SEJUMLAH PENARI BERGERAK dengan obor di tangan. Mereka mengerakkan tubuh, menarikan obor. Lalu obor digerakkan menuju lembar kain. Arang dari api obor melukis di atas kain. Terciptakan lukisan-lukisan dengan bentuk beragam dan tanpa batas, seperti kebenaran yang dicari banyak orang.
Peristiwa itu adalah peristiwa kesenian. Gerakan itu adalah tarian dengan judul Langit-Lelangit sebagai pembuka Nungkalik Festival yang digelar Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar di Pantai Segara Ayu Sanur, Kamis, 20 April 2023. Tari Langit-Lelangit menggamarkan Dewa Brahma mencari Hyang (kebenaran).
Nungkalik Festival “Panumbra’s Final Gloom” digelar bersamaan dengan terjadinya gerhana matahari, sebagai pemaknaan terhadap fenomena fase bulan baru dan gerhana matahari hybrid yang bisa terlihat dari Bali.
Sekitar 200 mahasiswa dari berbagai peguruan tinggi terlibat dalam acara festival seni ini. Mereka bergembira, mereka memberi makna, sekaligus juga belajar merespon fenomena alam dan kemanusiaan.
Festival diawali dengan kegiatan mereresik di areal pantai, pengunjung kemudian diajak focus dalam satu tempat yang telah ditentukan. Setelah dibuka dengan tari Langit Lelangit, festival dalam berbagai acara yang semuanya diikuti dengan khusyuk, dari awal sampai akhir, termasuk Rektor ISI Denpasar Prof. Wayan Kun Adnyana. Bahkan, pada satu acara seni, beberapa penonton langsung terlibat sebagai peserta.
Peserta yang terlibat bukan hanya mahasiswa ISI Denpasar, tetapi juga berkolaborasi dengan mahasiswa dari perguruan lain, seperti Instiki, Poltekpar, IDB, Unud, Ngurah Rai, dan Undhira.
Setelah tarian Langit Lelangit, kemudian muncul penari lain dari berbagai arah. Mereka menggerakkan bambu berlubang seperti seruling. Bambu yang digerakkan itu menghasilkan suara yang sangar indah. Itulah Tari Sunari, sebuah tarian yang untuk mengukur keberadaan Dewa Siwa melalui bunyi angin.
Rektor ISI Denpasar Prof. Kun Adnyana turut melukis dengan obor pada Nungkalik Festival di Pantai Sanur | Foto: Ist
Pada bagian selanjutnya disajikan tari Suryakanta yang merupakan tarian yang merajah tanah dibantu dengan energi matahari atau Dewa Surya dalam upaya Dewa Wisnu mencari Hyang (kebenaran) ke bawah. Para penari membawa kaca pembesar lalu difokuskan pada sinar matahari, kemudian dipantulkan ke areal kertas lalu dibuat garis lukis yang sangat indah.
Acara dilanjutkan dengan menggelar workshop memperingati hari Menggambar Nasional dan Open Space mengenai “Apa itu seni?”
Workshop ini dijadikan sebuah aktivitas yang prosesnya terus bergulir dalam pemaknaan penghormatan kepada alam semesta. Dari peristiwa ini, maka akan menghasilkan artefak-artefak yang memiliki nilai keragaman bentuk garis yang mencerminkan individu masing-masing. Workshop ini menghadirkan dua narasumber yakni, Dr. I Wayan Sujana (Suklu) S.Sn., M.Sn dan Ketut Sumerjana, S.Sn., M.Sn.
Rektor ISI Denpasar, Prof. Kun Adnyana mengapresiasi gagasan BEM ISI Denpasar menggelar Festival Nungkalik untuk memaknai fenomena alam berupa gerhana matahari hibrid. Ini sebuah festival yang mengajak seluruh mahasiswa memasuki pengalaman otentik dengan menghayati karisma landskap Bali yang tiada duanya di dunia.
Mahasiswa seni diharapkan tidak hanya lihai berkarya di studio, tetapi harus memiliki kesiapan menjelejah, dan merekam karisma pemandangan Bali, baik dari sisi warna, karakter, maupun vibrasi yang berhubungan dengan nilai-nilai budaya.
Tema yang diangkat dalam festival juga sangat relevan dan kontekstual dengan fenomena gerhana matahari. Berangkat dari perspektif otentik yang asli, mahasiswa menghadirkan koreografi Suryakanta, yang memberi makna bahwa matahari merupakan sumber kehidupan. Lewat seni, mahasiswa ingin mewartakan perlunya pemuliaan terhadap alam, dalam hal ini matahari sebagai sumber energi.
Para seniman ikut berbaur melukis bersama dalam Nungkalik Festival di Pantai Sanur | Foto: Ist
Presiden BEM ISI Denpasar, Putu Durga Laksmi Devi dan Valda sebagai wakil panitia event menyampaikan, kata Nungkalik dipilih sebagai bingkai festival seni yang bersifat eksperimental karena makna kata tersebut.
Nungkalik yang mengandung makna berlawanan dengan prinsip-prinsip seperti, siang-malam, laki-perempuan. Namun, bukanlah dualisme yang ingin ditonjolkan, tetapi sebuah realitas kongkrit yang memiliki dua aspek saling berkaitan.
“Ini menjadi sebuah jawaban akan kebutuhan pelaku seni dalam merespon fenomena-fenomena yang kini tengah terjadi,” katanya. [T][Pan/*]