Tulisan ini adalah semacam pidato kebudayaan atau semacam kredo berkesenian dari seniman yang berproses kreatif dalam circle Komunitas Mahima. Disampaikan dalam acara Mahima March March March — HUT Komunitas Mahima 2023
[][][]
BAGAIMANA KAMU memulai harimu? Adakah dengan pertanyaan? Semisal “Siapa yang akan membuatkanmu kopi?” atau “Mengapa kita harus bangun pagi?” “Mengapa kita harus bekerja?” “Mengapa kita harus beranjak dari selimut?” Pertanyaan-pertanyaan semacam itu kerap menjadi rutinitas menjelang pagi di rumah belajar Mahima.
Kebiasaan-kebiasaan kecil yang membahagiakan itu kami mulai menjelang pagi. Paling awal pukul 8 malam. Sesudah berpeluh dengan aktivitas kampus, kami semakin diliputi banyak pertanyaan yang tak bisa kami ajukan di ruang kelas. Pertanyaan tersebut mungkin akan tampak bodoh dan tidak intelektual. Maka kami membawa pertanyaan-pertanyaan (yang kami pikir) kontemplatif ke lingkaran diskusi di Pantai Indah.
Sewaktu kecil saya selalu dimarahi karena terlalu banyak pertanyaan, sampai dijuluki ‘tukang melawan’ sebab rasa penasaran ini tidak bisa dibendung. Menginjak dewasa, kawan saya berkata “Tidak perlu bertanya dengan ‘kenapa’, jalani, dan terima. Tidak semua hal penting dipertanyakan. Tidak semua orang senang mendengar pertanyaanmu.” Saya terdiam, tertegun, kata-kata itu sangat dalam. Kemudian, mereka meninggalkanku, tentu dengan harapan aku tak perlu mempertanyakan alasan kepergiannya.
Setelah cukup lama berpikir tentang hal itu, saya menyimpulkan bahwa, bila khusyuk menelusuri pertanyaan, maka bisa diketahui apa yang sebenarnya orang tersebut hadapi, hal-hal yang membentuk emosinya, dan kita bisa tahu jendela jiwanya. Dengan pertanyaan-pertanyaan itu, seseorang tengah melatih diri menjadi manusia. Maka, untuk kali pertama di tahun 2012 saya merasa aman dan nyaman bertanya apa saja kepada kawan-kawan di Mahima, khususnya kepada Pak Made Adnyana Ole, dan Bunda Sonia Piscayanti.
Pertanyaan kami kadang hanya seperti “Kenapa mie kuah porsinya jadi lebih banyak jika dimakan ramai-ramai?” atau kadang cukup filosofis “Apa pentingnya sastra bagi manusia?” “Kenapa kita begitu gawat membicarakan kebudayaan?” Kadang sedikit nyentrik “Kenapa teater tidak lebih populer dibandingkan senam zumba?” Kami tentu memberikan ruang bagi jawaban-jawaban, tapi sesudahnya, justru bermunculan pertanyaan baru, seolah tidak pernah puas dengan satu kesimpulan.
Bagi saya, merumuskan pertanyaan tidaklah mudah. Ada dentuman kritikan dan percikan pemikiran yang perlu saling tawar-menawar. Ini bukan tentang sintaksis atau ilmu linguistik yang sistematis dalam teknik pembuatan pertanyaan. Melainkan, gabungan-gabungan perasaan penasaran yang mengontruksi mental manusia.
Dalam alam pikir berkomunitas, Mahima tentu melakukan fotosintesis intelktual—mengutip Socrates. Keingintahuan, keajaiban, keheranan, ketakjuban anak-anak kuliah akhirnya dapat tersalurkan dengan harmonis. Kami berfokus pada proses mental kami, sebuah kegelisahan yang mampu didiskusikan sambil minum kopi, dan makan ote-ote.
Tentu kami sedang mengalami pertanyaan-pertanyaan kami, tapi apakah benar ini kebahagiaan yang kami cari? Kebahagiaan itu produk sampingan yang tidak pernah berupa tujuan. Kebahagiaan adalah rezeki besar yang tak disangka-sangka, dari kehidupan yang dijalani dengan baik, ujar Eric Winer.
Dari proses itu, saya menyakini bahwa hal yang sublim adalah menyadari realitas batin. Sehingga, saya mampu menghargai setiap pertanyaan yang diajukan pada saya. Sebelum membalikan kartu-kartu tarot, klien saya memiliki banyak kegelisahan dan menghujani saya dengan banyak pertanyaan. Semisal “Apakah saya akan langgeng dengan pacar saya?” “Bagaimana karir saya tahun depan?” “Apakah mantan saya masih memikirkan saya?” “Apakah dia mencintai saya?” Pertanyaan generik seperti ini paling sering ditanyakan.
Kecemasan kita terhadap waktu nyatanya melahirkan pertanyaan-pertanyaan. Namun, apakah pertanyaan ini bodoh? Pertanyaan bodoh adalah pertanyaan yang jawabnnya sudah kauketahui. Selagi kamu belum tahu jawabannya, makan nilailah realitas batin yang sungguh tengah dialami oleh penaya. Voltarie mengungkapkan bahwa cara terbaik menilai seseorang bukanlah dari jawaaban yang dia berikan melainkan dari petanyaan yang diajukan.
Pertanyaan-pertanyaan bagi saya adalah jalan perenungan terapiutik. Saya tidak bisa membayangkan orang-orang yang tidak pernah terusik untuk bertanya. Seolah mereka tidak ada waktu untuk mengurai emosi, isi hati, dan lompatan pikiran. Akankah sebuah penerimaan itu kita maknai seperti “Yasudah, memang begitu, terima saja” atau “Saya empati, saya paham relitas ini, mari kita terima dengan bijaksana sebagai sebuah kesadaran”. Keduanya beda tipis. Namun, sangat berdampak jika kita ingin membantu para psikiater dan psikolog dalam menangani kasus kesehatan mental.
Sebagai orang dengan bipolar (ODB), saya memiliki banyak pertanyaan kepada psikolog dan psikiater saya. Semisal, “Mengapa saya mengalami depresi berkepanjangan?”, “Apakah amigdala saya sangat rapuh?” “Apakah ini iluisi atau hanya kelebihan serotonin?” “Mengapa saya mendengar suara-suara aneh ini?”. Semula saya cukup pesimis karena psikolog klinis di Bali hanya 109 dan Bali kekurangan 395 psikiater.
Sebesar 0,23 persen dari 4 juta warga Bali merupakan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Bali menduduki peringkat ke-empat di Indonesia sesudah Yogyakarta, Aceh, dan Sulawesi Selatan. Sekitar 10.000 orang Bali mengalami gangguan jiwa berat. Hal tersebut dipengaruhi oleh kurangnya dukungan sosial dari keluarga atupun dari lingkungan. Banyak masyarakat masih beranggapan bahwa ODGJ sebagai sosok yang penuh noda dan dosa, sehingga masyarakat menjadi menghindar dan takut.
Perlakuan diskriminatif seperti ini tidak akan dirasakan di lingkungan Mahima. Pak Ole dan Bunda Sonia berhasil membuat ruang terapiutik. Justru kegelisahan dan rasa penasaran tersebut yang lebih direkomendasikan berproses di Mahima. Saya mendapat ruang aman bagi kegelisahan saya ketika mampu menuangkannya dalam karya untuk menemukan kesejatian. Tentu Pak Ole dan Bu Sonia menyarankan agar saya tetap mindful dan gangguan bipolar ini, harus dimanfaatkan sebagai alat untuk mengasah ketajaman berkarya.
Maka karya-karya saya juga tertuang dalam bentuk arketipe tarot. Rancangan berkesenian tarot saya banyak terinspirasi dari struktur bertutur dan melantur di Mahima. Saya bersama beberapa kawan merancang tarot sebagai pemaknaan terhadap pertanyaan yang berwujud karya seni; taeter, puisi, ilustrasi, instalasi, dan musik. Bahkan lebih mengkhusus, yakni melalui pendekatan teknik tarot, berupaya mengasah daya cipta seni anak-anak dengan spektrum autisme.
Justru berangkat dari pertanyaan-pertanyaan yang dimiliki anak-anak, atau relung inner child kita, maka tentu kita akan sampai pada kesejatian. Tanpa kita bisa menghargai pertanyaan, maka keajaiban, kebijaksanaan, dan kemuliaan akan kabur terlihat. Sampai mana batas kita menguji keyakinan ini? Sampai batas mana kita mampu mengatur kartu-kartu mukzizat dan keniscayaan?
Apa yang sebenarnya menarik dari tarot? Tentu pertanyaannya. Bukan pada jawaban pembaca tarot. Mengapa? Karena rumusan pertanyaan-pertanyaan dari klien tarot justru membantunya untuk lebih paham dan sadar dengan realitanya kini, bukan selalu tentang masa depan, atau masa lalu. Tarot sebenarnya hanya sebuah cerminan yang dipantulkan oleh alam bawah sadar pada saat kini.
Ketika berfokus pada momen kini, kita sedang menikmati “flow” yang menurut Howard Gardner merupakan keadaan batin yang menandakan seseorang sedang tenggelam dalam kegiatan yang cocok. Maka di Mahima, kami tekun beribadah melalui puisi. Kami sedang dalam status “flow” untuk mengobservasi entitas kami. Kami sedang mensyukuri apa saja yang dikaruniai saat ini. Kemudian perlahan-lahan kecemasan memudar dan kami khusyuk dalam penghayatan.
Saya yakin orang-orang yang kini berproses di Mahima sedang belajar mengobservasi kegelisahan. Ruwatlah pertanyaan-pertanyaan itu menjadi topik yang akan semakin giat dibicarakan dalam lingkaran diskusi, dalam seduhan kopi dini hari, atau pada buku-buku yang berjejer rapi di almari. Lalu, alamilah pertanyaan-pertanyaanmu.
Tidak banyak yang bisa mendengar pertanyaanmu, terlebih tidak banyak orang yang bisa melihat raut mukamu yang penuh pertanyaan. Namun saya yakin, Mahima mampu membuka kartu-kartumu. Menyusun kemungkinan dan menciptakan keajaiban. Tentu, geliat pada ruang kreativitas masih terbentang, tak terhalang apapun yang dimuati dengan arogansi terlebih sensasional puitika. [T]