PADA MALAM hari pertengahan 2022, seperti biasa, aku dan teman-teman komunitas di desa sedang antusias latihan, gladi, untuk ikut memeriahkan kegiatan Pekan Apresiasi Seni (PAS) 27 Agustus tahun lalu.
Ya, Pemerintah Kabupaten Buleleng melalui Dinas Kebudayaan dan Dinas Lingkungan Hidup bekerjasama dengan berbagai pihak memanfaatkan Ruang Terbuka Hijau Bung Karno Sukasada dengan kembali mengadakan program Pekan Apresiasi Seni.
Seperti namanya, Pekan Apresiasi Seni yang rutin dilaksanakan setiap malam Minggu itu, berupaya melestarikan seni tradisi, adat, dan budaya yang ada di Kabupaten Buleleng. Artinya, seluruh sanggar dan komunitas seni di Buleleng memiliki kesempatan untuk tampil setiap minggu, secara bergantian.
Pekan Apresiasi Seni sebenarnya sudah berjalan jauh sebelum pandemi Covid-19 melanda dunia. Awalnya, kegiatan ini dilaksanakan di Gedung Sasana Budaya Singaraja dengan konsep yang masih dipertahankan seperti sekarang. Bedanya, selain tempat, dulu PAS berlangsung setiap hari Jumat pagi. Sedangkan sekarang diselenggarakan setiap malam Minggu.
Dan, tidak seperti sekarang, dulu penonton atau yang menyaksikan pementasan itu hanya golongan orangtua saja karena pementasan dilaksanakan pada hari produktif. Jadi, siswa maupun mahasiswa tidak dapat menyaksikannya. Ya, walaupun hasil dari pementasan tersebut akan diunggah melalui media sosial dan Youtube, tetap saja suasananya akan berbeda.
Nah, setelah proses pembangunan Ruang Terbuka Hijau Bung Karno rampung, PAS kembali dilaksanakan tepat setelah 2 tahun vakum akibat pandemi Covid-19. Aku akui, PAS memang berhasil sebagai wadah untuk menampung ekspresi dan kreatifitas seniman maupun kreator di Buleleng.
***
Seingatku, pada malam itu, yang akan tampil untuk mebarung adalah Komunitas Seni Manik Hasta Gina Desa Adat Sangket, Sukasada, dan Sanggar Seni Wrdhi Kumara Santhi Desa Pacung, Tejakula. Sedangkan aku sendiri tergabung dalam komunitas yang pertama, Komunitas Seni Manik Hasta Gina.
Malam itu aku tidak hanya menari seperti biasanya. Aku berkesempatan mengajak adik-adik yang aku bina untuk tampil, mementaskan Tari Magrumbungan dalam kegiatan tersebut.
Aura, anggota Komunitas Seni Manik Hasta Gina Desa Adat Sangket, sedang mementaskan Tari Magrumbungan di PAS di Taman Bung Karno
Sekadar informasi, Tari Magrumbungan merupakan tarian asli Buleleng yang menceritakan tentang petani sedang membajak sawah. Tarian ini diciptakan oleh Ketut Artika, sedangkan penata dan tabuhnya diciptakan oleh Nyoman Durpa.
Magrumbungan termasuk tarian yang energik jika dilihat dari geraknya dan terdapat dua peran saat memainkannya: peran sebagai sapi dan petani. Menjadi sapi adalah PR berat karena setiap berjalan ia akan melompat, lari, dengan teknik yang sudah ditentukan. Unsur tari agem, tandang, tangkep, semua tergambar dalam tarian ini.
Dan sebagai pembimbing, tekatku sangat besar, dan tentu saja aku sangat antusias saat melibatkan mereka. Karena bagiku, ini salah satu ajang yang bagus untuk tes mental dengan tampil di atas panggung besar, mewah, dan disaksikan banyak orang, bukan hanya disaksikan orang desa sendiri saja.
Maka, setelah aku mencari bekal tambahan dari merias orang metatah di Desa Sawan, tepat pukul 1 siang aku langsung pulang tanpa singgah ke mana-mana lagi. Dan benar, adik-adik dan teman-teman yang akan ikut menari nanti malam sudah menunggu kehadiranku.
Tanpa basa-basi, aku langsung menyiapkan pakaian tari yang akan dipakai dan lanjut merias mereka. Ya, sebelum merias diri sendiri, aku merias adik-adik dan teman-teman terlebih dahulu. Jujur, hari itu super krodit, aku hampir tidak sempat makan.
Setelah adik-adik dan teman-teman selesai berias, aku lanjut mandi dan baru merias diri sendiri. Hah, malam itu kami sedikit telat datang ke lokasi pentas, karena waktu pentas 30 menit dimajukan tanpa alasan. Tapi, tidak apa-apa, kami bisa mengondisikan masalah tersebut.
***
Kursi penonton sudah penuh terisi. Karena cuaca cukup mendukung, pementasan segera dimulai. Sebelum mulai, kami sempatkan untuk berdoa bersama agar pementasan berjalan lancar.
Malam itu, kami mementaskan 1 tabuh dan 2 tarian dari masing-masing gong kebyar. Sanggar Seni Wrdhi Kumara Santhi menampilkan Tabuh Telu Batur Sari, Tari Panyembrama, dan Tari Baris Tunggal.
Sedangkan Komunitas Seni Manik Hasta Gina menampilkan Tabuh Kreasi Wrehat Cendana, Tari Selat Segara, dan Tari Magrumbungan. Aku sendiri berkesempatan untuk mementaskan Tari Selat Segara. Karena tarian tersebut termasuk dalam tari penyambutan, maka aku tampil lebih dulu.
Dan ini yang aku tunggu-tunggu, penampilan Tari Magrumbungan yang dipentaskan adik-adikku. Jujur, rasanya deg-degan bercampur haru. Padahal, bukan aku yang menari, tapi aku tetap deg-degan sampai susah bernapas.
Merlan, anggota Komunitas Seni Manik Hasta Gina Desa Adat Sangket, sedang mementaskan Tari Magrumbungan di PAS di Taman Bung Karno
Aku sempat merasa cemas, karena ini pertama kali mereka tampil di panggung besar dan megah—selama ini mereka hanya tampil di lingkup acara desa saja.
Hal lain yang aku takutkan adalah kalau mereka sampai salah atau ada yang kurang menurut penonton, pasti yang dianggap kurang mampu membimbing mereka adalah aku—walau aku sudah berusaha dengan maksimal. Huf! namanya juga pendapat orang pasti berbeda-beda.
Tetapi, tampaknya itu hanya ketakutan itu hanya ada dalam kepalaku saja. Pada kenyatannya, riuh tepuk tangan penonton sesaat mereka selesai pentas membuat aku lega, walaupun mungkin ada satu-dua orang dari ratusan penonton yang berbeda pendapat.
Aku bangga, senang, bahagia, dan haru. Mereka dapat tampil dengan maksimal dan membuktikan ke dirinya sendiri bahwa mereka bisa. Padahal, waktu berlatih dan menghafalkan gerak tarinya hanya 1 bulan kurang.
Memang aku belum sebagus kak Arif Mahendra, penari idolaku, dalam mengajar tari, tapi aku akan terus berusaha supaya bisa sebaik dia dalam membimbing adik-adik. Aku sadar masih banyak hal yang belum aku ketahui dan kuasai—untuk itu aku harus terus belajar.
***
Setelah pementasan selesai, seperti biasa, kami melakukan foto bersama dan balik ke rumah dengan mobil pick up. Malam itu kami tidak langsung balik ke rumah masing-masing, tetapi aku dan teman-teman berkumpul di wantilan melakukan makan-makan bersama sebagai wujud rasa syukur sebab pementasan malam itu berjalan sukses, lancar, sesuai keinginan.
Dengan dorongan orang-orang terdekat, keluarga besar Komunitas Seni Manik Hasta Gina, dan juga masyarakat Desa Adat Sangket, kami akan terus semangat berlatih supaya penampilan selanjutnya lebih baik dari penampilan sebelumnya.
Terakhir, terima kasih aku sampaikan kepada Pemerintah Kabupaten Buleleng. Melalui Pekan Apresiasi Seni, kami mempunyai wadah, tempat, untuk mengekspresikan diri melalui seni dan menjalin tali persaudaraan dengan teman-teman dari sanggar maupun komunitas lain. Sekali lagi, terim kasih.[T]
Penulis adalah mahasiswa prodi Ilmu Komunikasi STAHN Mpu Kuturan Singaraja. Sedang menjalani Praktek Kerja Lapangan (PKL) di tatkala.co.