BEBERAPA PEKAN TERAKHIR jagad dunia maya terkhusus Tiktok digemparkan oleh sosok pengusaha sukses yang bernama Henry Kurniadi Sutikno alias Jhon LBF. Dalam konten-konten yang diproduksi, Bang Jhon—sapaan akarabnya, intens memberikan wejangan, semangat, juga motivasi kepada semua karyawannya.
Bang Jhon pun menjadi idola baru tidak hanya bagi karyawan yang ia pimpin, juga bagi seluruh warga Tiktok yang mengikutinya yaitu sekitar 4.7 juta followers. Bahkan Bang Jhon mendadak menjadi artis podcast YouTube diundang ke sana kemari untuk berbagi ilmu dan pengalaman.
Setidaknya sudah 5 akun Youtube yang saya tonton mengulas soal Bang Jhon, misalnya akun Youtube dr. Rhicard Lee, MARS 1,1 jt x ditonton, Ruang Interogasi 51 rb x ditonton, Trans7 Official 1,3 jt x ditonton, Bang Yos Official 73 rb x ditonton dan Ngobrol Asix 1,8 jt x ditonton.
Memang instan dan tidak butuh waktu lama deretan kesuksesan yang diraih Bang Jhon. Dilansir dari wawancara di akun YouTube dr. Rhicard Lee, MARS, Bang Jhon hanya butuh waktu 2 tahun untuk menjadi pengusaha super sukses.
Tapi kehadiran Bang Jhon membuat saya semakin yakin untuk mengubur cita-cita saya sejak kecil yaitu punya banyak uang alias kaya raya, setelah beberapa bulan terakhir masih segar dalam ingatan saya kasus yang menimpa Doni Salmanan dan Indra Kenz, dua crazy rich yang meraup pundi-pundi kekayaan dengan instan tapi pada akhirnya terjerat kasus afiliator.
Motivasi Artifisial yang Memabukkan
Pasti semua orang ingin kaya raya, bergelimang harta, sejahtera. Ya, kalau begitu hidupnya harus termotivasi, dengan demikian konsep motivasi menjadi aturan baku yang seolah-olah mesti ditaati agar seseorang dapat meraih hal-hal yang dikatakan sukses. Kalau tidak ditaati jangan harap bisa meraih itu semua!
Sejak kecil kita selalu dijejali bahwa kehidupan yang sempurna adalah hidup yang punya segalanya. Rumah, kendaraan, aset, tabungan, jabatan, relasi dan seterusnya dan seterusnya. Bahkan sejak dalam kandungan kita sudah dianggap sebagai aset bernafas yang siap untuk tancap gas bilamana waktunya tiba. Mulailah muncul kalimat motivasi, kartus As untuk merawat itu semua.
Kalimat motivasi yang pernah dan selalu kita dengar adalah “kalau mau sukses harus berfikir positif!”.
Umumnya mereka mengajarkan cara untuk memelihara pola pikir positif demi hidup yang lebih baik. Mungkin ada benarnya, tetapi masalahnya kalimat motivasi tersebut menjadikan pola pikir positif sebagai jimat penangkal pelbagai hiruk pikuk kehidupan. Kenyataanya persoalan yang terjadi dalam hidup tak bisa diselesaikan dengan hanya pola pikir positif.
Jika kita berkaca pada kaum skeptisisme, masalah bisa diatasi dengan cara meragukan, mengambil jarak, mempertanyakan atau mencurigai segala sesuatu karena adanya keyakinan bahwa segala sesuatu bersifat tidak pasti sehingga mereka memilih untuk kurang antusias.
Juga kaum apatisme, berfikir positif mungkin nomor terbawah dalam skala prioritas sebab semakin mencari tahu, semakin berpikir positif, membuat beban masalah semakin berat. Maka jawabannya adalah mendewakan sikap bodo amat dan tidak peduli.
Bilamamana masalah gagal diselesaikan sudah pasti rasa kesal dan sakit hati tak akan membelenggu, sebab kaum skeptisisme dan apatisme secara tersirat mempertimbangkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Lantas bukankah kaum skeptisisme dan apatisme membuat raga dan psikologi tetap sehat dan bahagia untuk menyelesaikan masalah daripada hanya sekedar pikiran positif?
Kalimat motivasi berikutnya adalah “harus berani keluar dari zona nyaman!”
Benarkah demikian? Kalau coba kita dekontruksi, ya dekontruksi teks ala Derrida (1930-2004), sebenarnya pernyataan di atas tidak jelas dan kental dengan nuansa ambiguitas.
Tolak ukur zona nyaman tidak rinci dan malah rawan disalahpahami. Padahal teks yang absolut dan mutlak saja dapat didekontruksi, sebab dalam pandangan Derrida teks adalah aporia artinya jalan buntu karena teks selalu bisa dibaca dengan cara yang baru dan akan menghasilkan makna yang berbeda-beda. Apalagi hanya sekedar kalimat motivasi diatas yang tak jelas apa makna dan maksudnya.
Misalnya saya adalah seorang blantik motor, saya sudah tahu betul peta permotoran baik harga pasaran, mesin motor, sampai memiliki pelanggan tetap alias jaringan. Sehingga hasilnya dapat saya gunakan untuk mencukupi kebutuhan keluarga.
Lantas yang dimaksud keluar dari zona nyaman? Spakah segera mungkin saat saya gagal atau saya sukses menjual 5 motor dalam sehari saya harus bergegas ganti profesi dan menekuni dunia lain misalkan berkecimpung di dunia burung seperti yang sempat dilakukan Bang Jhon LBF di atas?
Apakah dengan keluar dari zona nyaman menjamin bahwa saya akan hidup kaya raya bergelimang harta atau setidaknya lebih baik dari penghasilan atau pekerjaan sebelumnya? Atau jangan-jangan kalimat motivasi “keluar dari zona nyaman” sengaja diproduksi agar supaya kita tetap menjadi insan tertindas dan dihalang-halangi untuk kaya raya seperti mereka?
Kalimat motivasi berikutnya adalah “jika orang lain bisa, kita juga harus bisa!”
Sebenarnya kita tidak usah terlalu repot menanggapi serius pernyataan tersebut. Gampang saja saya menyebutnya perbandingan modal, maksudnya apakah orang yang dibandingkan dengan kita berangkat dari modal kelas ekonomi yang sama atau tidak. Misal saya punya usaha jual pisang goreng dibandingkan dengan usaha sang pisang milik Kaesang putra presiden.
Jangankan bicara soal sekte pembeli, teknik marketing dll., soal bahan dapur seperti merk minyak saja sudah berbeda jauh. Maka stop menanggapi serius kalimat motivasi di atas jika orang yang dibandingkan saja tidak berangkat dari garis start yang sama.
Pertanyaan besarnya bagaimana cara melawan kalimat motivasi artifisial?
Dalam buku Kumpulan Kalimat Demotivasi milik Syarif Maulana, Demotivasi diartikan sebagai ungkapan yang pesimistik, kurang antusias, kurang bergairah, dan hal-hal lainya yang dianggap kebalikan dari ekspresi motivasional yang cenderung optimistik. Demotivasi tentang kemampuan kita menolak segara harapan-harapan yang dibuat oleh orang lain (motivator). Orang lain sering bicara dengan mudahnya tanpa mengetahui dan mempetimbangkan kenyataan yang kita hadapi.
Bersikap pesimis, demotivasional dan kurang antusias terhadap hidup menjadi jalan keluar yang lebih baik daripada semangat semu yang terlampau agresif dan menggebu-gebu. Semangat semu itu justru mendorong libido untuk saling berkuasa dan menyalahkan.
Dalam filsafat modern seperti eksistensialisme yang lahir sekitar awal abad ke-20, ungkapan seperti “Hidup ini absud” kata Albnert Camus (1913-1960), “manusia adalah gairah tanpa makna” kata Jean Paul Sartre (1905-1980), bukanlah bentuk pernyataan yang merekomendasikan manusia untuk lebih baik mati karena hidup ini tidak ada artinya. Justru Camus dan Sartre menginginkan manusia untuk hidup lebih bergairah dalam memaknai hidupnya tanpa harus bergantung pada makna yang direkomendasikan orang lain. [T]