HAMPIR SEMUA desa dan kelurahan di Buleleng saat ini memiliki media digital seperti Facebook, Instagram, atau website, untuk menyampaikan informasi kepada masyarakatnya.
Pemberitahuan jadwal Posyandu, vaksinasi, pembangunan infrastruktur, kunjungan Bupati atau Gubernur, adalah informasi yang biasanya disampaikan Pemerintah Desa melalui media sosial atau website.
Di era digital seperti sekarang, informasi tentang desa pada platform digital sudah menjadi kebutuhan primer. Informasi tentang kegiatan desa dan apa yang ada di desa secara berkala sudah seyogianya bisa diakses kapan dan di mana saja.
Namun faktanya, tidak sedikit desa di Buleleng yang mengalami kendala dalam pengelolaan sistem informasi desa (SID).
Masalahnya bukan pada sarana. Sebab, semua desa sudah punya laptop atau komputer, jaringan internet yang memadai, dan wadah untuk menyampaikan informasi seperti media sosial atau website.
Kendalanya adalah pada SDM yang mengelola atau mengisi konten medsos atau website tersebut. Hal ini disampaikan oleh Perbekel Les Gede Adi Wistara dan Perbekel Tembok Dewa Komang Yudi, pada Tatkala May May May 2023 dengan topik “Cerita Desa di Dunia Digital” di Rumah Belajar Komunitas Mahima, Jumat, 19 Mei 2023.
Kadis Kominfosanti Buleleng, Ketut Suwarmawan, yang turut hadir menjadi narasumber pun tidak menampik hal tersebut.
Komang Sujana saat mengikuti diskusi Cerita Desa di Dunia Digital / Foto: Dok. Pribadi
***
Sebagai mantan pengelola website Desa Tajun, Kecamatan Kubutambahan, Buleleng, dari tahun 2018-2020, saya menyimak dengan seksama diskusi Perbekel Les dan Tembok, serta Kadis Kominfosanti Buleleng.
Di sela-sela diskusi mereka yang hangat, saya menikmati es teh buatan staf Mini Bar Tatkala. Rasa manisnya pas. Selain menyegarkan tubuh akibat cuaca yang cukup panas, juga menyegarkan pikiran. Saya menjadi teringat kembali pada masa-masa mengelola web desa. Begini cerita singkatnya.
Saya diangkat menjadi Perangkat Desa Tajun, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng, dari tahun 2017-2020.
Dan sejak tahun 2018, saya diberikan tugas tambahan oleh Perbekel Tajun saat itu, Ir. Gede Ardana, untuk mengelola website desa. Sebagai tugas tambahan tentu saya menulis pemberitaan di sela-sela tugas pokok saya menjadi Perangkat Desa (Kasi Kesejahteraan).
Saya lebih banyak menulis kegiatan pemerintahan desa di rumah saat pulang kantor. Kadang-kadang di sela-sela kegiatan rutin di kantor. Itu pun kalau sempat. Sebab, pagi sampai siang sudah disibukkan dengan urusan SPJ kegiatan pembangunan, permohonan Kartu Indonesia Sehat (KIS), pemutakhiran data kesejahteraan sosial, dll.
Kemudian dilanjutkan dengan mengontrol kegiatan pembangunan infrastruktur, seperti betonisasi jalan, validasi ke rumah-rumah warga penerima bansos, sampai sore. Honor yang saya terima untuk mengelola sistem informasi desa saat itu hanya 1.500.000 per tahun, bukan per bulan.
Oleh karena tertarik dengan dunia tulis menulis, saya menikmati tugas tambahan yang diberikan pimpinan. Sebisa mungkin saya memberitakan kegiatan pemerintah desa.
Namun, hasilnya pasti tidak maksimal, karena terbentur dengan tugas pokok saya sebagai Perangkat Desa. Saya tidak punya cukup waktu untuk menulis tentang kekhasan desa, potensi desa, adat dan budaya, dan masih banyak lagi.
***
Dari diskusi di Tatkala May May May 2023 kemarin, dan pengalaman saya mengelola website, Sepertinya sistem informasi desa belum menjadi perhatian serius oleh pemangku kebijakan di desa. Apakah informasi desa dianggap tidak penting? Tentu semua Perbekel menganggap informasi desa penting.
Lantas mengapa terkendala? Apakah sistem informasi desa bukan sebagai program yang populis, seperti bedah rumah, betonisasi jalan, atau bansos sembako sehingga kurang menguntungkan dari segi politis?
Dari cerita beberapa rekan saya di desa, sistem informasi desa saat ini kebanyakan diurus oleh operator. Sementara operator itu juga mengurus aplikasi lain seperti: IDM, Prodeskel, Epedeskel, SIAK, SIKS-NG.
Sama kondisinya seperti saat saya dulu. Jika seperti ini kapan menulisnya? Kapan mereka turun ke lapangan mengamati lingkungan, budaya, atau perilaku sosial masyarakat? Kapan mereka mewawancarai masyarakat, tokoh adat, praktisi seni dan lain-lain?
Beberapa desa memang masih aktif memberitakan kegiatan desa melalui medsos dan website desa. Hanya saja masih seputaran kegiatan rutin desa, seperti Posyandu dan pemberitaan program populis tadi.
Padahal, yang penting dari website desa adalah publikasi keunikan dan potensi desa: pariwisatanya, budayanya, kehidupan sosial, upacara, dan lain sebagainya.
Kekhasan desa itu yang menurut saya perlu dipublikasi sebagai edukasi masyarakat. Juga untuk menarik kunjungan orang luar sehingga bisa mendukung program desa wisata yang sedang digencar-gencarkan Pemerintah.
Menurut saya, pengambil kebijakan di desa harus memposisikan program informasi desa sejajar dengan program-program pembangunan atau pemberdayaan. Kucuran dana desa dari Pemerintah untuk mewujudkan slogan “Membangun Indonesia dari Desa” tidak cukup dilakukan dengan pembangunan infrastruktur. Desa harus turut membangun Indonesia dengan meningkatkan kecakapan literasi masyarakatnya melalui pengelolaan sistem informasi desa.
Kadis Kominfosanti, Ketut Suwarmawan, mengatakan, bahwa SDM harus diperkuat agar desa bisa memberikan informasi yang bermanfaat yang dapat merubah mindset, perilaku, dan kinerja masyarakat.
Saya setuju hal ini, sebab menulis memang pekerjaan yang tidak mudah. Tidak semua orang bisa melakukannya. Tetapi semua bisa dipelajari. Sumber daya manusia yang belum memadai seperti yang diceritakan oleh Perbekel Les dan Tembok bisa diatasi dengan melatih pengelola informasi desa secara berkala. Ini bisa dianggarkan pada kegiatan peningkatan kapasitas pemerintah desa.
Pada akhir diskusi, Perbekel Tembok menegaskan bahwa desa tidak terkendala regulasi dalam pengelolaan sistem informasi desa. UU No.6 Tahun 2014 tentang desa misalnya, sangat mendukung Pemerintah Desa dalam pengelolaan sistem informasi.
Sesi foto bersama setelah acara diskusi / Foto: Dok. Kominfosanti Buleleng
Artinya, dana desa sangat memungkinkan diperuntukkan untuk mengangkat pengelola informasi desa, humas desa, jurnalis desa, dan entah apa lagi namanya. Tentu mengangkat dengan memberikan upah yang layak.
Pertanyaannya sekarang, beranikah pemimpin desa menjadikan kegiatan menulis tentang desa menjadi prioritas dan sama pentingnya dengan program bedah rumah, infrastruktur desa, dan bansos sembako? Semoga.[T]