ORDE BARU TIDAK LAGI bicara orang, sebab Pak Harto sudah lengser. Orde Baru bukan juga bicara organisasi tertentu seperti ABRI dan Golkar. Setelah Soeharto lengser, dua organisasi yang identik dengan Orde Baru itu mengalami dekadensi kekuasaan.
Lalu apa yang harus dimaknai dari Orde Baru? Ya benar, Orde Baru bicara tentang sebuah karakter, sebuah mentalitas yang bisa dimiliki atau diinginkan oleh siapa saja. Lalu dihidupkan bahkan oleh orang atau kelompok yang dulunya melawan dan ikut menumbangkan kekuasaan Orde Baru.
Soeharto dilantik sebagai Presiden RI ke-2 oleh MPR tahun 1966 | Sumber : Grid.Id
Sejarawan sekaligus Indonesianis seperti Benedict Anderson, David Reeve dan Max Lane dalam karya-karyanya mencatat tiga ciri khas dan spesifik yang melekat dalam diri Orde Baru.
Pertama, pemerintahan Orde Baru bersifat sentralistik, berpusat di Jakarta. Dalam hal ini yang dimaksud Jakarta bukan saja konteks ruang ibu kota negara Indonesia, melainkan juga subjek, orang per orang yang tunduk pada kekuasaan tertentu dalam memutuskan sebuah kebijakan.
Kedua, masyarakat Indonesia di era Orde Baru hanya objek pembangunan. Oleh sebab itu, segala keputusan yang bahkan berhubungan dengan hajat hidup orang banyak dilaksanakan oleh ‘orang-orang pintar’. Mereka, ‘orang-orang pintar’ itu disekolahkan oleh Orde Baru ke luar negeri melalui skema beasiswa pemerintah. Beberapa di antaranya merupakan intelektual yang beralih mendukung Orde Baru saat Orde Lama lengser pasca Peristiwa 1965. Belakangan, lapisan intelektual baru yang dihasilkan oleh developmentalisme massif Orde Baru disebut golongan ‘teknokrat’.
Di sisi lain, golongan intelektual yang tidak mau tunduk kepada Orde Baru dan dianggap Soekarnois karena disekolahkan Orde Lama memilih tetap tinggal di luar negeri. Mereka dilarang pulang ke tanah air sebagai dampak dari Peristiwa Gerakan 30 September. Jikapun memilih pulang, Orde Baru dengan Undang-Undang subversif warisan orde sebelumnya akan dengan mudah melakukan pem-PKI-an tanpa melalui proses peradilan. Merekalah yang disebut kaum ‘exile’.
BJ. Habibie, Simbol Teknokratisme Orde Baru | Sumber : Kompas.Id
Ketiga, pensikapan Orde Baru kepada objek kekuasaan yakni masyarakat cenderung mengarah kepada otoritarianisme. Ia ditandai dengan pengkebirian terhadap nilai-nilai demokrasi, kebebasan berpendapat dan tentu saja hak-hak sipil masyarakat. Penolakan negara Orde Baru yang otoriter dalam memberikan “panggung sosial” kepada kebebasan individu cum lawan-lawan politiknya dilakukan secara kasat mata melalui lembaga-lembaga negara yang otoritatif.
Meskipun Negara Orde Baru telah runtuh secara subjek dan kelembagaan, dan kita hari ini telah menikmati demokratisasi hasil reformasi, tapi tidak dengan produk mental yang diwariskan.
Sebagaimana yang sudah disampaikan di atas bahwa ada upaya dari orang-orang terdahulu, yang ikut menumbangkan Orde Baru, tetapi kini justru berkeinginan menghidupkan kembali karakteristik itu. Miris, bagaimana mungkin orang-orang yang menganggap dirinya golongan reformis dan berseberangan secara ideologis dengan Pak Harto dan Orde Baru, tetapi kini justru hendak menghidupkannya kembali?
Amien Rais, salah satu tokoh reformasi 1998 | Sumber : CNN.com
Mereka, yang menyebut dirinya golongan reformis, yang terlihat “menepuk dada” sebagai salah satu golongan yang menumbangkan Orde Baru, tetapi kini justru ingin menghidupkan kembali Orde Baru. Ibarat ‘menepuk air kena muka sendiri’, mereka menyuguhkan anekdot ‘benci tapi rindu’. Mereka mengupayakan gagasan itu melalui acara-acara talkshow di televisi, mendatangi podcast-podcast politik, menyelenggarakan seminar-seminar di kampus, bahkan menyebarluaskan tulisan-tulisan di media cetak dan elektronik.
Saya mengira mereka (baca : kelompok reformis) yang beroposisi dengan pemerintahan saat ini sedang bermimikri melakukan eksperimen sosial untuk mengetahui ‘ingatan publik’ terhadap Orde Baru.
Di beberapa platform sosial media seperti Tiktok, IG dan Facebook, bahkan muncul tayangan video pendek dari para influencer politik dengan masyarakat dari berbagai kelas sosial, terutama petani dan pedagang. Mereka ditanya kesan tentang Pak Harto. Pertanyaannya kurang lebih berbunyi “lebih bagus mana jaman pak Harto dengan hari ini?”
Kebanyakan dari informan itu menjawab “Pak Harto” dengan beragam alasan, terutama karena masalah keamanan dan terkendalinya harga kebutuhan pokok. Dengan kata lain, informan tersebut menyatakan bahwa negara Orde Baru benar-benar hadir dalam ingatan kolektif masyarakat Indonesia.
Saya mencatat empat upaya yang dilakukan kaum reformis untuk bernostalgia dengan karakter Orde Baru ke dalam tatacara bernegara Reformasi Indonesia sebagai berikut.
Pertama, adanya upaya untuk menghidupkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Namanya diubah menjadi Pokok-Pokok Haluan Negara (PHN). Ide ini muncul sebagai respon terhadap arah pembangunan bangsa akhir-akhir ini yang dianggap terlalu liberal dan tidak berpihak pada rakyat kecil.
Pertanyaan, adakah yang keliru dengan gagasan menghidupkan GBHN itu? Tentu saja tidak. Saya pikir GBHN adalah salah satu produk Orde Baru yang cukup visioner, sebab menyajikan tahapan-tahapan pembangunan Indonesia secara lebih teknis dan terperinci. Hal yang ingin saya garisbawahi adalah dampak sistemik terhadap ketatanegaran Republik Indonesia yang telah mengalami amandemen sebanyak 4 kali sejak 1999-2002.
Jika GBHN dihidupkan sebagai visi pembangunan, setidaknya akan berdampak pada dua hal.
Pertama, presiden tidak akan memiliki visinya sendiri. Visi pembangunan sudah diatur di dalam GBHN. Dengan demikian, ketika seorang presiden ketika sudah menjabat, visi misi yang diusungnya saat pencalonan harus disesuaikan dengan narasi pembangunan Indonesia di dalam GBHN.
Kedua, subjek kekuasaan dan hukum yang pertama kali harus disiapkan adalah MPR. Di masa Orde Baru, pada Batang Tubuh UUD 1945 pasal 1 ayat 2 dinyatakan bahwa “kedaulatan di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)”.
Oleh sebab itu, MPR harus diposisikan sebagai lembaga tertinggi negara yang memberikan kontrol politik terhadap tindakan eksektutif dalam mengeksekusi GBHN. Jika dalam upaya menjalankan GBHN dan UUD 1945 itu ditemukan kejanggalan-kejanggalan, MPR berhak memanggil presiden dan bahkan melakukan pemakzulan jika ditemukan penyimpangan yang tata caranya diatur dalam undang-undang.
Upaya kedua, oleh sebab GBHN ingin dihidupkan kembali, maka MPR sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dari rakyat Indonesia, menjadi lembaga yang bertanggungjawab terhadap keterpilihan presiden dan wakil presiden. Itu artinya pemilihan presiden dilakukan melalui demokrasi perwakilan di MPR. One vote one man berubah menjadi one vote one person. Man sebagai people berubah menjadi person sebagai individu yang diwakilkan oleh orang-orang yang duduk di MPR.
Upaya ketiga, hilangnya batasan periode presiden. Artinya, seseorang bisa mencalonkan diri sebagai presiden lebih dari dua kali periode sebagaimana amandemen UUD 1945 reformasi.
Sebagai catatan, Pak Harto terpilih sebagai presiden selama 6 periode kepemimpjnan sejak tahun 1967. Pemilu pertama sejak Orde Lama lengser dilakukan pada tahun 1971, lalu berturut-turut pada tahun 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997.
Pada bulan Mei 1998, Pak Harto lengser melalui demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh kaum reformis. Sesuai aturan yang berlaku, jika presdien mengundurkan diri maka bisa digantikan oleh wakilnya. Jabatan presiden diserahkan kepada wakilnya, BJ Habibie yang hanya berkuasa tidak lebih dari satu tahun. Pada tahun 1999, dilakukan pemilu dan terpilih Gus Dur sebagai presiden dan Megawati sebagai wakilnya.
Gus Dur dan Megawati terplih sebagai pasangan presiden dan wakil presiden dalam pemilu 1999 | Sumber : Kompas.co
Upaya keempat, sistem pemilu ingin diubah ke proporsional tertututp. artinya masyarakat hanya mencoblos logo partai, sedangkan orang-orang yang duduk di dalam parlemen setelah hasil pemungutan suara ditentukan oleh elit partai. Jadi masyarakat tidak pernah tahu siapa calon yang dipilihnya. Kekuasaan menentukan siapa yang duduk di parlemen sentralistik ketua partai. Sehingga orang partai bisa saja menaruh orang-orang “pusat” menjadi wakil parlemen di Sumatera, Kalimantan dan Papua. Jadi jika partainya dapat kursi di wilayah pemilihan tertentu, orang yang duduk di parlemen lokal ditentukan orang partai di pusat.
Pertanyaan terakhir, apakah kita akan benar-benar ingin mengembalikan produk Orde Baru setelah sekian lama menikmati alam demokrasi yang dihasilkan oleh pertumpahan berdarah-darah masyarakat indonesia tahun 1998? Bukankah ini semacam kemunduran, suatu hal yang menjadi lawan dari kemajuan. Meski harus diakui bahwa demokratisasi yang kita nikmati setelah Orde Baru tumbang masih belum memperlihatkan “wajah” yang serius dalam mengeksekusi tuntutan-tuntutan masyarakat Indonesia terhadap kebobrokan yang pernah terjadi di masa Orde Baru.
Mungkin, jawaban-jawaban ini akan kita bisa buka tabirnya setelah Pemilu Presiden 2024 nanti. [T]