MANUSIA DAN SUNGAI di masa lalu memiliki hubungan erat. Keduanya menjadi dua produk Tuhan yang saling berkaitan dan berdampingan serta saling membutuhkan. Manusia sebelum generasi Z, sudah menjadi rahasia umum, mereka memiliki pengalaman dengan sungai, misalnya bermain air dan melakukan aktifitas terjuan bebas di tebing sungai.
Namun, sejak pertumbuhan industri dan teknologi yang berkembang pesat, pembangunan sarana prasarana kota mulai tumbuh, gedung perkantoran dan tempat tinggal rimbun subur. Sungai belakangan terkesan kumuh dan kotor. Semakin banyak manusia enggan untuk bersinggungan dengan sungai, kecuali untuk membuang sesuatu, menjadi muara tempat pembuangan “segala hal buruk”.
Sungai seolah tidak lagi ramah untuk menjadi tempat bermain dan tempat manusia beraktifitas, Padahal beberapa kebijakan sudah dibuat untuk menjaga sungai. Namun belum menunjukkan hasil yang maksimal.
Saat generasi Baby Boomers hingga generasi Y bercerita masa lalu yang indah tentang sungai, Generasi Z dan setelahnya, hanya bisa mendengar, mengangguk dan berimajinasi tentang masa kecil pendahulunya yang membahagiakan.
Sungai yang ramah dan indah tidak terwariskan, imbas dari pembangunan yang signifikan. Sehingga, ‘pendengar’ tidak bisa merasakan nuansa masa lalu yang digambarkan. Seolah menjadi tidak adil, jika generasi Baby Boombers hingga generasi Y yang saat ini menjadi pemangku kebijakan dan memiliki peran sebagai orang tua, tidak memberikan wahana belajar untuk memperkenalkan kejayaan sungai kepada generasi Z dan setelahnya.
Secara personal, kami tergolong generasi Z, keresahan sungai yang sedang tidak baik-baik saja di perkotaan sudah ada. Namun menemukan momentum dan sinergi kolektif bertajuk Resik-Resik X baru tercipta di bulan September tahun 2019.
Kegiatan tersebut diselenggarakan Baby Boomers dan generasi Y, sebagai usaha sadar untuk mengantisipasi banjir saat musim hujan tiba. Pada saat itu, mumpung musim kemarau, sungai tidak terlalu dalam akibat pendangkalan, sampah sudah menumpuk.
Banyak pihak yang tidak terlibat dalam kegiatan tersebut, terkesan meragukan. “Ini sungai, di satu sisi akan bersih, tidak berselang lama akan kotor lagi, mendapat kiriman sampah dari sisi sungai bagian yang lain, jadi percuma!”. Ungkapan itu ada benarnya, tapi bagi kami, tidak sepenuhnya bisa dibenarkan.
Kegiatan pembersihan sungai | Foto: Cherik Ayyash
Bagi kami, generasi Z dan setelahnya, berenang dan bermain dengan air hanya dilakukan di tempat wisata dan kolam renang dengan standar kebersihan dan keamanan yang baik tentunya. Bersinggungan dengan sungai yang ‘liar’ menjadi pengalaman pertama. Sembari memunguti sampah, mengerjakan sesuai tugas dan arahan sebelumnya, sebagian dari kami berenang dan melompat ke sungai dari batu besar yang ada di tepian.
Kami melakukan dengan riang gembira, meskipun air sungai kala itu berwarna hitam pekat dan sampah beriringan berjalan melintasi tubuh kami. Generasi Boomers dan generasi Y yang melihat kelakuan kami antara harus bahagia atau sebaliknya, kondisi sungai tidak seperti yang mereka rasakan dahulu, yang bersih dan menyegarkan.
Tiga jam berlalu, waktu yang ditentukan telah selesai. Alat-alat sudah dibersihkan, karung-karung penuh sampah dengan berbagai macam sampah bekas pakai manusia, mobil pick up Dinas Lingkungan Hidup sudah dua sampai tiga kali hilir mudik membuang sampah yang berhasil dikumpulkan ke Tempat Pembuangan Akhir.
Tapi kerjaan di sungai belum sepenuhnya selesai, dengan lebar sungai lebih kurang 10 meter, bersih-bersih sungai yang dikerjakan tidak terlihat hasilnya, seolah masih sama, kali ini ungkapan dari para pencemooh ada benarnya, percuma!
Namun, sebagai peserta bersih-bersih sungai, ungkapan tersebut salah. Secara personal, kami sedang introspeksi diri, merasakan mengais dosa-dosa yang mungkin pernah dilakukan terhadap sungai. Dari awalnya kami hanya melihat tumpukan sampah dari atas bantaran sungai, sudah enggan dengan baunya dan sangat menjijikkan.
Namun, kali ini, dengan sadar, kami terjun ke sungai melawan stigma bau tidak sedap dan menjijikkan, merasakan gejolak rasa untuk mengambil sampah dengan motif membersihkan sungai. Bau busuk menembus masker yang kami kenakan dari sampah yang mengendap berbulan-bulan, ribuan belatung menggeliat di antara sampah-sampah yang kami ambil, berkali-kali mengusir lalat dan nyamuk yang berterbangan di bandan dan muka, dan merasakan hal tak terduga lainnya.
Kegiatan ini merupakan pengalaman yang luar biasa bagi kami, sebagai bentuk dzikir penghambaan pada Tuhan, merefleksikan diri pada nilai kemanusiaan yang bersinggungan dengan alam, lebih mawas diri dalam langkah dan tindakan. Sebagai proses menciptakan pemaknaan, menjalin kembali bagaimana manusia berhubungan baik dengan sungai, menciptakan romansa kejayaan sungai di masa lalu. Terlebih bisa menciptakan wahana “out bound” untuk belajar dan tumbuh berteman dengan sungai bagi setiap generasi. Meskipun secara sadar membutuhkan kerja ekstra dan konsistensi waktu yang panjang serta sinergi kolektif banyak pihak.
Pada akhirnya, kami mulai berkaca, mengapa sungai hari ini, dianggap menjadi dalang terjadinya banjir? Apa jangan-jangan banjir yang kerap terjadi, sebagai usaha sungai memperingatkan manusia, bahwa sungai tidak mampu menampung air hujan disebabkan terjadinya pendangkalan dan banyaknya sampah yang menjadikan sumbatan?
Apa benar banjir itu bencana alam? Bukankah sifat alami air harusnya bisa terserap oleh tanah? Lantas mengapa terjadi banjir, apa jangan-jangan saat ini tidak bisa terserap akibat pembangunan infrastruktur yang mengabaikan sifat alamiah unsur alam?
Apa bisa, banjir disebut bencana manusia? Atas dasar manusia yang mulai lalai amanat Tuhan untuk tidak membuat kerusakan?
Pertanyaan itu bukan maksud menuntut sadar dan menyalahkan, lebih kepada pemaknaan bahwa ada mahakarya Tuhan berupa sungai yang perlu dijaga dan diwariskan. [T]