Baguse ya Bagus Nyoman
Iringan dada porasi
Porasine ya umar padhang
Pendarungan Tamansari
Gendhing berjudul Bagus Nyoman bernada slendro dengan arti bahasa yang sulit di pahami itu mengiringi penari Seblang ketika menari di atas meja. Sesi “Tundik” menjadi bagian dari ritus pertunjukan yang ditunggu-tunggu. Ketika penari seblang nundik, ia melempar sampur (selendang) ke tengah kerumunan penonton. Siapa yang ketiban sampur, dia harus naik ke atas meja untuk menari bersama Seblang.
Suasana begitu sangat riang. Penari seblang yang raganya “dipinjam” oleh roh leluhur itu menari lincah dengan tingkah yang centil. Tak jarang sang penari juga menunjukkan ekpersi kasmaran bahkan kadang juga kemarahan yang menggemaskan.
Tundik : Penari Seblang Menari di atas meja bersama penoton yang kejatuhan sampur | Foto : Sandika Hidayat
Kali adalah tahun pertama gadis bernama Dwi Putri Ramadhani (18 tahun) itu didapuk oleh leluhur desa menjalankan tanggung jawabnya menari Seblang hingga 2 dua tahun berikutnya. Ia mencuri perhatian penonton dengan gerak tariannya yang sangat lincah dan energik dalam keadaan trance.
Selama tujuh hari, dimulai pukul 14.00 hingga menjelang fajar tenggelam di ufuk barat, ia akan menari dengan omprok (mahkota) daun pisang berhias bunga-bunga segar. Di bawah payung agung dari koin mori, ia mempersembahkan raganya menari mengitari panggung dengan arah berlawanan jarum jam, diiringi 30 gending-gending koor yang mendayu-dayu.
Foto : Sandika Hidayat
Selain merayakan hari raya Idul Fitri atau Lebaran, masyarakat Using di Desa Olehsari – Kecamatan Glagah yang berada di sisi barat kota Banyuwangi menuju arah Kawah Ijen itu juga mengadakan ritus tari sakral bernama Seblang. Ritus tari ini rutin diadakan setiap tahun selama tujuh hari berturut-turut yang sudah dijalankan oleh masyarakat secara turun-temurun.
Hari Senin dan Jum’at merupakan hari sakral yang diyakini oleh masyarakat Using dalam memulai berbagai nadzar terutama ritus-ritus daur hidup yang bersifat kolektif maupun individu. Oleh karena itu, penyelenggaraan ritus tari sakral ini dimulai pada hari Senin atau Jumat minggu pertama di bulan Syawal. Sebagaimana Lebaran tahun ini, ritus tari seblang mulai diselenggarakan pada Senin hingga Minggu, 24 -30 April 2023 lalu.
Tari Seblang bisa dikatakan sebagai ibu dari segala tari yang berkembang di Banyuwangi karena memiliki pertalian yang erat dengan tari Gandrung Banyuwangi yang dijadikan gerak dasar tari garapan Banyuwangi. Gandrung Banyuwangi dalam penyajiannya mengambil beberapa unsur tari Seblang, mulai dari gendhing hingga beberapa bagian yaitu Seblang-seblangan atau Seblang Subuh di akhir babak pertunjukannya. Sejarah tari Gandrung Wadon (sebelumnya, Tari Gandrung jamak ditarikan oleh seorang pria) juga tak lepas dari ritus seblang sebagai ungkapan nadzar atau kaul yang dilakuan oleh Mak Midah di Desa Cungking kepada anaknya yang bernama Semi.
Sebelum dikenal sebagai penari Gandrung Wadon pertama di Banyuwangi, Semi menjalani ritus dengan menarikan seblang sebagai ungkapan syukur setelah mengalami sakit berkepanjangan. Kaitan sejarah Seblang dan Gandrung pernah dicatat oleh penulis Belanda Joh Scholte dalam makalahnya Gandroeng van Banjoewangi, 1926. Pendek kata, gandrung adalah bentuk penyajian tari seblang yang bersifat profan berfungsi sebagai tari pergaulan.
Seblang ada yang mengartikan dalam bahasa setempat dengan plesetan sebele ilang. Mengacu pada fungsinya sebagai ritus tolak bala, bersih desa, kesuburan dan penyembuhan. Di Banyuwangi, ada dua desa yang masih mempertahan ritual ini sebagai ritus tolak bala yang diadakan secara kolektif oleh masyarakat pendukungnya, yaitu Kelurahan Bakungan dan Desa Olehsari. Jika Seblang di Olehsari ditarikan oleh gadis atau wanita muda. Maka di Bakungan yang menarikan adalah wanita tua yang sudah menopause.
Dalam praktik ritual bersih desa, tak sembarang orang bisa menarikan Seblang. Penarinya harus memiliki ikatan keturunan secara langsung dari penari terdahulu baik dari garis ayah maupun ibu. Pemilihan penari pun melalui proses sakral yang penuh unsur mistik karena berkaitan erat dengan roh leluhur desa. Biasanya 1-2 minggu menjelang pelaksanaan ritual, ada seorang warga yang kejiman (kerasukan, kerauhan). Ritual Kejiman itulah menjadi medium rembug antara masyarakat penyelenggara dengan roh-roh leluhur desa. Peristiwa Kejiman dengan medium raga seorang warga itulah menjadi ruang dialog antara jagad halus dan jagad kasar, dari memilih penari hingga berbagai perkara penyelenggaraan ritual.
Sang Hyang, Sanyang dan Seblang
Foto : Sandika Hidayat
Geografis Banyuwangi yang berdekatan dengan Bali menjadikan wilayah ini sebagai “ruang antara” arus besar kebudayaan Jawa dan Bali dan juga suku-suku lain seperti Madura, Melayu, Mandar, dan Bugis. Peristiwa-peristiwa sejarah sosial politik sejak zaman kerajaan hingga kolonial membawa pertemuan budaya yang saling membaur.
Menjelang keruntuhannya, Kerajaan Blambangan kerap kali menjadi ajang rebutan baik di pihak Mataram Islam yang bersekutu dengan Kolonial Belanda maupun Kerajaan-kerajaan di Bali seperti Mengwi, Gelgel dan Buleleng sebagai usaha politis membendung pengaruh Mataram. Jejak-jejak peristiwa sejarah itulah yang juga menghadirkan ritus Seblang yang bisa ditemukan di Olehsari dan Bakungan melalui ekspresi ritus tarian sakral.
Di Desa Olehsari, terdapat makam tua di pekuburan desa yang dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai makam Buyut Ketut. Makam ini masih disakralkan hingga hari ini karena selain dipercaya sebagai leluhur pendiri desa yang mbabad alas juga memiliki kaitan erat dengan prosesi ritus tarian Seblang.
Sebelum penyelenggaraan ritus Seblang, para pelaku adat melakukan ritual selametan berdoa dan makan bersama dengan sajian khas nasi tumpeng dan pecel pitik di makam Mbah Ketut. Begitu juga di hari ke-tujuh pada pelaksanaan Seblang akan menjalani prosesi arak-arakan Ider Bumi. Penari akan napak tilas dengan menari di titik-titik desa yang dianggap sakral oleh warga. Salah satunya Sang Penari akan menari di atas makam Buyut Ketut.
Foto : Sandika Hidayat
Tak ada catatan sejarah yang jelas mengenai asal muasal makam tua Buyut Ketut itu. Namun serangkaian ritual Seblang dan kepercayaan warga yang berkembang secara lisan mengenai nama Ketut memiliki indikasi hubungan yang jelas dengan kebudayaan Bali. Menurut penafsiran Drs. Suhalik sebagai pemerhati sejarah Banyuwangi, Buyut Ketut merupakan salah satu pasukan perang dari Bali yang membantu perlawanan rakyat Blambangan dalam peristiwa melawan pasukan Belanda dengan perang Puputan Bayu (1771-1773) sebagai puncak perlawanan.
Dalam perjalanannya, Buyut Ketut mendirikan sebuah perkampungan atau Banjar. Di sisi timur Desa Olehsari saat ini memang terdapat sebuah desa yang bernama Banjarsari. Setelah mendirikan Banjarsari, Buyut Ketut melanjutkan membuka lahan di sisi baratnya yang kini dikenal sebagai desa Ulih-ulihan atau secara formal administratif disebut Olehsari.
Tari Seblang hampir mirip dengan Tari Sang Hyang Dedhari di Bali. Begitu juga dengan Sanyang, yang pernah dicatat oleh Joh. Scholte dalam perjalanannya di Banyuwangi. Ia mencatat terakhir kali menyaksikan pertunjukan tari Sanyang di Desa Mangir, Kecamatan Rogojampi pada tahun 1926. Tarian Sanyang itu ditarikan oleh dua anak laki-laki berusia sekitar 9-10 tahun dengan memakai busana penari putri dalam keadaan trance. Mereka menari selayaknya wanita.
Menariknya, terdapat adegan ketika kedua penari cilik laki-laki itu menari di atas payung terbuka sambil menusukkan keris ke tubuhnya tanpa luka sedikitpun. Selama pertunjukan, Sanyang diiring nyayian koor oleh para wanita dan iringan musik berupa 4-6 seruling bambu dan gong. Beberapa unsur-unsur pertujukan Sanyang juga ditemukan dalam pertujukan Seblang hari ini. Seperti iringan gending yang dibawakan secara koor oleh beberapa wanita dan masih digunakannya gending Sekar Jenang.
…
Penari Seblang menjual bunga kepada penoton dengan diiringi gending Kembang Derma | Foto : Sandika Hidayat
Sal Murgiyanto mencatat dalam Seblang dan Gandrung, dari sekitar 30-an gending terdapat dua gending dalam ritus Seblang yang sangat mirip dengan dengan ritus Tari Sang Hyang di Bali yaitu Sekar Jenang dan Bagus Nyoman.
Gending Sekar Jenang pada tarian Seblang :
Sekar Jenang
Maudhang dedhari kuning
Agung alit temuruno
Dedhari turun maundhang
Sedangkan gending Kembang Jenar pada tarian Sanghyang Dedhari dibawakan ketika penari diasapi agar terjadi kerauhan:
Kembang Jenar
Mengundhang dedhari agung
Sane becik, becik undhang
Ni Supraba, Tunjung biru
Terkait gending Bagus Nyoman yang syairnya ditulis pada bagian awal tulisan ini, masyarakat di sekitar Singaraja mengenal Bhatara Bagus Nyoman sebagai nama roh yang biasanya dimohon turun untuk merasuki penari pada ritus Sang Hyang Jaran.
Seperti umumnya tradisi sastra lisan, proses penyebaran pengetahuan antar generasi pada gending-gending Seblang yang berjumlah sekitar 30 macam gending itu mengalami proses perubahan syair maupun cara pengucapan. Sehingga syair-syair itu kadang sulit dimengerti oleh masyarakat awam.
Penari Seblang sedang diasapi dupa kemenyan, di sisi lain tangan sang penari dibubuhi minyak wewangian | Foto : Sandika Hidayat
Memang tidak ada catatan tertulis mengenai hubungan tari Sang Hyang, Sanyang dan Seblang. Namun jejak tradisi yang berkembang dan masih dipelihara pelaku adat Seblang di Banyuwangi hingga hari ini memiliki indikasi kuat mengenai dialog kebudayaan antara Blambangan dan Bali yang sangat erat.
Ritus Tari Seblang selain memiliki fungsi tolak bala untuk keselamatan desa dan kesuburan, pada konteks hari ini juga bisa dilihat sebagai manifestasi ritus tari yang memiliki nilai-nilai kesetempatan sekaligus universal. Keduanya bisa menjadi modal sosial segenap anak bangsa dalam upaya membangun kebinekaan dan sikap terbuka alih-alih terjebak oleh fanatisme sekat-sekat geografi, kepercayaan dan identitas golongan. Ritus tari Seblang membawa kita sejenak merayakan jejak-jejak masa lalu para leluhur dalam menghadapi realitas sosial politik yang menumbuhkan silang budaya antar indetitas pada titik setimbang antara yang setempat dan yang universal.
Upaya para leluhur di Olehsari dan Bakungan mendialogkan ritus Seblang dengan kepercayaan mayoritas masyarakatnya hari ini patut dijadikan kebijaksanaan. Seblang yang berakar dari ritus kuno pra-Islam nyatanya bisa dilestarikan secara harmonis bahkan “menubuh” dengan hari-hari besar Islam. Di Olehsari, ritus tari sakral ini diselenggaran berdekatan dengan Idul Fitri di bulan Syawal. Sedangkan di Bakungan ritual Seblang diadakan seusai Idul Adha di bulan Dzulhijjah.
Di sisi lain, memaknai kembali Sang Hyang, Sanyang, Seblang dan berbagai ritus kuno sebagai bentuk manifestasi manusia terhadap kesuburan dan tanggung jawabnya pada alam sekitar, juga patut disuarakan kembali alih-alih mengeksploitasinya hanya sebagai panggung pertunjukan turistik. Sehingga, diharapkan masyarakat hari ini tidak larut pada kebanggaan melestarikan ritus tradisi dengan orientasi pariwisata budaya semata. Lebih jauh lagi, kita harus menarisakan kembali warisan tradisi leluhur sebagai gerakan sosial merespon isu dan realitas kekinian. [T]