APAKAH SEMUA WARGA di Tanah Air ini merasa bangga menjadi bangsa Indonesia? Jika memang iya, apa yang membuat bangga? Alamnya yang indah, jumlah penduduknya yang melimpah, ataukah masyarakatnya yang ramah-tamah?
Banyak alasan bagi orang untuk merasa bangga hidup di Bumi Nusantara ini. Kekayaan budaya dan kemajemukan agama adalah salah satunya. Setiap daerah memiliki seni, adat, tradisi, dan budaya yang khas. Setiap orang juga memiliki kebebasan untuk memeluk agama dan kepercayaan yang diyakininya. Potensi keberagaman ini diklaim banyak pihak sebagai faktor yang mempersatukan bangsa.
Namun tak sedikit pula yang menganggap keragaman adat, budaya, dan agama acapkali menjadi biang terjadinya konflik. Bagaimana bangsa ini memaknai keberagaman sangat menentukan sejauhmana keberagaman itu dapat mempersatukan, bukan menjadi sebab perpecahan.
Diperlukan pemahaman komunikasi antarbudaya oleh seluruh elemen bangsa. Sayangnya, komunikasi antarbudaya tak segampang yang dibayangkan. Banyak hal yang membuat komunikasi antarbudaya terkendala, seperti etnosentrisme dan kondisi ketidaksadaran seseorang ketika berjumpa dengan budaya yang berbeda.
Etnosentrisme
Mengagumi dan mencintai nilai, adat, tradisi dan budaya yang dimiliki masyarakat adalah sikap yang mulia. Dengan sikap seperti itu orang akan berupaya menjadi manusia yang menghargai kearifan lokal sebagai landasan berperilakunya.
Tanpa modal kecintaan pada budaya sendiri, orang akan mudah kehilangan jatidiri dan terbentur pada budaya asing yang belum tentu tepat untuk digunakan dalam kehidupan lokalitasnya.
Meski demikian, kecintaan yang berlebihan terhadap budaya sendiri dapat membuat seseorang terjebak pada etnosentrisme. Hal ini terjadi pada orang-orang yang bersikap dan berpandangan hanya nilai, adat, tradisi, dan budaya mereka sendirilah yang paling baik dan paling benar. Sedangkan yang lain dianggap tidak baik dan tidak benar. Etnosentrisme seperti ini tentu saja akan menghambat komunikasi antarbudaya sebagai dasar pemahaman keberagaman.
Etnosentrisme bukan hanya mengejawantah dalam ruang sosial budaya saja. Ruang-ruang ekonomi dan politik juga tak luput dari perangkap etnosentrisme. Ada anggapan bahwa bisnis tertentu akan lebih berhasil jika dikelola oleh orang-orang yang berasal dari etnis tertentu. Bukan lantaran etnis tersebut memang memiliki nilai dan etos kerja yang baik, tetapi lebih dianggap karena etnis itu lebih baik dibanding etnis lain.
Oleh sebab itu, keberhasilan satu etnis dalam bisnis kerap menimbulkan kecurigaan dan kecemburuan antaretnis.
Ruang politik juga tak luput dari etnosentrisme. Demokratisasi sebagai pilar kehidupan berpolitik diwarnai dengan pandangan sempit tentang sosok pemimpin yang layak untuk dipilih. Hanya orang dari etnis atau suku tertentu yang dianggap layak memimpin bangsa ini. Etnis atau suku lain dianggap tidak layak.
Bahkan dalam beberapa kasus, seorang calon pemimpin mendapat penolakan karena latar belakang budaya dan agamanya. Jika demikian, masih pantaskah kita berbangga sebagai bangsa yang beragam?
Kesadaran versus Ketidaksadaran
Apa yang dikatakan elit politik tentang ragam budaya dan agama di Indonesia? Apa yang disampaikan tokoh-tokoh negeri ini tentang kekayaan adat dan tradisi? Apa yang dibicarakan para ilmuwan dan akademisi Tanah Air perihal kemajemukan bangsa ini?
Semua pasti sepakat, bahwa Indonesia adalah negara yang sangat menjunjung tinggi kerukunan antarumat beragama. Indonesia adalah negara yang sangat toleran terhadap perbedaan budaya. Semua satu suara, bahwa perbedaan latar belakang adat dan tradisi adalah anugerah terindah bangsa ini.
Semua yang disampaikan elit politik, tokoh masyarakat, dan para akademisi adalah pernyataan dalam sebuah ruang kesadaran (mindfulness). Ruang-ruang itu bisa bernama diskusi, seminar, simposium, dan sejenisnya. Dalam kondisi kesadaran sosial, politis, dan akademis, semua sepakat kebhinekaan adalah sebuah keniscayaan yang perlu terus dijaga dan dirawat.
Saat seminar dan diskusi di satu hotel berbintang, semua beranggapan pertikaian dan intoleransi terhadap perbedaan adalah sebuah pengingkaran dan pengkhianatan kepada persatuan dan kesatuan bangsa. Namun ketika elit politik itu bertarung merebut kursi kekuasaan, ketika tokoh masyarakat berada di tengah kepentingan ekonomi, saat akademisi berebut jabatan struktural, akankah ruang kesadaran itu masih tetap terjaga?
Boleh jadi, sanjungan tentang perbedaan dan keberagaman itu hanya sekadar wacana dalam ruang kesadaran. Ketika kepentingan kekuasaan dan kue ekonomi diperebutkan, mereka akan berada dalam ruang ketidaksadaran (mindless). Komunikasi antarbudaya, antaretnis, dan antaragama mengalami ketegangan. Prasangka dan stigma terhadap latar belakang budaya menjadi bagian dari upaya pertarungan kepentingan.
Upaya serius perlu dilakukan seluruh anak bangsa untuk tetap menjaga ruang kesadaran dalam situasi apa pun. Komunikasi antarbudaya harus dibangun atas dasar kesadaran bahwa perbedaan itu bukanlah wacana, namun sebuah realita. Contoh-contoh sederhana dapat dilakukan. Siapa pun dapat menjadi presiden, menteri, rektor, kepala desa, hingga ketua RT; tanpa harus melahirkan perdebatan latar belakang suku, agama, dan budaya.
Saatnya kini berhenti mengumbar wacana tentang arti penting perbedaan dan keberagaman. Komunikasi yang dibangun di seluruh negeri mesti berangkat dari tindakan empiris memaknai perbedaan.
Sebagaimana dikatakan penyair Catherine Pulsifers, bicara tentang apa yang akan kita lakukan memang mudah, tapi itu tidak berarti apa-apa sampai kita mengambil tindakan dan mewujudkannya. [T]