WACANA seni-budaya di lingkar pengamat budaya Kintamani, khususnya Sukawana menghangat dalam pekan ini. Pemantiknya sebuah pementasan sendratari kolosal berjudul “Kertaning Panerajon” persembahan Kecamatan Kintamani untuk pentas budaya HUT ke-819 Kota Bangli. Garapan seniman dari 48 desa se-Kintamani itu dipentaskan di Alun-alun Kota Bangli pada Minggu, 21 Mei 2023 lalu.
Saya tak begitu perhatian pada garapan yang ternyata beberapa kali latihan di wantilan serba guna di desa saya. Ketidakperhatian itu membuat saya ibarat “maca surat kabar wék”. Saya hanya sekadar tahu bahwa telah digelar sebuah pentas kolosal tanpa tahu apa dan bagaimana pementasannya. Itu pun karena berseliweran sejumlah foto dan video pascapentas pada linimasa media sosial (medsos) yang diunggah sejumlah warganet dalam lingkar pergaulan medsos.
Saya sempat berkomentar pada sebuah unggahan foto pascapentas milik seorang kawan dengan sebuah emoticon jempol dan kata-kata sakti “mantap!”. Reaksi “mantap” dengan tanda seru kala itu ditujukan setulus-tulusnya sebagai apresiasi, bukan reaksi olok-olok. Meskipun pada kenyataannya saya selalu curiga ketika mambaca komentar “mantap” di medsos. Kata “mantap” yang berarti ‘bagus; elok; baik; dan sempurna’ di medsos sering berbalik arah memunculkan makna pengingkaran. “Mantap” lebih sering digunakan oleh warganet untuk sekadar basa-basi, kadang juga untuk mengolok-olok, bukan sungguh sebagai apresiasi.
Melalui tulisan ini diyakinkan seyakin-yakinnya bahwa kata “mantap” yang saya gunakan kala itu murni sebagai apresiasi pada sendratari tersebut. Reaksi saya bukan basa-basi, lebih-lebih untuk mengolok-olok. Sebagai orang Kintamani, saya kagum. Setidaknya ada dua hal yang membuat saya kagum, dan mengapresiasi sendratari “Kertaning Panerajon”. Pertama, garapan itu semakin meyakinkan saya bahwa habitus seni di Kintamani nyata adanya. Beberapa tahun belakangan, saya sering bergumul dengan sejumlah seniman asal Kintamani, khususnya di bidang seni rupa dan sastra. Amatan saya pada proses kreatif mereka menyimpulkan bahwa secara individu kualitas seniman Kintamani itu premium. Mereka banyak mewarnai panggung seni di Bali, nasional, bahkan dunia. Beberapa di antara mereka bahkan ekspansif dan menjadi penggerak ekosistem berkesenian di beberapa daerah. Sayangnya, potensi individu itu belum termanajemen dengan baik. Mereka tumbuh, bergerak, sekaligus bertahan hidup sendiri tanpa ruang ekspresi yang memadai.
Pendapat saya tentang ketiadaan ruang ekspresi ini bukan berarti mendakwa bahwa kehidupan seni harus selalu ditunjang, disusui, atau disuapi untuk bisa hidup. Seni yang jujur justru hidup pada lahan kering, namun “merdeka seratus persen” tanpa dijerat kepentingan. Frase “merdeka seratus persen” itu jangan pula dimaknai sebagai penelantaran. Tugas seorang seniman adalah merawat kemanusiaan, maka tugas kita bersama wajib merawat melalui penyediaan ekosistem dan ruang ekspresi, setidak-tidaknya bisa dengan membeli karya original mereka.
Atas pengamatan terhadap kondisi seniman kita di Kintamani, saya yakin tidak mudah melahirkan karya seni kolosal semacam sendratari “Kertaning Panerajon” itu. Lebih-lebih dalam waktu yang saya kira singkat dengan sumber daya yang mungkin juga pas-pasan. Tanpa ada idealisme dari para seniman untuk menyajikan persembahan kepada tanah kelahiran, saya sangsi garapan itu dapat terlahir di dunia. Maka, PR kita ke depan kembali pada anjuran yang sama: bersama-sama merawat spirit dan idealisme seniman agar tetap hidup dan membara!
Apresiasi kedua yang patut saya nyatakan pada sendratari “Kertaning Panerajon” terkait dengan konten yang disajikan. Lantaran tidak menonton langsung, saya akhirnya menonton siaran pentas tersebut di YouTube. Sembari membandingkan sinopsis di gawai yang lain, saya berkesimpulan bahwa jelas ide garapan itu dilahirkan dari janin narasi lokal. Ini semangat yang perlu diapresiasi. Bagi saya, penggalian wacana lokal sangat penting agar tidak sekadar jadi remah peradaban di tengah dinamis dan semaraknya wacana kebudayaan Bali. Dan, pada pijakan apresiasi poin kedua ini pula tulisan kecil ini saya paksa lahir dengan misi merawat dan meruwat peradaban Bukit Cintamani Mmal, warisan kita bersama.
Stigmatisasi Leluhur Kami
Pada Senin pagi, saya berkali-kali ditelepon oleh seorang pembaca yang suntuk membaca hamparan warisan peradaban Sukawana. Orang ini pula yang memberi saya banyak data dalam upaya memandang Sukawana, khususnya Pura Pucak Penulisan. Empat kali dia menelepon, namun seluruhnya tidak saya angkat. Pagi itu saya memang abai dengan gawai. Akhirnya, beliau mengirimi sebuah file PDF sepanjang 2 halaman berjudul “Kertaning Panerajon Kintamani”, yang disusul komentar terhadap pementasan tersebut. Saya baca dan respons menjelang siang. Kami berdua pun larut dalam diskusi panjang soal pementasan itu.
Kami sampai pada simpulan bahwa beliau merasa kecewa terhadap pentas tersebut. Beliau menghubungi saya karena mengira saya terlibat dalam publikasi. Oleh karena itu, saya diminta untuk tidak menyebarluaskan rekaman pentas yang belakangan sudah tersiar luas di YouTube. Pasalnya, kata dia, narasi yang dihadirkan pada garapan itu jauh dari fakta, khususnya fakta sejarah. “Tidak ada sinkron antara pracasti A1 804 dengan pracasti keboparud 1222. Dan keboparud disebutkan detya keboparud. Itu maaf yang sangat melukai sekali. karena keboparud seorang raja patih yang sangat arip dalam pracasti pangotan, kintamani dan sukawana. Jelas itu menjelekan tokoh yang kurang etik,” tulisnya.
Sehari kemudian, saya kembali menemukan respons yang kurang lebih sama. Kali ini dari seorang senior di organisasi pergerakan yang kebetulan berasal dari Sukawana. Pengacara yang kini turut terjun ke dunia politik ini menuliskan kritik cukup panjang dan komprehensif, lengkap dengan kutipan dari Prasasti Sukawana dalam blog pribadinya. Meskipun mengapresiasi, ia menyayangkan sajian itu minim kajian. “Apresiasi maksudnya mengambil cerita dari kintamani, tapi mungkin kajian studinya kurang jadi lebih mengutamakan treatrikal seni namun mengabaikan sumber prasasti. Treatrikal dapat mereduksi sosok raja patih menjadi raksasa misalnya. Kedepan dapat mengaburkan cerita nantinya kalau Kebo Parud dikenal sebagai raksasa, bukan raja patih,” tulisnya menjawab pertanyaan saya dalam obrolan di WhatsApp.
Titik ungkit reaksi dua orang intelektual Sukawana—jumlah yang setidaknya baru saya ketahui—terhadap sendratari “Kertaning Panerajon” sama-sama berpangkal pada stigmatisasi tokoh Kebo Parud di dalam garapan itu. Sejalan dengan sinopsis yang dikirimkan ke saya, Camat Kintamani, Ketut Erry Soena Putra, dalam keterangan pers menyampaikan bahwa sendratari “Kertaning Panerajon” mengisahkan upaya tokoh Kumpi Mardaya membangun pasanggrahan di Bukit Cintamani (kini Kintamani). Dalam proses membangun pasanggrahan, Kumpi Mardaya dihadang oleh Raksasa (Detya) Kebo Parud, penghuni Pucak Panerajon. Kumpi Mardaya mendapat anugerah Ratu Daha Tua yang berstana di Luhur Tegeh Kahuripan untuk dapat mengalahkan Kebo Parud. Kebo Parud kemudian diruwat dan dipersembahkan pada Hyang Siwa yang berstana di Puncak Panerajon (balitribune.co.id).
Jika sinopsis itu dibaca oleh seorang pembaca peradaban Bukit Cintamani Mmal, wacana yang dikonstruksi penggarap pentas tentu dibaca sebagai langkah “keseleo” dalam menampilkan dan menempatkan tokoh Kebo Parud. Penggarap melakukan pengingkaran terhadap entitas Rajapatih Kebo Parud yang memiliki jasa besar terhadap sejumlah karaman (desa) pada era Bali Kuna, khususnya di Kintamani.
Saya mencoba tidak berprasangka bahwa penyaji tidak melakukan kajian atas pentas yang ingin disuguhkan ke publik. Sebab, dalam sinopsis yang saya terima, penggarap merujuk Prasasti Sukawana AI yang terkenal itu. Rujukan membuktikan bahwa penggarap telah melakukan pembacaan terhadap sumber sejarah. Lagi pula, dalam susunan tim penggarap turut muncul dewan penasihat garapan, yakni Perkom Perbekel se-Kecamatan Kintamani, seorang jero mangku, dan bendesa. Artinya, terkait otoritas wacana, garapan ini sesungguhnya telah dilegitimasi oleh unsur dinas, spiritual, dan adat. Namun, mengapa sampai terjadi pengingkaran pada data sejarah yang ada?
Pengingkaran pertama atas data sejarah dalam pentas tersebut terkait waktu eksis kedua tokoh, yakni Kumpi Mardaya dan Kebo Parud. Kita dapat menemukan nama Kumpi Mardaya pada Prasasti Sukawana AI berangka tahun 804 Saka, sedangkan Rajapatih Kebo Parud tercatat pada Prasasti Sukawana D berangka tahun 1222 Saka. Selisih hidup keduanya menurut data prasasti nyaris empat abad lebih, maka tidak logis jika dikemas dalam satu rentang masa. Mungkin, penggarap menganggap seluruh Prasasti Sukawana sebagai sebuah teks yang ditulis sezaman, sehingga dua tokoh itu dianggap hidup sezaman. Jika ini yang terjadi, maka memang sangat penting membaca suatu wacana secara utuh, lebih-lebih yang menyangkut babakan sejarah.
Pengingkaran kedua atas data prasasti pada pergelaran itu terkait dengan karakter tokoh Kebo Parud. Kebo Parud dalam berbagai pembacaan para pakar sejarah adalah sosok rajapatih yang diyakini memerintah Bali atas nama Singhasari antara tahun 1218 hingga 1222 Saka. Tokoh ini tercatat mengeluarkan sejumlah prasasti, beberapa di antaranya adalah Prasasti Pengotan E (1218 Saka), Prasasti Kintamani kelompok ketujuh (tanpa tahun), dan Prasasti Sukawana D (1222 Saka). Meskipun diduga sebagai penganut paham Tantrayana yang oleh pandangan arus utama distigmakan sebagai “paham kiri”, Kebo Parud dalam prasasti-prasati itu dimunculkan sebagai sosok pemimpin ideal. Melalui sapatha Prasasti Sukawana D, kepemimpinan Kebo Parud menunjukkan karakter pemimpin yang disegani rakyat dan mampu menciptakan kondusivitas negara (Sumerata, 2017). Prasasti Kintamani bahkan memuji Kebo Parud layaknya titisan Dewa Wisnu yang bijak, cakap, dan berpengetahuan luas (Sunarya, dkk, 2015:30). Sementara itu, Sapta Jaya (2013) berpendapat bahwa pada masa pemerintahan Kebo Parud kesusastraan Jawa Kuna seperti Kakawin Arjuna Wiwaha, Kresnayana, Sumanasantaka, Asmaradahana [Smaradahana], Bharatayudha, dan Wretasancaya dibawa ke Bali. Menimbang pendapat-pendapat di atas, maka konstruksi karakter Kebo Parud pada pementasan “Kertaning Panerajon” yang digambarkan sebagai tokoh antagonis berwujud raksasa jelaslah menyesatkan, mendegradasi kemuliaan, bahkan bisa disebut sebagai upaya kriminalisasi terhadap tokoh sejarah yang demikian berjasa di zamannya.
Stigmatisasi Kebo Parud dalam pementasan itu juga diperkuat melalui kostum dengan visual kepala kerbau. Lantaran dikonstruksi sebagai tokoh antagonis, Kebo Parud divisualkan layaknya Mahesasura—tokoh antagonis dalam sastra purana yang dikalahkan dan diruwat oleh Dewi Durga. Pertanyaannya, apakah gelar “kebo” sekadar merujuk pada binatang kerbau? Jika demikian, maka Maharaja Hayam Wuruk, penguasa Wilwatikta yang termasyur itu di kemudian hari berpeluang dibentuk sebagai manusia berkepala ayam; Sri Kesari Warmadewa dapat dibentuk sebagai manusia berkepala singa; Gajah Mada sebagai manusia berkepala gajah; Mahesa Cempaka sebagai manusia berkepala kerbau putih; Kebo Iwa adalah manusia berkepala kerbau; dan seterusnya.
Penggambaran kepala kerbau dalam visualisasi Kebo Parud pada sendratari itu rasanya tidak jauh berbeda dengan penggambaran terhadap Raja Astasura Ratna Bumi Banten—juga diarcakan di Pucak Penulisan—sebagai raja berkepala babi dalam sejumlah wacana. Secara radikal, Raja Astasura yang termasyur itu pun dalam banyak teks mengalami “kriminalisasi”. Gambaran sebagai seorang raksasa berkepala babi yang kejam berimplikasi pada penghapusan eksistensi dan pengaruhnya di dunia. Pun, nasib Kebo Parud pada pergelaran itu tidak ada bedanya dengan nasib Maharaja Aji Jayapangus dan Bhatari Dewi Danu dalam kisah Jayapangus-Kang Cing We. Pada kisah ini, karakter Jayapangus—raja termasyur yang dalam prasasti tinggalannya disebut menguasai tujuh negara bagian di Balidwipa—dan Bhatari Dewi Danu—entitas dewata yang dipuja masyarakat Hindu Bali—diruntuhkan kemuliaannya serta dinodai kesuciannya dalam wacana perselingkuhan dan kutuk-mengkutuk, sebuah narasi yang sama sekali tidak bisa diterima oleh orang Batur.
Meskipun ada sejumlah pengingkaran yang ditemui dalam pentas tersebut, saya masih tidak mau berprasangka negatif. Keberadaan dewan penasihat garapan memungkinkan jika penggarap menggunakan versi wacana dari Prasasti Sukawana, dan narasi itu telah dikonfirmasi ke dewan penasihat. Kemungkinan lainnya, mereka bisa saja meniti cerita lisan yang berkembang di masyarakat, yang juga telah dibenarkan dewan penasihat. Kemungkinan-kemungkinan ini sangat mungkin terjadi dan melahirkan garapan dengan konstruksi wacana yang berbeda dengan wacana prasasti.
Satu-satunya alasan yang kurang bisa diterima atas pengingkaran garapan ini jika penggarap secara sadar melakukan dekonstruksi teks demi kebutuhan estetika. Sekadar membandingkan, alasan estetika pernah dijadikan pembenaran dalam penatahan relief Goa Jepang di Penelokan. Goa peninggalan perang kemerdekaan itu ditatah dengan kisah Jayapangus-Kang Cing We, namun sayangnya tidak melalui kajian para pakar budaya dan nihil konfirmasi ke otoritas adat sebagai pewaris lokus dan wacana tersebut.
Jika seandainya sendratari yang membuat sejumlah orang terusik ini digarap hanya demi memenuhi imajinasi penggarap, maka pementasan ini berbahaya dalam konteks kesejarahan. Sendratari ini perlu dikaji ulang! Sebab, kajian sendratari itu dapat mengaburkan sejarah di kemudian, boleh disebut hoaks sejarah.
Karena tim penggarap mengandung unsur pemerintah, persoalan ini akan semakin serius. Garapan tersebut dapat menjadi piranti penyesatan pikir dan pengaburan sejarah dan didukung oleh negara. Garapannya sekaligus sangat kontraproduktif dan kontrawacana dengan tagline “Bangli Origin of Bali” yang tengah dibangun Pemkab Bangli.
Minoritas Wacana
Pembangunan wacana alternatif dalam pusaran peradaban manusia di dunia tidak terlepas dengan kehidupan sosial-politik. Stigmatisasi yang disematkan pada seorang tokoh umumnya bermaksud mendongkel kewibawaan tokoh tersebut. Stigmatisasi diperlukan untuk mengaburkan atau bahkan memutus relasi kuasa yang sebelumnya telah terjalin. Misi akhir dari gerakan semacam itu biasanya untuk mengganti ideologi maupun merebut takhta dan pengaruh sasaran.
Saya tidak berpikir sejauh itu terhadap pementasan sendratari “Kertaning Panerajon”. Pengingkaran narasi sejarah atas penggambaran Kebo Parud saya kira lebih terkait dengan kebiasan pamahaman atau bahkan “kekacauan” dalam memilah data teks—baik lisan dan tulisan. Kita barangkali sepakat, meskipun seperti mata rantai yang saling terhubung, teks harus dipilah dan ditempatkan pada tempat yang layak dan benar. Wacana-wacana prasasti dan data sejarah primer lainnya acapkali disamaratakan dengan wacana teks babad, purana, mitologi, bahkan sastra lisan. Kondisi ini memang menjadi penyakit yang perlu diwaspadai dalam ruang intelektual kita belakangan. Kondisi ini dapat menjadi sumber kelinglungan dalam menafsir dan memahami suatu entitas.
Di desa saya, sampai saat ini ada oknum yang merujuk Candra Sangkala berbunyi Geseng Sasi Wak (110 Saka) sebagai kebenaran sejarah awal munculnya Gunung Batur, berdirinya Pura Ulun Danu Batur, dan terbentuknya Desa Batur. Padahal, wacana itu tertulis pada salah satu teks Rajapurana Pura Ulun Danu Batur yang berjudul Babad Patisora. Pertanyaan sederhananya, apakah tahun 110 Saka atau 188 Masehi sudah ada budaya tulis di Nusantara? Apakah kemudian bahasa Jawa Kuno telah eksis dan digunakan di Bali kala iru? Ini akan menjadi pertanyaan besar yang sukar dijawab. Jika pembaca kurang kritis, legitimasi ini dapat menyesatkan. Meskipun mungkin memiliki takaran kebenaran, wacana tersebut semestinya tidak boleh dijadikan pusat kebenaran.
Diakui atau tidak, disadari atau tidak, perhatian terhadap wacana-wacana Bali Pegunungan (Aga) dalam panggung kebudayaan Bali hari ini masih kalah semarak jika dibandingkan dengan wacana Bali Dataran. Oleh karena itulah upaya penggalian dan pemasyarakatan narasi Bali Aga perlu dilakukan lebih masif. Saat ini, kecenderungan varian kebudayaan Bali Aga masih dipandang lebih minor, rendah, bahkan tidak jarang dipandang primitif. Wacana ini sering dijadikan alasan program penyuluhan bertameng peningkatan kualitas dan kapasitas, dengan kurikulum berteropong budaya yang sesungguhnya tidak begitu sesuai dan diakrabi oleh orang-orang Aga.
Saya beberapa kali berhadapan dengan situasi beraroma penyudutan, misalnya dalam konteks kepemangkuan. Dalam kacamata Bali yang umum, seorang pemangku yang berhak sebagai pemimpin upacara biasanya berasal dari kalangan berumur dengan atribut udeng pungkus nangka yang khas. Sementara itu, di desa kami seorang pemangku dipilih sejak sebelum menikah, bahkan sejak anak-anak dengan atribut yang paling kentara udeng-nya majanggar seperti umat pada umumnya. Perbedaan ini terjadi karena ideologi atau ageman yang memang berbeda, sebab nabe kami adalah nabe niskala di Pura Jati.
Saya pernah mendapat cerita dari seorang semeton pemangku yang menjalani gama kepemangkuan Batur sejak usia kurang lebih 7 tahun. Meskipun belia, sebagai mangku desa ia diberi dan memiliki otoritas melakukan praktik kepemangkuan. Nah, ceritanya pada suatu waktu ada seorang pamedek yang ingin sembahyang. Pamedek ini seakan tidak diterima jika persembahyangan dipimpin oleh pemangku yang masih belia itu. Bahkan, konon pamedek itu sempat bergumam dan menyebut rekan saya dengan kata yang merendahkan sebagai cucun mangku ‘cucu dari seorang pemangku’. Beruntungnya, konon ketika itu langsung ada pembuktian niskala yang turun. Ketika persembahyangan dimulai terjadi situasi spiritual-mistis yang sulit diterjemahkan dialami oleh oknum pamedek. Oknum pamedek ini pun akhirnya memohon maaf atas kekeliruannya.
Contoh lain dapat dilihat pada struktur desa adat di Bali hari ini. Saat ini, orang Bali secara umum lebih mengenal bendesa atau kelian adat dibandingkan kubayan. Meskipun dinaungi dalam frase “sebutan lain” di dalam Perda Desa Adat, nyatanya hari ini beberapa desa Bali Aga yang secara tradisi mewarisi struktur ulu apad dengan pimpinan seorang kubayan mulai melakukan modifikasi struktur adatnya. Beberapa desa tua dengan pola ulu-apad dan dipimpin seorang kubayan telah membentuk struktur lain di tubuh adat yang telah teruji ratusan bahkan ribuan tahun. Struktur buatan itu diketuai seorang bendesa untuk menyokong keperluan administrasi desa adat. Meskipun saat ini posisi bendesa itu hanya sekadar formalitas dan berada di bawah naungan kubayan, tetapi bukan tidak mungkin di kemudian hari dapat menggerogoti bahkan menghapus struktur tradisional yang ada sebelumnya.
Melihat kasus-kasus itu, tampak ada keberjarakan budaya antara masyarakat Bali Aga dan Bali pada umumnya. Kondisi ini kemungkinan muncul lantaran pemahaman mayor terhadap piranti-piranti budaya kita telah dibentuk sejak dini, yang dicekoki melalui pendidikan di sekolah dengan kurikulum generalitas. Parahnya, ketika menua, kita kurang melakukan upaya literasi dan enggan membuka diri melihat perbedaan. Ketertutupan ini dapat menciptakan peluang konflik di kemudian hari, terlebih jika mulai membanding-bandingkan, ada yang lebih tinggi dan ada yang lebih rendah. Pada kondisi ini literasi dan tenggang rasa dibutuhkan dalam konteks praktik yang nyata.
Dalam kebiasan wacana kebudayaan ini, sudah waktunya Pemerintah Kabupaten Bangli yang kini mengusung tagline “Bangli Origin of Bali” menggambil perannya. Pemerintah bertanggung jawab sekaligus kepentingan dalam mengurai benang kusut kebudayaannya. Bagaimana menjadi hulu yang asli seperti yang dicita-citakan, ketika narasi sejarah dan otentisitas budaya yang disajikan ke publik adalah budaya yang bias dan penuh pengingkaran? Terlebih jika kebudayaan itu ditampilkan dalam ruang-ruang yang sarat dengan legitimasi dan kehadiran negara. Pemerintah wajib memberi penjelaskan dan meluruskan, seperti janji seorang pejabat yang belum terlaksana sampai saat ini untuk membuat diskusi khusus terkait dengan penatahan relief Jayapangus-Kang Cing We di Goa Jepang Penelokan.
Refleksi
Seni adalah salah satu piranti yang sangat efektif dalam proses transfer pengetahuan. Maka, ketika menggarap karya yang berpijak pada sejarah, saya kira seniman perlu berhati-hati menyajikannya ke publik. Kecerobohan dapat memantik kesalahpahaman, pergeseran pemahaman, bahkan konflik vertikal-horizontal di kalangan masyarakat.
Cara pandang terhadap estetika juga sangat penting dilihat. Apakah estetika hanya menyoal gerak, bunyi, konflik, dan plot? Sependek pemahaman saya, seni di Bali dikonstruksi oleh tiga unsur, yakni satyam (kebenaran), siwam (kesucian), dan sundaram (keharmonisan). Lalu, apakah karya seni masih estetik jika mengebiri kebenaran, mencederai kesucian, dan bahkan memunculkan riuh di masyarakat? [T]