Mengusung tema “Kuasa dan Pertunjukan”, Mulawali Institute berupaya merefleksikan kembali keterkaitan seni dan kekuasaan di Bali dengan mengundang akademisi sebagai pemantik diskusi. Kelas Wacana Mulawali dibagi menjadi 4 skema yang secara intensif membahas sejumlah topik.
Pemaknaan seni (khususnya pertunjukan) dan kekuasaan bukanlah hal yang lumrah untuk dibincangkan utamanya dalam penyelenggaraan seni pertunjukan di Bali. Umumnya, konteks seni hanya dilihat sebagai seni itu sendiri dan konteks kekuasaan cenderung berporos pada negara. Pembayangan mengenai keterkaitan seni dan kekuasaan yang terbesit mungkin hanyalah bentuk-bentuk protes pada pemerintah melalui karya seni. Namun, pembayangan tersebut belum cukup untuk dapat memahami seni dan kekuasaan secara mendalam, lebih-lebih kaitannya dengan konteks hari ini.
Beranjak dari hal tersebut, Kelas Wacana Mulawali tahun ini mengangkat tema bertajuk “Kuasa dan Pertunjukan”. Sebagai sebuah program tahunan, Mulawali Institute berupaya memberikan ruang untuk berbagi pengetahuan dengan format diskusi, ceramah, dan pengkajian bersama.
Kelas Wacana Mulawali tahun ini menghadirkan Gede Indra Pramana yang merupakan seorang peneliti di Prakerti dan dosen Ilmu Politik Universitas Udayana sebagai pengampu. Kelas ini dilaksanakan secara luring selama 2 (dua) minggu dengan 4 kali pertemuan, di mana pada pertemuan pertama dan kedua dilaksanakan di Taman Baca Kesiman, Denpasar, dan dua pertemuan selanjutnya dilaksanakan di Kulidan Kitchen and Space, Guwang, Sukawati-Gianyar.
Dengan waktu pendaftaran yang kurang dari satu minggu dan pembatasan jumlah peserta, kegiatan kelas ini diikuti oleh dua belas orang dengan latar belakang yang beragam. Selama kegiatan, para peserta difasilitasi dengan sejumlah materi yang telah dikurasi pemateri sesuai dengan topik pada masing-masing pertemuan, serta pelengkap diskusi, seperti alat tulis dan snack.
Kelas Wacana Mulawali yang diadakan oleh Mulawali Institute, Maret 2023 | Foto oleh Amrita Dharma Dharsanam
Pembacaan Ulang Konsep Kuasa dan Pertunjukan
Pertemuan pertama yang dilaksanakan tanggal 11 Maret 2023 mengangkat topik “Refleksi atas Konsep Kuasa di Asia Tenggara” sebagai fondasi pembelajaran pada tema terkait. Indra Pramana menyebutkan pemahaman terhadap konsep kuasa di Asia Tenggara penting untuk membantu merefleksikan asumsi-asumsi yang sudah dibangun tradisi keilmuan, baik dalam ilmu politik ataupun bidang ilmu lainnya. Adapun materi yang menjadi landasan diskusi pertemuan ini, salah satunya adalah Revisiting Ideas of Power in Southeast Asia oleh Hjorleifur R. Jonsson (2022).
Kelas Wacana Mulawali yang diadakan oleh Mulawali Institute,Maret 2023 | Foto oleh Amrita Dharma Darsanam
Sebelum masuk dalam pembahasan yang lebih mendalam mengenai konsep kekuasaan di Asia Tenggara, kelas disuguhkan dengan 2 cuplikan video Analisis Kuasa oleh Cornelis Lay, sebagai titik berangkat partisipan memahami kekuasaan. Pada materi yang disajikan tersebut, dibahas pula hasil temuan dari Benedict Anderson, Lucien Hanks, Clifford Geertz, dan James C. Scott yang menggambarkan bagaimana ilmuan Barat mendefinisikan kekuasaan di Asia Tenggara, dan bagaimana hubungan kekuasaan dalam realitas sosial.
Berangkat dari pemahaman mengenai konsep kekuasaan, pertemuan kedua mengangkat topik “Ritual dan Pertunjukan pada Masyarakat Bali”. Pertemuan ini dilaksanakan pada tanggal 12 Maret 2023. Para peserta disajikan film dokumenter “Trace and Dance in Bali” yang direkam oleh antropolog Margaret Maed dan Gregory Bateson saat mereka datang ke Bali pada 1930-an. Film tersebut menampilkan pertunjukan Barong dan Rangda, dan menggambarkan posisi pertunjukan sebagai bagian dari ekspresi atas keyakinan masyarakat yang tidak lepas dari kehidupan masyarakat Bali.
Tulisan Hildred Geertz yang berjudul “A theatre of Cruelty: The Contexs of a Topeng Performance” yang terhimpun dalam buku State and Society in Bali (1991), yang membahas mengenai konteks kekuasaan, masyarakat, kesenian, dan ritual menjadi referensi pertemuan Skema II. Hasil laporan etnografi Geertz telah memberikan gambaran secara kongkret bagaimana kekuasaan bekerja dalam konteks masyarakat Bali yang rupanya berkaitan dengan kesenian.
Diskusi selanjutnya membahas mengenai keterkaitan seni dan kebudayaan dengan negara dalam konteks pengoperasian kekuasaan negara pada level global. Pertemuan ketiga yang dilaksanakan pada 18 Maret 2023 ini, fokus pada seni dan budaya sebagai soft-power yang berperan penting bagi diplomasi negara. Selain itu, pada pertemuan ini juga dibahas bagaimana negara hadir dan mempengaruhi situasi kesenian di Indonesia.
Tulisan dari Matthew Isaac Cohen (2019) dengan judul “Three eras of Indonesian Arts Diplomacy” menjadi pokok bahasan dalam diskusi pertemuan ini. Tulisan tersebut menunjukan bagaimana pengaruh kepemimpinan pada penggunaan budaya dalam diplomasi. Selain dalam bentuk pendekatan top-down, praktik kesenian juga berkembang dengan pendekatan bottom-up. Hal ini dapat dilihat dalam konteks proses berkesenian yang ditempuh “Devi Dja”.
Devi Dja merupakan seorang penari Jawa-Bali yang pada akhir tahun 1930-an hingga awal 1940-an telah melakukan tur dunia secara mandiri dan memperkenalkan Indonesia dengan wajah yang berbeda dari stereotip yang telah terbangun di Barat melalui tarian dan partisipasinya dalam perfilman Barat. Warisan yang ditinggalkan Devi Dja tersebut pada akhrinya mempermudah dunia untuk menggambarkan Indonesia yang sangat kompleks.
Kelas Wacana Mulawali yang diadakan oleh Mulawali Institute, Maret 2023 | Foto oleh Amrita Dharma Darsanam
Kembali lagi pada konteks lokal, praktik kesenian pada akar rumput di Bali menjadi sorotan diskusi skema kelas IV dengan topik “Sastra Realisme Sosialis Putu Shanty Sebagai Catatan Sejarah”. Diskusi diawali dengan pemutaran film “Sekeping Kenangan” garapan Hadhi Kusuma bersama Komunitas Taman 65. Dikutip dari laman YouTube Taman 65, film tersebut merupakan sebuah rekaman proses awal pembuatan album kompilasi Prison Songs: Nyanyian yang dibungkam. Film ini dibuat sebagai upaya pengarsipan sejarah melalui dialog dengan pencipta atau yang terlibat dengan tembang-tembang dari penjara Pekambingan-Denpasar.
Sebagai pengantar diskusi, film tersebut membantu peserta dalam melihat seni sebagai media ekspresi, namun dapat juga menggambarkan situasi masyarakat pada periode tertentu. Hal serupa ditunjukkan oleh salah satu intelektual pada pertengahan abad ke-20, yakni Putu Shanty. Diskusi pada pertemuan ini juga berangkat dari artikel “The Social Realist Stories of Putu Shanty as Historical Record: Balinese Culture and Indonesian National Politics in the 1950s” karya I Nyoman Wijaya, I Nyoman Darma Putra, dan Adrian Vickers, yang memberikan gambaran atas kebudayaan Bali dan situasi politik Indonesia pada tahun 1950-an.
Kelas Wacana Mulawali yang diadakan oleh Mulawali Institute, Maret 2023 | Foto oleh Amrita Dharma Darsanam
Selama berjalannya diskusi pada Kelas Wacana Mulawali, baik dari Mulawali Institute ataupun partisipan yang hadir turut aktif bertukar gagasan. Menariknya, selain memberikan wawasan baru terkait masing-masing topik, pemateri selalu menyisipkan lelucon dan pertanyaan-pertanyaan kritis yang membuat partisipan menjadi lebih santai sambil membahas hal-hal yang serius.
Di samping itu, diskusi semakin seru dengan kehadiran partisipan dengan latar belakang yang beragam, baik dari pelaku seni hingga pelajar. Para peserta berpartisipasi memberikan pandangan berdasarkan pengalaman masing-masing. Hal tersebut menjadi nilai tambah selama mengikuti kelas ini, karena beragam insight baru yang disampaikan oleh para peserta.
Tentu dalam pelaksanaannya, kegiatan ini tidak luput dari beberapa kekurangan seperti situasi pencahayaan yang menjadi kendala penampilan video pada skema kelas I. Namun, hal tersebut, tak menyurutkan atensi seluruh partisipan dalam menyimak materi yang diberikan. Selain menjadi ajang belajar terkait dengan konsep kekuasaan dan sisi lain dari pertunjukan, salah satu partisipan juga menyebutkan bahwa kelas ini menjadi wadah untuk membangun inspirasi dalam menciptakan karya baru. [T]