“Selamat pagi, teman-teman. Mengingatkan kembali untuk nanti kita ada rapat tentang…. Jam 10. Mohon hadir tepat waktu ya, salam!”
“Selamat pagi, teman-teman, maaf mengenai pemberitahuan mendadak ini, nanti kita ada rapat mendadak jam 12, dimohon kesediaannya hadir ya, salam!”
“Selamat pagi menjelang siang, teman-teman, mohon kehadirannya sore nanti untuk mempersiapkan…”
Hancur sudah hari Sabtu/Minggu mahasiswa penerima pesan itu. Terbangun di pagi yang cerah. tTdak ada perkuliahan di hari Sabtu-Minggu. Sudah menyusun segepok rencana sama ayang, eh tau-taunya lupa ada rapat organisasi huhuhu, ujung-ujungnya menangis tersedu-sedu.
Bagi mahasiswa yang merasakan hal itu, aku sangat paham perasaan kalian karena aku pernah berada di posisi kalian. Masakan ibu di hari Sabtu-Minggu sering tak disentuh karena harus segera ke kampus mempersiapkan ini dan itu. Nanti diganti dengan nasi campur yang sudah dianggarkan 10 ribu rupiah per-orang, dan es teh yang sudah dianggarkan 2 ribu rupiah per orang (catatan: harga sebelum inflasi hihihi).
Pulang dengan rasa lelah, terlelap dan besoknya sudah berkuliah lagi, begitu terus tahu-tahu sudah semester tua. Tuntutan skripsi datang dari 9 arah mata angin, ditambah segala keluh kesah drama pengajuan topik skripsi. Begitulah kira-kira kehidupan yang pernah dialami sebagian besar dari mereka yang pernah memburu gelar sarjana.
Kehidupan pasca-sarjana terutama bagi mereka yang baru saja wisuda sangat jauh berbeda.
“Sekarang apa?” begitu tanya mereka.
“Cari kerja lah!” jawab sebagian orang tua.
“Nikahin aku lah!” jawab ayang.
“Lanjut kuliah aja sudah, nanggung biar kuale (sekalian) 18 tahun hidup jadi siswa,” jawab teman-teman.
Untuk ayang dan teman-teman, “uangnya dari mana?” Untuk orang tua, “di mana kucari di mana?”.
Selama memburu gelar sarjana seolah setiap hari adalah hari kerja dan hari berbicara, sedangkan saat pasca-sarjana seolah setiap hari adalah hari libur, hari tidur, hari makan…benar tidak?
Tapi itu hanya sementara, bagi kalian yang baru menjalani kehidupan pasca-sarjananya, nikmatilah libur dan perbaikan jam tidurmu selagi bisa, karena hari libur adalah hari yang sakral dan harus dihargai.
Hari libur adalah hari yang sakral dan harus dihargai, mau tidak mau kita akan terjun ke masyarakat dan bekerja. Saat bekerja nanti kita akan paham betapa sakral dan berharganya hari libur itu. Hari dimana tidak perlu khawatir kepupungan, lupa absen datang sehingga uang makan terpotong, jauh-jauh dari pikiran pekerjaan selama 1 atau 2 hari, tinggal berpelukan dengan bantal guling kalau tidak ada rencana, haaaaahhha. Ternyata hari libur senikmat ini.
“Mak, Pak, maafkan anakmu ini dulu suka mengganggu hari libur kalian ya! Hehehe…”
Menghargai hari libur tidak melulu tentang memanfaatkan kesempatan untuk bermalas-malasan, menjalani hobi juga salah satu itikad menghargai hari libur. Menjalani hobi tanpa perlu memperhatikan waktu untuk beberapa saat.
Menghabiskan hari libur dengan baik sesuai kebutuhan dan isi hati membuat kita tidak perlu merasa gelisah dan bersalah pada diri sendiri, oleh karena itu hari libur merupakan hari yang sakral yang perlu dirayakan secara rutin oleh diri sendiri.
Menjalani hari libur berarti memberi kesempatan diri sendiri untuk jeda dan berhenti sejenak dari dinamika. Kesempatan untuk memberi jeda sejenak mungkin hanya ada saat kita menyelesaikan pendidikan.
Saat bersekolah hari libur terkadang digunakan mengikuti bimbingan belajar atau digunakan untuk menyelesaikan tugas yang harus dikumpul hari seninnya, apalagi saat berkuliah. Hari yang seharusnya libur kalau tidak digunakan untuk mengerjakan tugas kuliah ya untuk mengerjakan tugas non-akademik, belum lagi jika mahasiswa itu dicerca lomba-lomba.
“Apa itu libur semester? Apa itu hari Sabtu? Apa itu hari Minggu? Hehehe”.
Lalu bagaimana jika sudah menyelesaikan pendidikan (sarjana), sudah bekerja juga tapi melanjutkan pendidikan? Ya sudah, ditahan-tahan saja dulu! Kanggiang dumun! Hehehe. [T]