BERKHAYAL, bisa dibilang salah satu hobi yang masih aku tekuni hingga saat ini. Halu, begitu orang sekarang menyebutnya. Memikirkan hal-hal yang indah dan menyenangkan, yang membuat kita bahagia. Bukan suatu hal yang buruk memang, namun fatal jika dilakukan secara berlebihan.
Selain mempunyai hobi mengkhayal, julukan overthinker pernah melekat pada namaku. Ya, overthinker “yang terlalu over” kalau kata para sahabat. Tak satu hari pun aku lalui tanpa berangan-angan akan sesuatu, terlebih lagi pada malam hari.
Berbaring di atas tempat tidur, ditemani boneka beruang dan kucing berwarna kuning aku mulai merangkai cerita hidup. Dari a-z, hingga z-a. Huft! Terkadang aku selalu memikirkan hal-hal yang sangat tinggi, entah pada kenyataannya itu bisa kugapai atau tidak… Hehe.
Pikiranku berkecamuk banyak hal, mulai dari andai aku tidak pulang ke Singaraja; andai aku menjadi pelukis; andai aku bisa bermain gitar; andai aku pergi ke Labuan Bajo bersama keluargaku; andai aku bisa pergi ke Korea bertemu Taehyung Oppa; andai aku bisa pintar matematika seperti Jerome Polin; atau andai aku bisa menjadi penulis novel yang terkenal hingga andai aku punya…em… pintu ke mana saja.
Pintu kemana saja, yaps, pikiran random yang masih aku pikirkan sampai sekarang. Seperti Doraemon yang bisa membawa Nobita ke mana pun ia mau, andai aku berteman dengan Doraemon, ya (ups… kan jadi berandai lagi).
Rasanya menyenangkan bukan, jika kita memiliki pintu ke mana saja? Terlalu anti mainstream memang, dan tak mungkin menjadi nyata.
Kerandoman ini muncul tak lain dan tak bukan hanya karena aku ingin kembali ke masa lalu, sekadar ingin mencoba apa yang sepatutnya dicoba, menekuni apa yang waktu itu aku jalani.
Penyesalan selalu datang di akhir bukan? Kalau di awal itu namanya pendaftaran. Segudang penyesalan selalu berlalu-lalang di dalam otak—otak yang kapasitasnya tak melebihi ruang penyimpanan pada smartphone usangku ini.
Banyak masa kecil yang ingin aku ulang kembali. Menjadi anak perempuan berkepang dua yang patuh dan tekun. Bukan seorang pembangkang, hanya saja sering menanti-dulukan segala sesuatu.
***
Waktu kecil aku berseragam putih merah, bersekolah di Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar. Aku dan keluarga merantau di salah satu daerah yang menjadi destinasi wisata itu. Bule berlalu lalang, sudah biasa, menjadi santapan pertama yang aku lihat dari jendela kontrakan.
Bapakku bekerja di bidang pariwisata. Tentu saja, dulu anak-anaknya diarahkan ke jalan yang sama pula. “Satu hari, lima kosa kata.” Begitulah kira-kira wejangan yang selalu mengisi penuh ruangan kontrakan di pinggir jalan itu.
Lihat saja, di atas meja belajar itu, tersusun rapi kamus Bahasa Jepang, kamus Indonesia-Inggris dan sebaliknya. Dengan covernya yang warna-warni, menarikku untuk menyentuhnya. Tetapi, setelah dibuka, aku lebih banyak kecewa, sebab isinya seperti taman tanpa bunga (hanya satu warna, tulisan tanpa gambar).
Bukan tak ingin pintar bahasa, waktu itu aku malas untuk membuka kamus setebal bantal oleh Hassan Shadily dan John M. Echols itu—yang “tidak akan pernah habis dibaca,” pikirku.
“Nanti saja, Pak.” Kalimat template yang sering aku suarakan untuk menghindari buku-buku tebal itu. Tapi Bapak tidak kehabisan akal, dia mengajakku pergi ke supermarket Bintang yang beralamat di Jl. Raya Sanggingan, Sayan, untuk membeli kamus bergambar agar aku tertarik untuk membuka dan membaca isinya.
Saat kecil bisa dibilang aku sedikit licik, selalu memberikan syarat akan sesuatu. Misalnya, aku akan membaca kamus bergambar yang baru dibelikan bapak kalau aku dikasi makan ice cream saat itu juga, atau membeli keju slice (untuk dijambal); atau membeli Majalah Bobo (aku penggemar Oki dan Nirmala).
Saling menguntungkan, pikirku dulu. Padahal aku yang diuntungkan, memperbanyak kosa kata dengan kamus yang dibelikan iya, mendapatkan ice cream iya, menambah koleksi Majalah Bobo juga iya. Bapak yang harus mengeluarkan uang untuk menuruti keinginan anak perempuannya yang banyak maunya ini.
***
Seandainya dulu aku patuh akan nasehat orangtuaku, mungkin sekarang aku sudah sangat mahir berbahasa asing dan terlihat keren tentu saja. Terkadang, aku merasa gregetan, “kenapa nggak dari dulu sih?” Tapi ya sudahlah, sedikit mengerti percakapan ringan Bahasa Inggris saja bukanlah suatu hal yang teramat buruk.
Sampai hari ini, sesekali bapak masih bertanya atau menjawab pertanyaanku menggunakan Bahasa Inggris. Kalau aku mengerti akan kutanggapi, kalau tidak tentu aku akan berpura-pura tidak mendengarnya. Sampai bapak sudah hafal dengan gerak gerik klise itu, dan akan mengungkit-ngungkit penyakit malasku.
Kala itu banyak hal sebenarnya mulai aku coba, mulai dari belajar melukis di galeri dekat tempat tinggalku, hingga les menari. Kegiatan yang aku jalani itu sebenarnya juga menjadi wadah untuk aku belajar bahasa asing. Karena tidak hanya anak lokal saja yang ada di sana, maka kami berbaur dengan anak-anak berambut pirang yang memiliki bintik-bintik coklat di pipinya.
Tapi, entah mengapa aku tidak memanfaatkan kesempatan emas itu dengan baik, bodoh memang. Aku dan kakakku tak ada yang ikut les bahasa. Aku dengan kegemaranku dan kakak malah ikut les komputer.
Lagi dan lagi, seandainya aku tekun belajar melukis dan menari mungkin aku sudah menjadi pelukis dan penari yang andal.
***
Hingga aku kembali ke Kota Singaraja, tempat kelahiranku. Aku tak lagi belajar melukis, tapi menari tetap aku lakukan. Bukan suatu yang mudah beradaptasi sebagai siswa pindahan dengan logat khas Ubud yang masih sangat melekat padaku.
Sampai pada akhirnya, ada sesuatu yang baru, aku dan ketiga kawanku dipersiapkan mewakili sekolah untuk mengikuti beberapa olimpiade matematika dan sains di salah satu Universitas ternama di Singaraja.
Aku cukup penat di masa-masa itu. Setiap hari Sabtu harus mengikuti pembinaan entah itu di sekolahku sendiri atau di sekolah lain dan les privat berempat di rumah. (Kala itu guruku di sekolah yang mencarikan guru les untuk empat sekawan ini.)
Andai aku serius untuk belajar matematika, dulu, mungkin sekarang aku akan menjadi pintar dan mengikuti olimpiade nasional seperti Jerome Polin. Iya, Jerome Polin Sijabat, seorang Youtuber dari Surabaya yang berkuliah di Negeri Matahari Terbit itu. Sudah tampan, pandai, business man pula. Aarrghh! Seandainya aku rajin, mungkin aku akan menjadi Jerome Polin versi perempuannya… Hehehe.
Begitulah, andai aku punya pintu ke mana saja, akan kutengok sebentar masa depan yang masih abu-abu itu dan akan lebih banyak menghabiskan waktu di masa lalu untuk berbenah. Menata semua yang berantakan, mengisi semua ruang kosong.
Menyesal sudah pasti, tapi aku bersyukur dan merasa beruntung telah melewati beberapa pengalaman yang tidak mungkin bisa aku ulangi lagi.
Hah, sudah-sudah! Sepertinya haluku semakin menjadi, tidak hanya pintu ke mana saja, sekarang aku juga ingin punya baling-baling bambu, mesin waktu, alat pembaca mimpi dan masih banyak lagi.
Teruntuk Doraemon, maukah kamu menjadi temanku?[T]
Penulis adalah mahasiswa prodi Ilmu Komunikasi STAHN Mpu Kuturan Singaraja. Sedang menjalani Praktek Kerja Lapangan (PKL) di tatkala.co.