AWAL APRIL INI, tatkala.co menurunkan enam sajak karya Angga Wijaya, penyair muda produktif Bali. Hal yang menarik, keenam sajak itu bertema Islam, bahkan ditandai sebagai sajak-sajak Islami.
Penyairnya sendiri bukan seorang Muslim, tetapi seorang penganut Hindu. Hanya saja, lingkungan masa kecil dan remaja yang berdampingan dengan komunitas muslim membuatnya kaya dengan pengalaman lintas agama dan lintas budaya.
Di tengah masyarakat yang heterogen, dialog lintas budaya memang menjadi penting untuk terus didorong. Para ahli menyebutnya sebagai interkulturalisme.
Interkulturalisme lazim dipahami dukungan untuk berlangsungnya dialog dan interaksi antarbudaya serta menentang kecenderungan pemisahan diri (self segregation) dalam budaya. Dalam interkulturalisme, perbedaan budaya tidak saja dihargai, tetapi juga dipahami melalui interaksi dan dialog antarbudaya. Multikulturulisme dialami dalam interkulturalisme.
Dalam konteks sastra, interkulturalisme merujuk kepada bagaimana beragam budaya yang berbeda dipahami, dinilai, diterima, atau dikeluarkan (ditolak) dalam satu perspektif dan tindakan budaya tertentu (penulisan sastra) sehingga dalam proses tersebut secara imajinatif menuju dan menjadi satu bentuk cara kehidupan tertentu yang berbeda dengan kenyataan sesungguhnya.
Kritikus sastra dari UGM, Aprinus Salam, menyebut ada empat perspektif interkulturalisme dalam sastra Indonesia. Pertama, sastra Indonesia sebagai proses interkulturalisasi berbagai budaya. Kedua, karya sastra sebagai medan tekstual bagimana secara intrinsik berbagai budaya yang berbeda itu diposisikan, dikelola, dinilai, dan kemudian dinarasikan.
Ketiga, karya sastra ditempatkan sebagai tulisan hasil persentuhan antarbudaya, yaitu pengarang dan budaya tertentu, semacam karya “etnografis” tertentu. Keempat, mengkaji atau menafsirkan karya sastra dari perspektif budaya penafsir.
Apa yang dilakukan Angga dapat dimaknai sebagai praksis interkulturalisme dalam sastra. Angga memasuki perspektif “orang lain” untuk memahami budaya yang berbeda lalu menuangkannya dalam bentuk karya sastra. Lepas dari bias-bias subjektif yang mungkin sulit dihindarkan, sajak-sajak Angga memberi perspektif baru dalam memandang keberagaman Bali hari-hari ini.
Tentu ini bukan hal yang baru. Dalam konteks sastra tradisional Bali, upaya kreatif semacam ini jamak dilakukan para pengawi Bali. Itu sebabnya masyarakat Bali hingga kini mewarisi sejumlah karya sastra tradisional Bali yang mengangkat tema keislaman atau bernuansa Islam.
Beberapa di antaranya yang tersimpan di Unit Lontar Universitas Udayana, seperti Geguritan Siti Badariyah, Geguritan Juarsa, Geguritan Ahmad Muhamad Raden Saputra, Geguritan Yusuf, Geguritan Hamsah, dan Geguritan Nabi Muhammad. Naskah-naskah itu dapat dimaknai sebagai kejeniusan para leluhur Bali merespons budaya, bahkan keyakinan berbeda.
Dalam konteks sastra Indonesia, kerja interkulturalisme semacam ini juga sudah dilakukan sejak awal kelahiran sastra Indonesia. Teks Hindu Bhagawad Gita diterjemahkan penyair berlatar belakang Islam, Amir Hamzah. Chairil Anwar yang muslim menulis sajak Isa yang bernuansa Kristiani.
Namun, upaya kreatif Angga Wijaya patut dihargai. Angga telah menunjukkan sekaligus meneguhkan bagaimana sastra sebagai kekuatan penting untuk merawat dan mengukuhkan keberagaman bangsa ini. Selamat menikmati sajak-sajak Islami Angga Wijaya![T]