebentuk projek kolaborasi bertajuk “Perjumpaan seni rupa Osing dengan seni rupa kontemporer daerah-daerah lain menuju seni rupa Indonesia baru”. Setidaknya perjumpaan ini menjadi lokus baru di mana benih-benih seni disemai dalam taman kreatif para perawat dan pengalir kebudayaan. Dan ArtOs menjadi pencetus paling bersemangat mendekatkan memori tradisi itu untuk generasi kini.
Karya dalam pameran ArtOs Nusantara | Foto: Dok pameran
Pameran dikuratori I Wayan Seriyoga Parta, seniman akademis kelahiran Bali, kandidat doktor yang memiliki pengalaman panjang mengkurasi seniman-seniman nasional. Walau sebagaimana pengakuan Seriyoga Parta, tidak mudah melihat perkembangan seni rupa Banyuwangi, mengingat banyak senimannya tumbuh dan besar di luar daerah — satu hal yang menarik misalnya, adalah ulang alik Banyuwangi dan Bali. Mengingat ada sebagian besar seniman-seniman Banyuwangi memulai karier melukis dari Bali. Menyebut beberapa nama misalnya; ada Mozes Misdi, Awiki, Huang Fong, S. Yadi K. hingga generasi muda seperti Haruman Huda, Abdul Rohim, Windu Pamor, Suryantara, dan lain-lain.
Soal gelar rupa itu, perihal lukisan-lukisan yang dipajang di gedung tua itu, secara tehnik dan teoritik, memang telah menjadi sesuatu yang kurang urgen diperbincangan — setidaknya bagi kalangan perupa dan pemerhati seni. Namun, pameran itu sendiri, dari masing-masing perupa yang hadir, pasti ingin menyampaikan pesan tersendiri. Pesan yang dititipkan atas tarian garis dan warna, baik dalam guratan-guratan memori tradisi dan kontemporer. Ini satu perjumpaan memorial, termasuk spirit pulau-pulau, dari mana muasal para seniman membawa serta gen intuitifnya.
Sementara, di luar titipan pesan yang personal itu, tentu tak mudah ditebak bagi awam — namun siapa saja bisa melihat pesan kontekstualnya. Sebutlah lukisan bertajuk “Ranting Darma”, karya perupa Bambang Heras, di mana dalam lukisan itu ia “menaruh” kepala Buddha di ranting-ranting pohon. Ini sesuatu yang ganjil bagi awam — pesan yang tak mudah ditebak, tetapi meninggalkan sejumlah tanda tanya.
.
Karya Nyoman Erawan dalam pameran ArtOs Nusantara | Foto: Dok pameran
Namun secara semiotik, ada penanda bisa dibaca, ia bisa saja menitipkan pesan, betapa kebajikan atau darma tak lagi berdaulat di benak, tak lagi sebagai kekayaan rohaniah milik kita bersama. Ia bertengger jauh di ranting-ranting kering, menjadi kekayaan langka milik manusia modern yang dirajam konsumerisme dan hedonisme. Ia menjadi sejenis satire, di mana banyak orang cuma mengejar kebajikan di buku-buku, bahkan memburunya sampai ke negeri jauh, atau sebaliknya ; kebajikan sudah menjadi kutuk; mudah diucapkan, tak gampang didirikan. Sementara bukankah Buddha ada di benak semua mahluk?
Lalu, kita lebih percaya kepala orang lain tinimbang isi kepala sendiri? Pertanyaan ini menyebabkan “kebajikan berlari”, terbang, bergelantungan di ranting-ranting kering. Atau si perupa hendak membahasakan satu nubuat, Buddha ada di mana-mana, cinta dan kebajikan menubuh di mana-mana. Itulah yang bisa kita baca dari Bambang Heras, sementara kita tak penah paham pesan perupa sesungguhnya. Lalu, entah apa yang hendak dititipkan lewat lukisan bertajuk “Ranting Darma” itu.
Sementara yang membuat kita tercenung ‘lukisan teaterikal’ Budi Ubruk berjudul “Enjoy Your Life”, hadir dalam rupa sosok manusia koran tengah membaca koran. Namun dua di antara tiga sosok yang hadir di lukisan itu tengah membaca koran bolong. Ini seperti hendak menyampaikan pesan, sebuah dunia yang tengah ditindih post truth, dunia kehilangan kebenaran akibat fakta objektif tak lagi memberi pengaruh membentuk opini publik — inilah kemudian dimaksud dengan paska kebenaran. Namun makna koran bolong Budi Ubruk tak persis bisa kita paham, ia menjadi sejenis jebakan ambiguitas, kecuali mesti dijulurkan pada pengertian konotatif, betapa hari ini; berita-berita, fakta-fakta, liputan pers kerap tidak mewakili kebenaran sesungguhnya.
Hoak, advetorial, propaganda membuat peristiwa semakin berkabut. Yang terang tak mudah ditebak dari tempat yang terang. Memang, kala dunia nirkabel berbasis android hadir seperti air bah, koran dan produk pers lainnya tak gampang dipilah untuk sepenuhnya dipercaya. Semua membangun wacana sendiri, semua memiliki agenda tersendiri. Yang batil, yang jujur, yang terang, tak seketika bisa dicerna. Kebenaran menjadi bias, fakta-fakta dimitoskan, begitu sebaliknya — semua sumber berita terancam “bolong”. Fakta, data, peristiwa mengalami distorsi. Kebenaran dibuat seperti gadis pemalu di depan publik. Begitulah “Enjoy Your Life” Budi Ubruk, ia terpaksa ‘enjoy’, seperti senyum pedagang buat pelanggannya.
.
Karya-karya dalam pameran ArtOs Nusantara | Foto: Dok pameran
Dari kaca mata kebudayaan, tak semua lukisan yang hadir di sini bisa dibaca secara lugas. Namun pesan paling universal adalah, para perupa itu tengah menari — menjadikan garis dan warna itu sebagai tarian jiwa. Ada yang menari abstrak kontemporer, ada yang menari dengan warna-warna tradisi, meliuk dengan wajah-wajah wayang, ritual-ritual lokal, serta tarian nelayan mengayuh lautan. Lalu semua yang tampil membentuk diaspora estetik Banyuwangi, menjadi sebentuk kerinduan artistik yang menyembul dari kanal-kanal batin para perupa.
Terkait dengan tema kenusantaraan itu, ArtOs memang tidak cuma menghadirkan para perupa Banyuwangi semata. Seniman antarpulau juga ikut memberi andil bagi terbangunnya diaspora itu. Dari Bali hadir maestro Nyoman Erawan, menyajikan konstruksi “puing-puing” tradisi, “sisa-sisa upacara” dibangun menjadi lanskap baru bertajuk “Tapak Pertiwi”, tatahan warna-warni dalam detail “wajah-wajah samar” tradisi purbani Bali. Satu kehancuran artistik dunia Erawan, terbuat dari seng menjulur bumi.
Ada juga lukisan I Wayan Redika, berjudul “Mata Kalangwan”, satu potret penari Bali dalam sejumlah pose dalam tatapan penuh pesona. Redika mempertujukkan satu keterampilan canggih, di mana mata, memesona sebagai “mata kalangwan”, mata keindahan dalam tatapan seorang dara Bali, baik sebagai objek sekaligus sebagai subyek. Wajah atau air muka akan menggambarkan apa yang ada di dalam. Itulah “mata kalangwan” Wayan Redika.
Namun di antara banyak perupa yang hadir, berpameran di gudang tua ini tak banyak yang menggarap tema gugatan, mencibir dengan gaya satire keadaan-keadaan dunia sebagai problem bersama. Di antara yang tak banyak itu, Ketut Putrayasa, seniman kelahiran Desa Canggu, Bali hadir dengan seni instalasi bertajuk “Proyek Mengeringkan Air”. Satu gugatan menohok pada masalah-masalah pembangunan fisik yang tak lagi mengindahkan lingkungan. Alih fungsi hutan, perusakan ekosistem alamiah menyebabkan kelangkaan sumber-sumber air terus berjalan tanpa memperdulikan sumber-sumber air alami.
Karya Ketut Putrayasa dalam pameran ArtOs Nusantara | Foto: Dok pameran
Lewat lima pilar beton, rujukan satiris pada keangkuhan dan kekakuan, dengan besi cor dibiarkan tak tuntas, ditempeli puluhan anger jemuran warna-warni, digantungi kantong plastik penuh air, bergambar mata bertuliskan nama-nama air se-Nusantara — Putrayasa seperti tengah menyesali keadaan, sembari melayangkan gugatan heroik pasal 33.3 Undang Undang Dasar 1945 — di mana bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Putrayasa merespon pilar-pilar beton itu dengan tarian Jawa, diiringi sinden , suling, dan rebab. Pembacaan puisi “Obituari Sungai” oleh penyair Wayan Jengki Sunarta. Lalu tarian yang melengok lembut di depan pilar beton, nampak seperti tarian roh-roh pohon yang ditumbangkan atas nama pembangunan — yang sesungguhnya menjadi tumbal peradaban beton.
Sayang, hari ini orang merasa lebih seksi menanam beton, tinimbang menanam pohon. Manusia lebih memilih materi mati, tinimbang yang hidup merohani. Itulah arti lima pilar Ketut Putrayasa, tentang kabar kematian pelan-pelan, tentang hari depan bumi dan perang air yang terus menghantui. Tentang nasib anak cucu bagimana ia bertahan dari keserakahan leluhurnya.
Memang di tengah-tengah krisis multidimensi, hakikat hidup kebudayaan, serta hakikat makna hidup manusia harus dirawat, dikembalikan daya hidupnya tidak hanya oleh para santo, budayawaan, rohaniawan. Namun suara seniman, adalah juga penjaga ruh, supaya dunia dijauhkan dari krisis kegelapan abad. Seniman adalah perawat bagi setiap batin yang kerontang — seperti juga pameran ArtOs di gudang ini, berusaha menjernihkan kembali oase estetik yang dipendam libido badaniah, menuju cahaya terang kebudayaan, di mana akal budi diasah merasakan kepekaan-kepekaan lebih sensitif perihal makna kemanusiaan dan kebudayaan bagi hidup bersama — di mana tugasnya adalah meluhurkan pakerti hidup. [T]
- BACA artikel lain dari penulis I WAYAN WESTA