AKU TERTARIK untuk mempelajari dunia pisikologi—walaupun sebenarnya basicku sejarah. Asyik aja menurutku kalau kita memiliki basic keilmuan dari berbagai macam bidang—apalagi kalau kita ingin menjadi orang yang berguna di masyarakat yang kompleks, menurutku tak cukup hanya satu bidang keahlian.
Aku mulai mengeluti psikologi saat Pandemi Covid-19, saat aku gabut dan bingung mau melakukan apa. Atas dasar itulah aku mulai mengulik beberapa buku (pdf) yang aku dapatkan dari internet, tentu juga jurnal, artikel, dan video pembahasan pisikologi.
Sampai akhirnya aku bertemu dengan teman-teman online yang memang satu frekwensi, yakni orang-orang yang memiliki minat menjadi “seorang tenaga amatir mental health counsellor”.
Dari sanalah akhirnya aku memutuskan untuk bergabung dalam sebuah komunitas maya (online) yang menawarkan jasa secara sukarela terkait dengan konsultasi kesehatan mental. Secara umum, si, komunitas itu mendorong siapa pun supaya untuk tetap memiliki semangat hidup, atau paling tidak, mereka tak merasa sendirian.
Di grup itu, kami saling memotifasi untuk terus hidup dan tidak sungkan saling merekomendasikan, mencari tenaga professional seperti pisikeater dan pisikolog dalam membantu mengurai masalah.
Singkat cerita, setelah sekian lama aku bergabung dan mendapat pelatihan dari senior, akhirnya aku diizinkan untuk dapat memulai sesi praktik lapangan—dan dalam praktik lapangan tersebut, ada beberapa cerita klien yang bagiku sanggat menarik dan agak sayang rasanya kalau tidak aku bagi.
Dan di bawah ini salah satu cerita yang menurutku menarik untuk dibagikan. (Soalnya kisahnya mirip sama kisahku, si. Hehehe.)
Selamat membaca.
***
Kisah ini tentang Roy—tentu saja nama samaran—dan semua cerita dalam tulisan ini berasal dari sudut pandangnya.
Ia mengaku bersal dari Mojokerto dan kuliah di Surabaya. Ia memiliki pacar bernama, sebut saja, Melodi, “seorang gadis cantik, manis, baik, asal Karawang,” kata Roy saat bercerita.
Kisah cinta Roy dan Melodi berawal dari pertemanan yang akrab. Mereka dari satu jurusan yang sama. Sejak ospek, kebersamaan mereka sudah terjalin.
“Ngapa-ngapain bareng: nugas bareng, makan bareng, susah seneng bareng, aku sakit Melodi yang ngerawat, sebaliknya, Melodi sakit aku yang ngerawat. Pokoknya sudah seperti orang pacaran—walaupun di semester satu kami masih belum memiliki hubungan apapun,” kata Roy mengenang.
Akhirnya, atas kedekatan tersebut timbullah rasa suka di antara keduanya. Roy sempat menembak Melodi dua kali, tapi ditolak. Namun, Roy tetap tidak menyerah, sampai percobaan yang ke tiga kalinya, Melodi meleleh dan membalas perasaan Roy dan mereka pun membina hubungan sebagai seorang kekasih dari semester dua sampai semester enam.
Oh iya, btw, sekadar informasi (aku lupa menaruhnya di atas), saat aku bertemu Roy, dia sudah semester delapan sedangkan aku masih semester empat.
Oke, kembali ke cerita. Melodi merupakan pacar pertama Roy. Dan tak butuh waktu lama mereka untuk menjalani hubungan mesra layaknya pasangan suami-istri (mereka ngekost bareng, nugas bareng, apa-apa bareng. Pokoknya, saat Roy butuh Melodi, gadis cantik itu selalu ada. Dan sebaliknya, saat Melodi butuh Roy, ia selalu ada pula).
Berdasarkan kisah Roy, ia mengaku berasal dari keluarga yang broken home. Ia berkisah, orangtuanya menikah muda saat ayah dan ibunya sama-sama baru berumur 18. Kedua orangtua Roy “terpaksa” menikah dikarenakan—mari sama-sama menyebut bahasa keren anak zaman sekarang—MBA (Married by Accident).
Jadi, kedua orangtua Roy yang saat itu belum matang secara emosional—dikarenakan masih SMA kelas 3 awal—mau tidak mau harus menikah dan mengemban tanggung jawab sebagai seorang ayah-ibu dan suami-istri.
Saat Roy menginjak usia 9 tahun, mereka berdua bercerai. Hal itu mengakibatkan suasana di rumah Roy menjadi bagai neraka, tiada hari tanpa mendengar suara cekcok dua anak labil yang terperangkap dalam tubuh orang dewasa itu.
Dalam suasana keluarga yang rusak tersebut, Roy kemudian dipasrahkan kepada nenek dari ayahnya. Ibunya pergi ke luar negeri dan menghilang tanpa kabar—bahkan ada yang bilang kalau perempuan itu sudah menikah dan punya anak dengan orang lain di luar negeri tanpa sepengetahuan keluarga besarnya.
“Sedangkan ayah terpaksa merantau ke Papua untuk menghidupi nenek dan diriku,” kata Roy.
Hal ini berakibat pada kehidupan Roy kecil-remaja, yang sangat kesepian tanpa sentuhan dari sosok ibu dan ayah. Ia tumbuh menjadi anak yang minderan.
Berbeda jauh dengan Melodi, gadis manis yang berasal dari keluarga cemara—yang ayah sanggat baik, family man, ibunya penyayang dan selalu welcome dengan orang-orang baru yang mereka rasa baik untuk ke empat anaknya.
Dengan latar belakang keluarga Melodi yang baik-baik begitu, sebenarnya sejak awal Roy ragu, apakah ia akan diterima di keluarga cemaranya si Melodi? Mengingat, Roy lahir dari background keluarga yang sudah sanggat berantakan—dari keluarga cemara busuk, mungkin. Wkwkwk.
Namun, dasar nasib baik, ternyata Roy diterima dengan sanggat baik oleh keluarga Melodi di Karawang, saat beberapa kali ia berkunjung ke sana. Roy diperlakukan seperti anak sendiri—dan dari sana ia mendapat pelajaran bagaimana cara berkomunikasi dengan lawan jenis, cara berkomunikasi antara ayah dan anak. Tak jarang Roy diajak keluar bareng libuaran ke beberapa tempat wisata.
Tidak sampai di situ, Roy diajari cara menyetir mobil oleh ayah Melodi. Mereka ngerokok bareng sambil ngopi di teras rumah, bercanda-canda ala bapak-anak, bicara bisnis, ekonomi, kehidupan dan nostalgia masa lalu ayah Melodi. Sebuah pola interaksi yang Roy ingginkan sejak dulu—yang tak pernah ia dapatkan dari ayahnya.
Hal itu membuatnya sanggat bahagia dan merasa memiliki gairah hidup untuk memperjuangkan kuliahnya hingga menjadi orang yang pantas untuk Melodi. Dan keakraban itu berlangsung cukup lama, dari semester empat sampai awal masuk semester enam. Hingga tragedi itu pun terjadi.
***
12-03-2020, Roy mencatat, pertengahan semester enam, beredar surat pengumuman dari rektorat universitas tempat ia berproses, bahwa pembelajaran akan dilakukan secara online dalam rangka pencegahan penyebaran Pandemi Covid-19.
Roy dan Melodi terpaksa pulang ke tempat masing-masing. Roy kembali ke Mojokerto sedangkan Melodi kembali ke Karawang.
Dari sinilah bencana itu terjadi. Bulan April, kata Roy, hubungan mereka masih baik-baik saja—bahkan mereka masih sering berhubungan via VC. Saat hari raya, mereka masih saling mengucap maaf-maafan. Saat itu Melodi masih se-humble yang dulu, tak ada yang berubah.
Tapi, saat masuk hari raya Idul Adha, semuanya berubah. Melodi semakin sulit dihubungi; semakin ilang-ilangan, chat juga jarang dibalas, hingga muncul keraguan di hati Roy terkait masa depan hubungan mereka.
Karena penasaran, Roy memutuskan untuk membuat sebuah akun palsu di Instagramnya, untuk memantau perkembangan Instagram Melodi (hal ini di lakukan Roy karena Instagram Melodi berubah. Melodi menghilangkan semua foto-foto di feednya, dan hanya menyisakan sorotan cerita dan foto profilnya saja—bahkan sorotan cerita yang dulu ia arsipkan bersama Roy juga tidak ada).
Roy kemudian mengaku sebagai teman SMP Melodi yang sering di ceritakannya dulu—yang sekarang merantau ke Kupang mengikuti ayahnya.
Dan, bom itu meledak, Roy melihat story IG yang di sembunyikan Melodi, ia sering keluar dengan seseorang pria yang jauh lebih tampan, kaya dan gagah daripada si Roy—yang “cuma modal pinter doang dan IPK tinggi, kaya juga kagak, tinggi juga enggak. Cuma modal Jupiter MX butut itu aku nekat buat mendekati cewek secantik dan seberada Melodi,” katanya dengan berat.
Dalam masa pemantauannya, akhirnya Roy mengetahui bahwa si Melodi memang dekat dengan seorang abdi negara. Ah, sampai di sini, saat mendengar cerita Roy, dalam hatiku berkata, “Anjir, kok mirip ceritaku, ya?”
Dan setelah mengetahui hal itu, dengan sedikit nekat, Roy mulai menabung untuk biaya transportasi ke Karawang, rapid (fuck) antigen (yang saat itu masih 500 ribuan), dan, tentu saja, biaya makan.
Sebenarnya, saat itu kondisi nenek Roy kurang sehat. Beberapa waktu belakangan neneknya mulai sakit-sakitan karena usia yang sudah hampir kepala delapan. Tapi, demi menyelesaikan masalahnya, layaknya lelaki sejati, Roy tetap membulatkan tekat untuk berangkat ke Karawang dengan uang hasil kerjanya di depo air isi ulang (kata Roy uang itu hanya cukup untuk pulang pergi saja).
Roy mengunjungi rumah Melodi di Karawang. Tetapi Melodi melarangnya. Ia mengajak Roy untuk ketemuan di luar. Padahal, Roy sanggat ingin bertemu dengan ayah Melodi, tapi, Melodi mencegahnya dengan berbagai alasan: “Pandemilah, jaga jaraklah, dan berbagai hal yang memupuskan harapanku,” ujar Roy kesal.
Setelah mendengar cerita Melodi, dugaan Roy benar, Melodi memang sudah punya pacar sejak SMA. Melodi hanya menjadikan Roy sebagai teman sepinya di masa kuliah. Dan ini yang lebih menyakitkan, sebenarnya alasan awalnya Melodi menolak Roy adalah mempertimbangkan pacarnya di kampung halaman tapi saat itu Melodi tidak enak kalau mau menolak kesungguhan Roy.
Seketika itu hati Roy hancur. Ia seakan di bunuh oleh ekspektasinya sendiri. Hal-hal yang mereka lalui di perantauan ternyata tak lebih dari omong kosong belaka, segala hal yang sudah mereka lakukan bersama, yang sudah mereka bangun dan lalui, hancur seketika.
Namun, anehnya, dalam masalah itu, Melodi justru menyalahkan Roy karena memaksanya untuk menjadi pacar Roy dan menyalahkannya dikarenakan jarang ada buat Melodi.
Ya, sejak saat itu mereka memutuskan untuk mengakhiri hubungan. Sepanjang perjalanan Roy menanggis, dan hanya mematung terdiam tanpa berbicara sepatah kata pun. Ia membayangkan hal yang diimpikannya hancur berkeping-keping di depan matanya sendiri. Ia bingung bagaimana caranya untuk kembali memunculkan gairah dalam hidupnya.
Roy semakin nelangsa, di tengah keterpurukanya, ia mendapati neneknya—orang pertama yang sanggat ia sayangi—meninggal karena sakit. Hal ini semakin membuat Roy terpukul. Segala impian untuk membalas jasa nenek yang telah membesarkannya selama ini, pupus bersama impiannya untuk membina hubungan dengan Melodi.
Hati Roy hancur tanpa sisa—dan itulah titik terendah dalam hidupnya.
***
Pemuda itu menjadi pribadi penyendiri, kesepian dan jarang berkomunikasi (berinterkasi) dengan dunia luar. Seringkali ia merasakan sesuatu hal yang aneh, tapi, di samping itu, ia juga merasa memiliki gairah yang lebih untuk menjalani hari.
Dan ini, skizofrenia, ia sering mendengarkan suara-suara yang menyuruhnya untuk melakukan sesuatu bahkan suara yang menyuruhnya untuk mati. Tapi, syukurnya, ia mencoba denial dan menganggap itu hanya suara jin yang ingin mengusiknya.
Roy seorang introfert yang jarang keluar rumah. Di kampung halamannya, ia jarang memiliki teman. Sejak saat itu, Roy semakin menunjukan keanehan di mana saudaranya sering melihatnya berbicara sendiri. Tetapi, menurut pengakuannya, ia tak sedang berbicara sendiri; ia sedang berbicara dengan teman-temannya—yang selalu setia menemaninya di waktu sepi, katanya.
Om-nya, adik dari ayahnya, dan ayahnya sendiri, atas kejadian itu, berinisiatif untuk membawanya ke polijiwa di salah satu rumah sakit terkenal di Mojokerto. Tapi, sebenarnya Roy tidak merasakan sakit apapun, ia menurut atas desakan ayahnya.
Diagnose dokter sudah keluar. Tetapi, Roy memutuskan untuk melakukan rawat jalan dan tidak tinggal di rumah sakit—karena Roy juga tak mau berlama-lama ada di sana. Tak masalah, kata dokter, yang penting, selama masa perawatan, Roy harus rutin meminum obatnya.
“Ini apaan anjir, orang aku enggak ngerasa sakit apa-apa, kok,” pikir Roy.
Ya, ia merasa tidak ada keanehan yang berarti dalam dirinya. Hanya saja, mungkin keanehan yang ia rasakan, ia sering kehilangan kesadaran atas sesuatu, sering linglung dan melakukan sesuatu secara acak dan tidak jelas, itu semua di luar kontrolnya.
Ia masih sering mendengar suara-suara. Saat ia di kamar mandi, misalnya, ia serasa melompati waktu dengan jam yang berbeda, tiba-tiba berada di pinggir jalan yang ia tidak tahu di mana. “Itu saja yang aku rasakan,” akunya. Dan ia benci kalau tetangga dan orang di sekitarnya, menganggapnya sebagai “orang gila”.
Tapi, di dalam masa yang kata orang-orang ia sakit, ia justru sangat suka. “Soalnya banyak teman baru yang menghampiriku,” katanya. Teman-temannya yang entah siapa itu, selalu mengajak ngobrol, membicarakan sesuatu yang asyik-asyik layaknya mahasiswa filsafat. Kadang mereka berbicara tentang agama, teori konspirasi, dan banyak hal—dan itu malah menjadi support sistemnya yang membuatnya benar-benar ada dan kembali merasa hidup.
Kemudian, dalam fase itu, Roy berkenalan dengan seorang gadis bernama Lia.
***
Roy bercerita:
“Gadis cantik itu—walau tak secantik Melodi, si—dengan suara halus dan pembawaannya yang hangat, membuatku tertarik,” ucap Roy. Tetapi, dikarenakan traumanya pada Melodi, Roy masih ragu untuk mau berhubungan dengan Lia.
Namun, cara Lia memperlakukannya memaksanya untuk membuka hati dan menutup luka yang masih belum sepenuhnya sembuh itu. Lia berbeda dengan melodi, katanya. “Ia merupakan cewek yang asyik dan ia sebaya denganku,” lanjutnya menjelaskan. Dalam hal mendengarkan, Lia tentu lebih baik daripada Melodi.
Lia dan Roy sering bermain bersama di taman bermain. “Lia suka main komedi putar bersamaku—walau ia tak pernah mau aku belikan makanan dengan alasan sudah makan dari rumah,” kata Roy mengenang.Ya, yang jelas, sejak ia kenal Lia dan teman-teman barunya yang sering main ke rumahnya; yang selalu mensuportnya dalam menghadapi kerasnya hidup, ia merasa lebih menjadi manusia.
Saat bercerita dengan Lia di ruang tamu, Roy selalu menunjukkan kemanjaanya kepada Lia. Ia senang menidurkan kepalanya di pangkuan Lia dan Lia segera memijat kepala Roy. Roy berkeluh kesah kepada Lia terkait keluarganya yang akhir-akhir ini agak keras dan selalu memarahinya tanpa tahu alasannya. Sebenarnya Roy tidak betah dan ingin pergi dari rumah, tapi Lia selalu mencegah dan memintanya untuk sabar.
Roy memegang wajah Lia dan mengucapkan, “Li, aku sekarang cuti kuliah. Kata ayah aku masih sakit. Tapi, nanti kalau aku sudah sembuh, aku janji, bakal segera ngurus wisudaku dan kita nikah, ya. Aku ngga mau menyia-nyiakan orang sebaik kamu—yang selalu ada buat aku, orang yang udah bikin hari-hariku semakin berwarna dan membuat aku bisa bangkit dari keterpurukan. Aku janji, Li, sumpah.”
“Iya, Roy, iya. Makanya kamu jangan bandel kalau di suruh minum obat,” jawab Lia sambil tersenyum. Mereka melanjutkan obrolan deep talk sebagaimana biasanya.
Roy semakin rutin meminum obatnya—obat resep dari dokter. Ia nggak nakal seperti dulu, di mana awal-awal ia sering membuang obat—yang diselipkan ayahnya dalam makanannya—ke tempat sampah. Sekarang ia dengan sadar meminum obat tersebut bahkan tanpa perintah ayahnya.
Dan kian waktu kondisinya semakin membaik. Keanehan-keanehan yang ia rasakan semakin jarang terjadi, misalnya, mendengar suara atau berpindah tempat dan waktu tanpa ia sadari. Tetapi, semakin ia sering meminum obatnya, teman-temannya semakin jarang main ke rumah, menjenguk dan berbicara dengannya, termasuk juga Lia—yang karena alasan pekerjaan, sekarang Lia semakin jarang datang ke rumah Roy.
Sontak, trauma Roy kepada Melodi kembali muncul. Ia kembali membuat akun palsu untuk “memata-matai” IG Lia. Tapi, anehnya, ia tidak bisa menemukan akun IG Lia. Ia curiga, apakah akunnya sudah di blokir oleh kekasih barunya itu? Maka saat itu juga ia mengamuk di rumah sembari berteriak, “Lia mana? Lia mana?” sembari mengacak-acak barangnya yang ada di rumah.
Ayah dan pamannya menenangkannya. “Iya iya, besok bapak panggilin Lia, hari ini kamu tenang dulu!” Ayahnya memberikannya obat penenang dan mengurungnya untuk tidur di kamar.
Keesokan harinya, secara ajaib, Lia datang ke rumah Roy dengan muka cemberut. Ia buru-buru menemui Roy dan pemuda itu menyambutnya dengan sumringah—dengan sambutan sebagaimana orang yang rindu sudah sejak lama tidak bertemu.
Tapi, anehnya, bukannya membalas pelukan Roy, Lia malah menamparnya sembari berkata, “Kamu ini ngapain aja, sih? Baru ditinggal bentar aja udah kayak anak kecil, ngamuk-ngamuk, nggak mau minum obat, banting barang-barang rumah. Udahlah, Roy, jangan gini lagi; jangan bikin aku measa bersalah.”
“Aku nggak apa-apa, Li. Aku hanya merasa, sejak minum obat itu, temen-temenku, termasuk kamu, jarang ke rumah lagi. Aku merasa kesepian. Aku nggak punya tempat sharing, udah ngga ada lagi. Kamu juga jarang ke rumah, aku takut kalau kamu bakal ninggalin aku dan ilang kayak Melodi dulu,” jawab Roy sambil menunduk.
Sambil tersenyum dan memegang wajah Roy yang tertunduk, Lia menghadapkan wajah Roy ke wajahnya dan menatapnya. “Enggak, Roy, aku bakal tetep ada buat kamu, kok. Aku bakal selalu ada di sini, dalam keadaan apapun. Tapi, kamu juga harus tahu kondisiku sekarang, kita udah dewasa dan kamu nggak boleh egois. Aku sekarang kerja, Roy.”
“Tapi, Lia…” Belum sempat Roy meneruskan kata-katanya, Lia memotongnya, “yang terpenting sekarang kesembuhan kamu Roy. Kamu nggak boleh egois, ada hal yang harus kamu gapai dan kita berdua sama-sama berproses. Aku berproses buat kerja dan kamu berproses buat sembuh—ayolah…. Roy hebat, pasti bisa yuk!”
Roy memberanikan diri untuk menatap mata Lia setelah menunduk dan mulai bisa tersenyum. “Tapi, kamu janji ‘kan, kalau aku mulai rutin minum obat lagi, kamu dan temen-temenku nggak bakal ninggalin aku?”
Lia memeluknya. “Kamu ini ngomong apa, Roy? Aku pasti nggak bakalan ke mana-mana, kok. Aku bakalan tetap di sini—buat kamu,” kata Lia, sembari tersenyum.
Mereka berpelukan. Roy kembali merasakan kehangatan dan gairah untuk sembuh dari sakitnya. Ia kembali rutin meminum obatnya dan mulai bisa menjalani hidupnya tanpa ada gangguan dari suara-suara aneh dan lompatan waktu yang tidak ia sadari.
Semua itu berlangsung kurang lebih setahun.
***
12-12-2021, Roy mencatat, ia sudah didiagnose sembuh oleh dokter. Dan kali ini ia sudah tidak melakukan perawatan rutin dengan obat-obatan lagi. Ia melakukan aktifitasnya secara normal, tidak seperti dulu. Ayahnya sudah mengizinkannya untuk mengendarai motor kembali dan ia sudah bisa melanjutkan kuliahnya.
Sejak ia sembuh, teman-temannya sudah tidak pernah main lagi ke rumahnya , termasuk Lia—“Ia menghilang,” katanya.
Hingga suatu ketika, Roy kembali mencoba memulihkan kesadarannya, akal sehatnya, dan ia menyadari, teman-temannya termasuk Lia, hanya ada dalam kepalanya, imajinasinya sendiri—yang ia buat seolah nyata.
Ia sudah tidak bisa lagi bertemu dengan sosok Lia. Beberapa kali ia mencari di IG, dengan harapan, Lia benar-benar ada di dunia nyata. Tapi, itu tidak membuahkan hasil apapun. Ia berterima kasih kepada sosok Lia (yang tak nyata), seseorang yang selalu mensuportnya dalam kondisi terpuruk dan di saat orang lain menganggapnya sebagai orang gila.
Sekarang Roy sudah bisa menikmati hidup dengan normal dan melanjutkan kuliahnya hingga selesai. Ia wisuda saat aku memasuki semester enam. Dan kabarnya, sekarang ia bekerja di salah satu tempat fotocopy dan warnet—tempatnya dulu saat menyelesaikan tugas kuliahnya bersama Melodi.
Ini bukan cerpen. Bukan pula fiksi. Ini kisah nyata.
Aku ingin sampaikan kepada pembaca, jagalah perasaan orang lain, orang di sekitarmu, dan jangan mengorbankan orang lain demi kebahagiaan sesaatmu—karena kamu juga nggak tahu kondisi orang dengan berbagai latar belakang di hidupnya.
Buat Roy, terima kasih untuk ceritanya. Entah kamu baca tulisanku atau tidak, tetapi, sekali lagi, aku berterima kasih dan merasa beruntung pernah bertemu orang sepertimu—yang tetap tegar dalam menjalani hidup; dalam segala situasi, kamu memberiku banyak pelajaran.
Aku doakan, semoga usahamu lancar, ya. Ingat, ada lele di rumah yang harus kamu kasih makan. Jangan ngrepotin pamanmu terus! Wkwkwkwk. Salam dari aku, Dika Leviathan.[T]