Bumi Manusia (1980) karya Pramoedya Ananta Toer merupakan salah satu dari novel Tetralogi Pulau Buru yang dapat dikatakan masterpiece dalam karir Pram.
Bumi Manusia menggambarkan sebuah perjuangan, sosial-kultur, hak dan kewajiban, kekuasaan, dan sebagainya. Bumi Manusia adalah sebuah novel fiksi dengan genre drama history yang memiliki setting di kehidupan periode penjajahan Belanda.
Novel Bumi Manusia mendapat banyak pujian dan mengantarkan Pram sebagai pengarang yang disebut-sebut menjadi nomine penghargaan Nobel Sastra. Dalam sejarah sastra di Indonesia, Novel Bumi Manusia dikatakan sebagai salah satu novel terbaik, karena konon katanya cerita dari Bumi Manusia dapat dikatakan pula sebagai sebuah mahakarya yang menjadi warisan histori terbaik bagi tanah air Indonesia.
Ditafsir lewat sudut pandang yang baru, dapat ditemukan banyak hal yang mungkin sebelumnya tidak dapat terungkap dalam novel Bumi Manusia. Jika novel Bumi Manusia ditelusuri dengan perspektif yang mengacu pada teori struktural konstruktif atau teori praktik sosial, maka akan banyak hal yang dapat dipecahkan dan terungkap dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer ini.
Lalu, bisa dianalisa bagaimana pengarang dapat menyisipkan pemikirannya terhadap permainan tokoh Minke, Nyai Ontosoroh (Sanikem), Annelies Mellema, Robert Mellema, dan Herman Mellema, dalam jalan cerita Bumi Manusia yang berkaitan dengan sosialkultur antara Eropa, Indo, dan pribumi?
Serta, bagaimana pemikiran Pram hingga dapat mengisahkan novel Bumi Manusia yang problem atau masalahnya dihidangkan untuk Minke dan Nyai Ontosoroh? Terutama banyak terjadi kekerasan simbolik (Symbolic Violence) ala Pierre Bourdieu di dalamnya.
Sosial Kuktural
Kekuasaan pada saat itu memang dikatakan bahwa orang Eropa menganggap diri sebagai kaum yang terkenal, berwibawa, berprilaku lebih baik, bahkan merasa dirinyalah yang paling pantas untuk berpendidikan. Tak memandang bahwa kaum pribumi akan dapat mendahului dengan sopan santun, perlawanan, ketekunan, dan keberanian.
Dari awal cerita novel Bumi Manusia banyak mengungkapkan berbagai kekerasan simbolik yang terjadi/dilakukan atas Eropa terhadap kaum Pribumi, terutama yang menimpa Minke. Misalnya, nama Minke yang dapat menggambarkan kata “Monkey” atau dalam bahasa Indinesia adalah “Monyet” diberikan atau disematkan oleh gurunya yaitu Meneer Rooseboom.
Tak hanya sampai perkara itu, Minke adalah satu-satunya orang Pribumi di sekolahnya: HBS. Mendapat berbagai kepungan, kecaman, kekerasan, berupa pelecehan serta deskriminasi oleh kaum Eropa-Indo, serta sempat dipecat dari sekolah HBS.
Namun, Minke tetap sebagai pemenang dalam berbagai hal, terutama di kancah intelektual dan sosialkultural yang dialaminya. Dibuktikannya dengan nominasi yang diperolehnya sebagai lulusan terbaik kedua seHindia Belanda dan pertama seSurabaya. Artinya, dalam hal ini tokoh Minke menggambarkan keberhasilan kaum Pribumi dalam mengalahkan sistem feodalisme, terutama atas kekerasan simbolik dari Eropa-Indo.
Tidak hanya tentang Minke sebagai perwakilan kaum Pribumi. Tokoh Herman Mellema, dikisahkan adalah sesosok yang berbeda dengan kaum Eropa (Belanda) murni/totok lainnya, rajin, elok, tak suka bermain perempuan, penyayang dan bukan pemarah. Disaat meminta agar kedua anak yang ia sayangi (Robert Mellema dan Annelies Mellema) untuk dibaptis, namun penolakan oleh Pendeta karena alasan pernikahan tidak syah dari ibunya (Nyai Ontosoroh) dengan Herman Mellema, juga masih berstatus seorang kaum Pribumi.
“Dengan campurtangan Pengadilan Hukum justru tidak mengakui abangmu dan kau sebagai anakku, bukan anak-anakku lagi, walau Mama ini yang melahirkan. Sejak pengakuan itu kalian, menurut hukum, hanya anak dari Tuan Mellema.” (Bumi Manusia, 136).
Sebagai gambaran kekerasan simbolik yang dihadapi Nyai Ontosoroh sebagai kaum pribumi yang tak mendapatkam keadilan atas keluarganya. Memang saat sebelumnya dengan Nyai Ontosoroh, Herman Mellema sudah pernah beristri juga beranak (Maurits Mellema) di Belanda. Maurits Mellema, ialah yang nantinya akan menjadi peluru yang menusuk bagi harta kekayaan, serta hak asuk Robert dan Annelies Mellema.
Dari gambaran sudut pandang pengarang menggambarkan bahwa segala yang berkaitan dengan Eropa (Belanda) adalah busuk dan feodalisme anarki. Ibaratkan semut (Pribumi) dengan gajah (Eropa), walau semut kecil dan selalu tergilas atas gajah, namun jika sekalinya berulah (melawan) maka gajahpun akan tumbang.
Beralih pada seorang Nyai Ontosoroh alias Sanikem merupakan perempuan jawa ayu dan putri dari juru tulis bernama Sastrotomo. Dijual oleh ayahnya saat usia 14 tahun dan dipergundik oleh Herman Mellema. Namun dididik tuannya, hingga menggenggam modal pengetahuan bahasa dan pengetahuan sosial kultural Eropa, Indo, Pribumi.
“Mama pelajari semua yang dapat kupelajari daru kehendak Tuanku: kebersihan, bahasa Melayu, menyusun tempat tidur dan rumah, masak cara Eropa” (Bumi Manusia. 128).
Pribumi yang berhasil menguasai perusahaan perkasa di dalam lingkaran kehidupan masyarakat kolonial. Tinggal di Wonokromo mendirikan Boerderij Buitenzorg. Nyai Ontosoroh alias Sanikem, membakar masa lalunya yang berembun demi memperoleh kesuksesan. Menjadikan dirinya superioritas dalam usia kurang dari 20 tahun dan menggantikan juga menyurutkan eksistensi tuannya: Herman Mellema. Dari sini, pengarang menggambarkan pemikirannya mengenai persaingan Belanda murni/totok dengan Pribumi Jawa dan perlawanan.
Tuan Herman Mellema sebagai representasi Eropa (yang katanya maha lebih baik dan berpendidikan), tersingkirkan menjadi seorang pecundang. Perilaku yang berbalik 180 derajat, mejerumuskannya pada akhir hayatnya sebagai pecundang di sebuah rumah plesiran/bordil. Begitu juga anaknya: Robert Mellema. Gambaran pengarang yang menuangkan logika pada novel ini menjadikannya sangat ideologis. Seperti pembalikan status kapital, menempatkan Nyai Ontosoroh yang dapat mengatur perusahaan dan menjadi supervisor melengserkan tuannya: Herman Mellema.
Gambaran yang dituangkan oleh pengarang menjadikan sebuah kenyataan dimana kaum kelas bawah mampu melakukan perlawanan terhadap kelas atas walau tidak dengan kekerasan serta dapat membungkam percikan suara kaum Eropa yang menyatakan diri sebagai yang terbaik dari segi perilaku dan pedidikan. Selain itu, gambaran hiperbolisme negatif direpresentasikan oleh Robert Mellema yang menunjukkan kebiadaban bahkan keserakahan kaum Eropa, dengan memperkosa adiknya sendiri: Annelies Mellema.
Seperti itulah gambaran relasi kuasa dan perlawanan: Pribumi versus Eropa. Memang pada tahap tertentu diungguli oleh Pribumi. Namun lingkaran sosial pada masa novel ini adalah Kolonialisme Eropa (Belanda), yang mengakibatkan permainan akan selalu dikuasai hukum kolonial Eropa. Pada akhirnya, atas gugatan hak asuh dari Maurits Mellema atas Robert dan Annelies Mellema, maka kaum Pribumi dinyatakan gugur untuk mempertahankan haknya. Pribumi telah kalah.
“Kita kalah, Ma,”
“Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.” (Bumi Manusia. 535).
Akhir yang sangat dramatis dari representasi Pram ini.
Sebenarnya, implementasi Minke di sekolah HBS dan Nyai Ontosoroh yang otodidak, telah membangun kesadaran tentang makna dari sebuah perlawanan terhadap ketidakadilan dengan cara yang bukan beradu badan. Bukan hanya itu, pengarang juga merepresentasikan sebuah perjuangan sebuah bangsa. Relasi kuasa kaum Pribumi dengan Eropa, Ibarat dua senar gitar, sama-sama mengeluarkan suara walau berbeda ukuran. Namun semuanya memiliki hak untuk besuara.
Sedikit uraian Bumi Manusia melalui perspektif pengarangnya menurut saya pribadi, yang dikaitkan dengan kekerasan simbolik dari Pierre Bourdieu. Penting adanya perspektif lain untuk membentuk analisis yang lebih beragam lagi, agar dapat membaca lebih menarik. [T]