“Ina enggak mau jadi dokter hewan. Ina mau jadi pelukis aja,” kata putri saya yang masih TK ketika saya tanyakan cita-citanya kalau sudah besar nanti. “Ina enggak mau digigit kayak Bapak waktu periksa binatang,” tambah Ina melanjutkan.
Ya, beberapa kali tangan saya sempat digigit oleh anjing ketika melakukan pemeriksaan atau mengobati pasien.
Jawaban Ina tadi mengingatkan saya pada pertanyaan almarhum sahabat saya beberapa tahun yang lalu sewaktu saya menceritakan beberapa waktu lalu tangan saya sempat digigit anjing yang sedang rawat inap di klinik hewan tempat saya bekerja dulu.
“Dokter hewan kok digigit anjing? Kan harusnya tahu gimana caranya biar anjingnya nurut ketika diperiksa,” tanya almarhum waktu itu.
Ya iyalah, lha wong tiap hari nangani pasien yang enggak bisa diajak bicara baik-baik heart to heart, jadi harus siap jika si pasien tiba-tiba protes dan agresif saat diperiksa.
Sama seperti seorang tukang listrik yang enggak mungkin enggak pernah kena setrum ketika melakukan pekerjaannya. Setiap pekerjaan tentunya memiliki risikonya masing-masing, tinggal bagaimana kita mengelola risiko tersebut.
***
Berdasarkan pengalaman saya sebagai dokter hewan, prinsip utama yang harus dipegang saat menangani pasien adalah: Utamakan keselamatan diri terlebih dahulu sebelum menangani pasien. Jadi, pastikan hewan yang akan diperiksa sudah dihandle dengan baik oleh pemiliknya, baik itu dengan dipegang, diikat atau harus direstrain dengan cara tertentu. Enggak lucu khan, mau mengobati pasien jadinya malah harus masuk RS gara-gara diserang pasien.
Contohnya ketika akan memeriksa anjing, saya pastikan dulu si pemilik bisa memegang hewannya dengan benar sebelum diperiksa. Kalau pemiliknya aja enggak berani pegang peliharaannya, gimana jadinya kalau tiba-tiba ada orang asing (dokter hewan) yang sekonyong-konyong sok kenal sok dekat (SKSD) trus mulai menjamah badannya dengan waktu ”pedekate” yang sangat singkat? Apa si hewan enggak merasa terlecehkan sehingga akhirnya melampiaskan amarahnya kepada si penjamah?
Beberapa waktu yang lalu, di grup Whatsapp komunitas dokter hewan yang saya ikuti sempat diramaikan berita mengenai salah seorang kolega dokter hewan harus dirawat di RS karena tulang rusuknya retak pasca terkena tendang sapi Bali saat melakukan pelayanan kesehatan hewan di masyarakat.
Saya pun sempat menjadi korban sapi Bali yang terkenal dengan kegananasannya tersebut pada saat melakukan pengambilan sampel darah sapi.
Sapi tersebut tiba-tiba menjadi beringas pada saat saya sedang bersiap mengambil darah pada vena Jugularis yang berada di leher. Sapi yang berukuran besar tersebut meloncat secara tiba-tiba yang mengakibatkan saya sempat kena tendang oleh kaki depannya dan hampir saja diinjak-injak di kandang.
Melihat berbagai risiko yang dihadapi pada saat berhadapan dengan hewan, sangat penting seorang (calon) dokter hewan mengetahui karakter berbagai jenis binatang yang menjadi pasiennya. Termasuk juga memahami bahasa tubuh yang ditunjukkan oleh pasien dan jangan tertipu oleh wajah lucu nan imut pasien.
Jangan biarkan tampang lucu dan imut yang bikin geumush seekor kucing malah mengendorkan kewaspadaanmu, karena bisa saja dia malah mencakar dan menggigit ketika diobati.
***
Persian Magnetism yang merupakan ilmu kuno dari Persia sudah terbukti sejak dahulu digunakan oleh para pemburu dan pawang hewan dari Persia untuk menaklukkan dan menjinakkan hewan liar. Konon, hanya dengan tatapan dan sentuhan, pemilik ilmu tersebut dapat membuat hewan liar menjadi jinak dan penurut.
Bangsa Persia Kuno menggunakan elang, macan tutul dan cheetah yang telah terlatih sebagai sekutu pada saat berburu. Oleh karena itu bangsa Persia juga dikenal sebagai pemburu yang ulung. Selain itu, memelihara binatang buas menjadi lambang status sosial yang tinggi di kalangan bangsawan pada masa itu.
Melihat sejarahnya, ilmu ini sangat cocok dipelajari oleh dokter hewan. Akan lebih baik lagi jika dijadikan mata kuliah wajib bagi mahasiswa di Fakultas Kedokteran Hewan (FKH). Jadi ketika lulus kuliah dan menjadi seorang dokter hewan praktisi, mereka sudah siap “berhadapan” dengan hewan-hewan yang menjadi pasiennya.
Enggak peduli hewan kesayangan, hewan ternak, satwa liar, hewan buas baik kecil maupun besar bisa ditaklukan dan dijinakkan dengan ilmu yang sudah dimiliki. Jadi, enggak akan ada lagi ceritanya seorang dokter hewan digigit, dicakar, ditendang ataupun diserang pada saat memeriksa dan mengobati pasiennya. Bayangkan, hewan aja bisa dijinakkan dengan mudah apalagi calon mertua yang galaknya minta ampun.
Memang benar, walaupun tanpa menerapkan ilmu Persian Magnetism pun, seorang dokter hewan bisa menangani hewan dengan berbagai karakter “sulit” berdasarkan pengalaman yang diperoleh baik secara langsung ataupun dari pengalaman kolega lainnya.
Tentu akan memerlukan lebih banyak waktu untuk trial and error hingga akhirnya bisa “menaklukan” pasien dengan mudah. Namun, jika dari semenjak di bangku kuliah sudah mempelajari ilmu praktis membuat hewan menjadi penurut, tentunya ini akan menjadi sebuah jalan pintas dan nilai tambah tersendiri bagi seorang dokter hewan.
Hal ini juga untuk mengantisipasi jika si pasien menyerang dengan tiba-tiba. Seperti pengalaman saya saat masih bekerja di klinik dulu, anjing pasien rawat inap yang sebelumnya jinak dan kalem tiba-tiba menyerang pada saat saya memeriksa infusnya setelah dirawat selama 3 hari.
Dasar anjing!!! Seandainya saja saya menguasai ilmu Persian Magnetism pada waktu itu, tentu akan beda lagi ceritanya. Saya enggak perlu berdarah-darah dan harus ke RS memeriksakan luka saya.
***
Dulu saat masih kuliah, saya dibuat kagum oleh senior dokter hewan yang dengan mudahnya menghandle sapi Bali yang beringas atau mampu menenangkan anjing yang galak. Waktu itu saya hanya bisa melongo melihatnya, belakangan saya malah curiga, jangan-jangan senior tersebut punya jimat penakluk hewan atau ajian Persian Magnetism. Siapa tahu?[T]