Teater Monolog Drupadi yang akan dipentaskan, Sabtu (3/6/2023) di Gedung Kesenian Jakarta, menyuguhkan perpaduan antara sastra dengan drama visual. Teks sastra klasik seperti Ramayana, Mahabharata, dan Sudamala diterjemahkan ke dalam gambar-gambar dramatik yang memberi efek artistik. Presentasi itu diharapkan memberi kedekatan dengan ruang gerak dan aktivitas masyarakat modern.
Direktur Artistik dan Visual Teater Monolog Drupadi Dibal Ranuh, Senin (29/5/2023), mengatakan ia berupaya menerjemahkan teks sastra yang naratif dengan teknologi visual melalui perantaraan cahaya.
Teks-teks klasik seperti Mahabharata, kata Dibal, sebenarnya sudah sangat kaya dengan visualisasi. Menurutnya, seni seperti wayang, tari, dan relief-relief yang dipahatkan dalam candi, telah lama menjadi kekayaan visualisasi terhadap teks sastra. Namun, tambah Dibal, umumnya penerjemahan itu memiliki karakter naratif, di mana teks sastra hanya diceritakan ulang dalam bahasa gambar.
“Berbeda dengan naskah Drupadi yang ditulis Bli Can. Saya berusaha menciptakan gambar-gambar yang memberi efek dramatik,” kata Dibal di sela-sela latihan terakhir Drupadi di Denpasar. Rombongan seniman Bali akan bertolak ke Jakarta hari Rabu (31/5/2023) dipimpin Pimpinan Produksi Drupadi Wendra Wijaya. Mereka akan melanjutkan latihan dan gladi bersih langsung di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ).
Menurut Dibal, naskah karya Putu Fajar Arcana yang akrab disapa Bli Can ini, membuka ruang interpretasi yang lebar. Adegan-adegan dalam lakon berdurasi 1,5 jam ini, sangat puitis dan estetis. Meski tampak menggunakan bahasa yang sederhana, di dalamnya tersimpan kedalaman visual yang menantang untuk dijajal.
Dengan sangat lincah dan kreatif, naskah yang ditulis di masa pandemi ini, melompat-lompat dari teks Mahabharata, kemudian Ramayana, dan bahkan seperti berlari ke teks Sudamala. “Enak aja teksnya melompat-lompat seperti kijang. Dan itu seperti puisi visual yang membayang di mata saya,” kata Dibal, pendiri lembaga seni Kitapoleng Bali ini.
Puisi visual
Kenyataan dalam teks Drupadi, tambah Dibal, telah menantangnya untuk menciptakan gambar-gambar yang puitis sekaligus memberikan efek dramatik. Menurutnya, ia sama sekali tidak bertendensi untuk menduplikasi visualisasi yang selama ini menyertai teks Mahabharata yang telah hidup dalam ingatan publik Nusantara. Selain itu, ia juga berusaha menyuguhkan gambar-gambar yang tak berhenti sebagai ilustrasi belaka.
“Semua gambar dalam lakon ini telah diolah dengan teknologi digital, sehingga memberi efek kekinian yang dekat dengan keseharian kita sekarang ini. Tidak bisa dipungkiri bahwa dunia digital adalah hidup kita hari ini,” ungkap Dibal, seniman visual kelahiran Singaraja, Bali ini.
Selain menerjemahkan naskah ke dalam gambar visual, Dibal juga berupaya merespons empat koreografi yang diciptakan khusus untuk Drupadi oleh koreografer asal Jepang Jasmine Okubo. Kekayaan gerak tari yang diciptakan oleh Jasmine sepintas terlihat sangat kontemporer, tetapi sesungguhnya ia seperti mozaik yang disusun dari keragaman gerak yang terdapat di Nusantara.
Itulah yang menantangnya untuk menciptakan efek-efek cahaya dan setting gambar yang senada. “Kadang terlihat seperti natural dan mooi indie, terkadang juga sangat futuristik,” ujar Dibal. Ia berharap akan menyuguhkan puisi visual yang indah, sehingga menjadi inspirasi bagi penonton di Ibu Kota.
Menurut Pimpinan Produksi Drupadi Wendra Wijaya, seluruh seniman yang terlibat dalam pentas Drupadi adalah seniman-seniman Bali dengan bakat istimewa. Mereka tidak saja memiliki pendidikan seni secara akademis, tetapi diperkaya dengan olah seni yang mereka peroleh dari para maestro di masyarakat kesenian Bali.
Lewat proyek seni Drupadi, kata Wendra, ia ingin menunjukkan bahwa Bali tak hanya berupa untaian tradisi yang eksotik, tetapi seni-seni baru juga hidup di dalamnya.
“Bali tak berhenti dengan tradisi, tetapi kami terus bertumbuh dan sejak lama siap menjadi pewaris seni dan kebudayaan dunia,” kata Wendra, yang juga penyair ini.
Di dalam Drupadi, tambah Wendra, akan disuguhkan tarian, musik, tata artistik dan cahaya modern, yang diramu dengan teks sastra yang kuat. “Naskahnya bermateri klasik, tetapi ditulis dengan pendekatan baru, lalu digarap dengan pendekatan kekinian. Jadi klop sebagai suguhan seni masa kini,” ujar Wendra.
Co-Produser Drupadi Inaya Wahid mengatakan banyak cara untuk menyuguhkan kembali teks-teks tua menjadi materi yang bermanfaat untuk kehidupan masyarakat modern.
Drupadi sebenarnya bisa diperlakukan sebagai sebuah gagasan dan isu tentang perempuan yang “teraniaya”. “Hidupnya tak lekang oleh penderitaan. Itu kan cerminan, bagaimana masyarakat kita sejak dulu sampai hari ini dalam memperlakukan perempuan kan?” ujar putri bungsu Presiden Abdurrahman Wahid ini retoris.
Oleh karena itu, ia berharap pertunjukan Drupadi yang digagas Arcana Foundation dan Kitapoleng Bali ini, akan menjadi refleksi bagi masyarakat modern dalam melihat kondisi kita hari ini. Semoga saja, tambahnya, lewat kesenian bisa tertanam nilai-nilai yang lebih menghargai kemanusiaan dalam bingkai keadilan dan keberadaban. [T][Ado/***]