POHON WARU yang cukup besar seperti menari-nari saat diterpa angin, daun-daun yang berguguran membuat angina dan tanah berbahagia akan hari itu. Di sisi teluk, tepat di Selat Bali, dari kejauhan kapal-kapal ferry terlihat lalu-lalang. Kapal-kapal itu terlihat lumayan kecil dari pohon waru.
Senja juga sudah menampakkan keindahannya. Namun tak seindah perasaan dua orang yang sedang duduk di bawah pohon itu. Mereka tidak mengucapkan sepatah katapun. Setiap hari memang ada saja orang-orang yang sengaja menyendiri, sedang membuat janji atau sedang menangis dan duduk bersandar di bawah pohon itu. Mereka mencurahkan suka dukanya pada batang pohon, pada akar, atau pada daun-daunnya yang rimbun.
Pohon itu tumbuh sendiri, di sekitarnya hanya ada padang savana. Di teluk itu, pohon waru tumbuh di atas karang yang dihiasi lumut-lumut.
Tak jarang para nelayan dan beberapa orang singgah hanya untuk berteduh di bawahnya. Kadang saat air laut pasang, akar-akar pohon itu selalu dipenuhi air. Kadang pohon itu seperti ingin terbawa arus air. Tetapi, untungnya karang-karang ini selalu setia menjaga. Beberapa kali ombak pasang menerjang, kadang membawa pasir-pasir laut sehingga menutupi karang di bawahnya lalu ditumbuhi rumput-rumput liar.
Saat karang tepat di depannya hilang ditelan pasir, setelahnya orang-orang datang berbondong-bondong untuk duduk di bawah pohon waru itu. Daun yang rimbun seakan membawa harap untuk mereka, menikmati senja dan seakan melepas kepergian seseorang.
Dari orang-orang yang datang ke sini, kedua orang itu selalu datang setiap hari. Mereka kadang bahagia, tertawa dan selalu bercanda, lalu pulang dengan rasa bahagia. Kadang salah satunya bersedih entah kenapa tepat saat duduk di bawah pohon waru. Mereka adalah orang yang paling sering berkunjung ke sana.
Tapi saat ini, suasana tampak tak begitu mengenakkan. Mereka berdua biasanya terlihat baik-baik saja, bercengkrama, tertawa lalu berlarian di sekitaran padang rumput di atas karang sana lalu kembali duduk di bawah pohon waru. Tapi kali ini, isak tangis mereka berdua seakan mengalahkan bunyi-bunyi kapal dan jukung yang berlayar entah ke mana.
“Jadi mau bagaimana, Ingkar? Aku tak dapat memaksa lagi,” ucap pria itu sembari menunduk.
“Tak ada yang pernah memaksa, Raga. Kita berdua saja yang berusaha memaksa hubungan ini,” ucap Ingkar menangis.
“Aku memaksa, Ingkar. Memaksa kebahagiaanmu yang seharusnya dimiliki lelaki yang pantas.”
“Kau lelaki yang pantas itu.”
“Iya bagi dirimu, tidak bagi orang tuamu.”
Raga menahan tangisnya yang sedari tadi seperti ingin ia keluarkan, sedangkan Ingkar masih saja terisak-isak. Mereka tak saling bercakap kembali. Raga lalu memandang laut Selat Bali, linangan air terlihat sangat jelas di matanya. Napasnya juga tak beraturan, seperti sesak yang tak kunjung usai.
“Entah kapan lagi kita akan menikmati senja yang indah ini, Ingkar,” ucap Raga membuka percakapan kembali.
Ingkar tak menyahuti perkataan Raga, ia masih saja tenggelam dalam tangisannya.
“Kita sudah tidak bisa lagi bersama, jika ayah dan ibumu juga tak menginginkan aku, Ingkar.”
“Aku juga tak merestui perjodohan ini, Raga. Aku mengutuk mereka!”
“Itu keputusan orang tuamu. Jangan membuat karmamu sendiri, Ingkar.”
“Mereka yang membuat karma itu. Bukan aku, bukan aku!” teriak Ingkar dalam isaknya.
Setelah percakapan yang melelahkan dan tangis yang tak kunjung usai, mereka saling memeluk satu sama lain. Sembari mengelus kepala Ingkar, Raga akhirnya menangis. Menangis di dalam pelukan Ingkar yang hangat, untuk terakhir kalinya.
“Setelah ini kita tak lagi bertemu, Ingkar,” ucap Raga sembari memeluk Ingkar.
“Sampai kapanpun kita tak terpisahkan, Raga. Tak akan. Apapun yang terjadi setelah ini.”
“Tapi bagaimana dengan orang tuamu itu?” Raga melepas pelukannya.
“Aku tak perduli lagi. Biarlah mereka tersiksa nasib.”
“Tapi kau harus turun kasta jika bersamaku. Itu akan memunculkan amarah keluarga besarmu.”
“Aku tegaskan lagi, Raga! Kita tak akan terpisahkan!” ucap Ingkar dengan muka yang sangat tegas kala itu.
Matahari semakin terbenam, mereka tak juga kunjung beranjak. Tak ada penerangan, hanya cahaya bulan yang segera menerangi mereka. Raga dan Ingkar mulai meredam tangis, mereka menari dalam kegelapan yang indah kala itu. Mereka menari, saling memeluk, kadang mereka tertidur di bawah pohon itu, kadang Raga menari di atas Ingkar begitu sebaliknya.
Mereka memuaskan setiap cinta untuk terakhir kalinya. Tanpa terlewat sedikitpun. Setiap cengkraman cinta-cinta itu ditumpahkan di bawah pohon Waru.
Pohon waru yang kokoh itu daunnya mulai bergoyang diterpa angin malam dari arah laut, seperti ikut menari bersama mereka. Dua orang yang menuntaskan cintanya dan pohon waru yang ikut senang dengan mereka. Tak lama kemudian, Ingkar kembali menangis. Ia menangis terisak di atas badan Raga.
“Kita tak akan berpisah, Raga!” kata Ingkar sembari menangis.
“Mari tuntaskan, Ingkar.”
“Kita tak akan terpisah.”
“Ya! Aku tahu. Kita tak akan terpisah,” kata Raga.
Ingkar masih terisak dalam tangis, kemudian Raga mencoba menenangkannya. Sembari mengelus rambut lusuh Ingkar, Raga kembali mengungkapkan cintanya. Mereka kembali menari-nari dalam bayang bulan yang sedemikian terang. Angin bertiup semakin kencang, Pohon waru itu melambai ke sana kemari seperti mengikuti tarian Raga dan Ingkar. Mereka masih menari, menarikan cinta-cinta mereka. Hingga malam tak terasa semakin larut.
Jukung-jukung nelayan terlihat dari kejauhan dengan lampu kunang-kunangnya. Ada yang sudah mulai menjala dan baru berangkat dari tepian. Saat fajar sudah mulai menampakkan dirinya, nelayan-nelayan itu bergegas menarik jala dan mengarahkan jukung-jukungnya untuk kembali ke tepi. Membawa sedikit harap agar ikan-ikan yang ditangkap bisa dijual setelahnya.
Beberapa nelayan juga tak langsung pulang ke rumah, tapi ada yang ingin bercengkrama dengan nelayan lainnya di bawah pohon waru. Karena dari sana, mereka dapat melihat keindahan teluk dan Selat Bali yang selalu mereka hampiri untuk menjala.
Pagi itu, salah seorang nelayan heran karena banyak orang berkerumun di sekitar pohon Waru itu. Tak seperti biasanya pohon itu dikerumuni banyak orang, biasanya hanya satu atau dua orang saja. Nelayan itu mendekat ke kerumunan.
Sampai di sana ia terkejut, seorang pria dan wanita sudah tergantung lemas di pohon waru itu. Mereka masih saling berpegangan tangan sangat erat dan tak memakai sehelai pakaianpun.
Dari kejadian yang menggemparkan itu, pohon waru yang kokoh di sisi teluk dipotong oleh nelayan karena dianggap sudah leteh. Tak ada lagi tempat untuk menikmati keindahan teluk senja dan Selat Bali. Tak ada lagi pohon untuk nelayan berteduh dan tidak ada lagi pohon Raga dan Ingkar untuk menikmati cinta. [T]