SUDAH TAHUN ke 7 saya menjalani puasa di Singaraja. Tak ada yang istimewa, sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Entah karena keimanan saya yang setipis tisu atau saya yang tak pernah menyambut Ramadan dengan khidmat (barangkali alasan pertama itu paling tepat), yang jelas, menjalankan puasa di Singaraja tak pernah berkesan.
Selama menjalani puasa di kota kecil ini, seingat saya, tidur menjadi aktivitas yang sering saya kerjakan—bahkan menjadi rutinitas. Bukan karena tidur diwaktu puasa itu dihitung sebagai ibadah, tapi memang tak ada hal lain yang bisa saya lakukan selama puasa. Tidur pagi bangun sore hari.
Kalau cuaca sedang bagus, sesekali saya memancing. Tapi, kalau sedang malas-malasnya, ya saya hanya rebahan saja sambil nunggu adzan Maghrib—dan itu terulang saban hari. Jadi, sekali lagi, puasa di Singaraja tak ada yang istimewa. Justru terasa membosankan.
Tetapi, berbeda saat saya masih di kampung halaman di Banyuwangi, dulu. Di Banyuwangi , bulan Ramadan menjadi momen yang paling saya nantikan. Saya masih SD waktu itu.
Namun, sebelumnya harus saya jelaskan, untuk ukuran anak sekolah dasar, menantikan bulan Ramadan yang saya maksud tentu bukan bertujuan untuk mencari berkah, apalagi berlomba-lomba meminta tanda tangan imam tarawih sebagai tugas Pondok Ramadan dari sekolah, bukan. Tapi, ini yang saya maksud, kami menanti bulan Ramadan sebab akan kembali mengulang “kenakalan-kenakalan” yang kami lakukan setiap bulan suci itu.
Seperti misalnya, setiap sehabis buka puasa, saya dan teman-teman disibukkan membungkus air dengan plastik ukuran es lilin. Kami melakukan itu dengan riang gembira dan penuh semangat.
***
Kami mendapatkan plastik dengan cara patungan. Ada yang menyumbang 500, 1000, dan ada juga yang… eh, seingat saya memang cuma segitu. Namanya juga anak kampung, apalagi di umur segitu, tidak mungkin kami memiliki uang lebih daripada itu. Itu saja sisa bekal sekolah kami.
Setelah uang terkumpul, kami membeli plastik es di warung di ujung kampung, Warung Bik Is, namanya.
Setelah semua plastik terisi air—benda itu tampak mengembung seperti balon—saya dan teman-teman berangkat ke tempat di mana kami hendak memainkan plastik air itu. Ya, ini tentang permainan, atau lebih tepatnya sarana kenakalan kami. Dan kami menyebut permainan ini: Bom air plastik. (Plastik berisi air itu memang bukan untuk hiasan.)
Sebelum saya lanjutkan, sebentar saya absen dulu nama teman-teman saya yang terlibat. (Karena setelah tulisan ini rampung kalian baca, saya tak mau dianggap nakal sendiri di kampung.)
Nama-nama yang terlibat antara lain: Rosadi, Aris, Imam, Muhlisin (Muhlisin ini jarang terlibat, karena Lik Agus, bapaknya Muhlisin galak. Pernah, bola yang sering kami mainkan di bacok sampai belah dua oleh Lik Agus, karena Muhlisin tak mau disuruh pulang).
Sekarang sedang ngetrend perang sarung sebagai permainan di bulan Puasa, tapi bagi kami itu kurang menantang. Tentu bom air lebih menantang.
***
Kami bermain bom air itu di pinggir jalan tepian sawah, di perbatasan kampung. Tempatnya memang sepi, karena tak ada lampu yang meneranginya, dan kami memainkan permainan itu ketika salat Tarawih sedang berlangsung. Artinya, sudah satu kenakalan yang kami lakukan—kami bolos salat Tarawih.
Aturan permainannya begini. Pertama kami membagi plastik berisi air itu dengan rata, adil. Kemudian kami merayap di antara semak-semak persawahan. Selanjutnya kami menunggu musuh yang datang. Kami mengintai musuh bak prajurit PETA yang sedang bergerilya melawan Belanda, benar-benar mendebarkan.
Nah, ketika ada sorot lampu motor dari kejauhan, itulah target kami. Ya, benar, orang-orang yang sedang lalu-lalang itulah musuh kami. Ketika musuh sudah tepat di hadapan kami, dengan aba-aba Rosadi sebagai pemimpin, dengan hitungan 1 2 3… secepat yang kami bisa, plastik berisi air itu kami lempar ke arah orang yang lewat.
Kadang lemparan kami meleset mengenai body motornya saja; kadang pas headshot, menghujam telak, terkena kepala orang itu. Byurr. Basah menjadi ukuran kepuasan kami.
Mereka yang terkena bom air itu ada yang kaget kemudian ngebut secepat kilat. Tapi, naasnya, tak jarang, ada yang berhenti mencari arah darimana asal plastik-plastik berisi air itu melesat. Jikalau kami ketahuan, sekuat tenaga kami merayap menjauh, dan jika tetap dikejar, berarti sudah saatnya kami lari terbirit-birit menghindari amukan musuh.
Pernah satu ketika, bom plastik habis tapi kami masih belum puas. Kami tak habis akal, batang-batang padi yang sudah dipanen itu kami cabut sebagai penggantinya. Naasnya, kami tak berpikir panjang akibatnya akan seperti apa. Satu musuh terkapar nyungsep di jalan setelah kampalan bletok (batang padi sehabis panen dengan tanah-lumpur yang menempel di bonggolnya itu) melesat dengan telak mengenai kepalanya.
Kami yang belum tuntas dengan ketakutan melihat orang terkapar, dipaksa menerima rasa ketakutan lainnya. Korban kali ini tahu di mana tempat persembunyian kami. kemudian ia berlari kearah kami dengan balok kayu di tangan. Umpatan dan segala bentuk ancaman terlontar darinya. Tunggang langgang kami dibuatnya.
Saat itu, teman saya yang bernama Imam, malah berniat tidur di kandang kerbau, atau tepatnya bersembunyi di tempat makan kerbau. Tak mau ia pulang, sebab ketakutannya sudah berlipat-lipat. Setidaknya ada dua alasan dia melakukan itu. Pertama, kalau dia keluar, takut ketahuan orang tadi; kedua, alih-alih rumah bisa jadi tempat aman, malah omelan ibunya yang akan ia dapat. Sebab, baju dan sarungnya sudah penuh dengan lumpur sawah—barangkali juga kotoran dan kencing kerbau.
Kami terpingkal-pingkal menyaksikan Imam berada di tempat makan kerbau itu. Ingatan itu masih melekat jelas dalam kepala saya. Kira-kira, Imam ingat, ya?
***
Tunggu dulu, itu hanya satu dari sekian banyak “kenakalan” yang kami lakukan. Sekadar menyebut satu kenakalan lagi, kami pernah membakar tumpukan batang pohon cabai yang sudah kering. Pohon cabai itu kami lempar ke jalan dan kami membakarnya. Api yang cepat membesar kemudian menutupi jalan. Tak ada orang yang berani melewatinya.
Atau, sekadar mengingat kenakalan lainnya, kalau di Loloan, Jembrana, ada Ngotek (kegiatan untuk membangunkan sahur), di kampung kami di Banyuwangi juga ada, Patrol namanya.
Ngotek dan Patrol sama-sama kegiatan membangunkan orang sahur. Bedanya, kalau di Loloan di sambut dengan meriah–bahkan sampai di lombakan—karena itu dilakukan di waktu yang tepat, sebaliknya, orang-orang di kampung kami justru mengutuk kami habis-habisan.
Bukan karena warga di kampung kami tidak suka di bangunkan sahur, tapi karena kami membangunkan mereka di waktu yang tidak tepat. Ya, kami membangunkan mereka tepat jam 12 malam—jam orang kampung baru akan tidur. Hahaha…wajar jika mereka mengutuk kami.
Oh, dan ini, apalagi yang kami gunakan itu alat-alat musik jaranan seperti: gong, kenung, kendang dan kecrek. Keributan inilah yang menjadi alasan warga memarahi kami.
Saya juga ingat, Man Kuwan, tetangga saya, dengan nada Osing-nya, memarahi kami, “Byekk siro iki lare, mageh jam sakmene wis royak. Mulio!” “Aduh, kalian ini, masih jam segini sudah rame. Pulang!” Hahaha… benar-benar bulan puasa yang penuh dengan adrenalin.
Karena semarak Ramadan seperti pawai obor atau pasar tumpah yang ada di kota-kota tak pernah sampai di kampung kami, jadi kenakalan macam itulah yang kami lakukan. Dan anehnya, kami tak pernah takut seandainya kami tertangkap karena melempari orang dengan bom air atau tanah lumpur itu.
Hah, setelah jauh dari kampung halaman, saya benar-benar merindukan momen-momen kebersamaan dengan teman masa kecil. Apalagi ketika puasa begini. Saya sadar apa yang kami lakukan itu adalah salah, dan membahayakan orang lain. Tapi, bagi kami dulu itu sangat menyenangkan.
Sekarang saya bersyukur, untunglah anak-anak di kampung saya tak ada yang mengikuti jejak kenakalan kami. Mereka hanya disibukkan dengan perang onlinenya–perang game PUBG dan Mobile Legend.
Tak apa mereka sibuk dengan gawai masing-masing—walaupun kadang mereka juga sering terkena penyakit pendengaran. Ketika sedang asik bermain game, setiap ada yang mengajak berbicara, sahutnya selalu diawali dengan…“Ha? Ha?”…dan itu sudah pasti pertanda telinganya sedikit bermasalah—yang penting, setidaknya apa yang kami perbuat dulu tak menular kepada mereka sekarang.[T]