BEBERAPA HARI belakangan saya merasa sedikit kurang nyaman, terutama masalah pilihan bacaan buku yang tepat bagi kita. Apalagi setelah mengintip minat baca masyarakat Indonesia yang minim sekali. Seperti dilansir oleh Majalah Tebuireng, rata-rata kondisi minat baca masyarakat kita hanya 1%. Artinya, kegemaran membaca buku adalah pekerjaan rumah sejak zaman dulu sampai saat ini.
Saya sempat berpikir bahwa keadaannya akan seperti itu mengingat pemerintah abai terhadap tugas wajibnya mencerdaskan kehidupan bangsa. Lagi pula, Perpustakaan Nasional sebagai gudang berbagai ilmu belum mengeluarkan rekomendasi katalog buku yang bisa kita lihat setiap harinya. Rupanya saya keliru.
Sudah banyak tindakan yang dilakukan pemerintah dengan cara kerja sama penerbit-penerbit kelas atas dan beberapa gerakan gemar membaca. Para penerbit ini digunakan sebagai mitra kerja untuk menyesuaikan selera orang-orang yang ingin membaca sebuah buku. Kita bisa membuka youtube, misalnya, guna menonton potongan video perihal aksi gerakan membaca itu melalui kata kunci di mesin pencari.
Orang-orang bisa menonton kapan pun tayangan itu selagi dirinya ingin atau berhasrat. Tanpa ada hasrat, mereka—dan kita—selalu terjebak ke dalam kubangan kemalasan yang akut. Parahnya, kita tidak bisa memperbaiki hobi malas itu dari waktu ke waktu. Sekalipun kita akan menyanggah sikap tersebut melalui alasan, kata Jules Renard; kemalasan sebenarnya nama lain dari kebiasaan beristirahat sebelum kita lelah. Dan kalimat magis itu anehnya dijadikan landasan normatif dalam hidup kita.
Sebenarnya mudah sekali menebak bahwa menonton dan membaca adalah dua kata kerja yang tidak sama. Jika kita lebih peka kepada aktivitas masyarakat hari ini, mereka ternyata lebih suka menonton sepotong video daripada membaca satu lembar buku. Dapat kita buktikan, aplikasi TikTok yang memuat cuplikan video pendek, begitu asyik dilihat dan memanjakan mata selama berjam-jam. Tanpa pernah habis. Meskipun tayangannya itu-itu saja; menari, menyanyi, ceramah, agama, prank, jual beli, dan quotes.
Bandingkan dengan membaca sebuah buku, kita agaknya alergi untuk menuntaskan. Contohnya novel sufistik berjudul Sang Alkemis. Karya monumental dan telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa—termasuk Indonesia—tersebut sulit diselesaikan dalam kurun waktu sebentar.
Saya tidak akan panjang lebar membahas mengapa kita lebih suka menonton video pendek daripada membaca buku. Karena dua hal ini sangat sensitif. Bahkan saya yakin, frekuensi dari dua pendapat ini terjadi saling tolak-menolak yang pada akhirnya mengalami benturan maha kuat. Dan orang lain, ujung-ujungnya, secara nakal akan menduga sekaligus mengintimidasi bagi siapa saja yang kalah dan menang dalam pertarungan ini.
Rumah judi pilihan buku agaknya kurang mendominasi tulisan-tulisan para penulis pemula, seperti saya contohnya. Dalam memilih sebuah bacaan, biasanya, orang cenderung melihat dulu siapa pengarangnya. Jika ia orang terkenal, pasti akan dibaca. Sebaliknya, seorang penulis yang sukar didengar atau tidak termasuk ke dalam daftar para penulis tersohor, saya—dan tentu saja kita semua—akan sulit menerima bahwa tulisannya bermutu dan sepantasnya dibaca.
Paulo Coelho, misalnya. Nama penulis satu ini, tenyata masih asing ke telinga santri yang statusnya siswa. Padahal, Paulo adalah termasuk dari seribu satu penulis yang direkomendasikan dan karya-karyanya benar-benar baik. Sekalipun bukunya impor dari luar negeri, tetapi terjemahannya bagus. Bagi yang belum membaca bukunya, Sang Alkemis menceritakan perjalanan seorang anak pengembala domba bernama Santiago yang ingin menemukan harta karun di Piramida. Ia bertemu dengan berbagai orang dari segala penjuru dan menemukan apa yang ia cari.
Paulo Coelho agaknya tidak menjabarkan secara detail mengapa ia menulis novel pendek tersebut. Sesuatu yang tidak lazim diterbitkan sebagai genre paling populer dan banyak disukai oleh kalangan remaja. Mungkin pasar dari buku ini adalah masyarakat yang semula tidak menyukai buku, semakin tertarik, berhubung halamannya cukup ringkas. Namun tujuan itu tidak selamanya berhasil.
Buku lain dari penulis lokal kita, yakni Sapardi Djoko Darmono. Judul bukunya Hujan Bulan Juni. Kita semua tahu, Hujan Bulan Juni ada dua genre, tapi yang mungkin banyak dibaca adalah novel sastranya. Sebab kehadiran buku Hujan Bulan Juni membawa sesuatu yang bernilai: atas nama sepasang manusia yang sedang rindu. Seperti pengantar penerbit; dari puisi, menjadi lagu, kemudian komik, dan nanti film.
Sungguh aneh, dua buku itu harus rela kalah oleh tumpukan buku bertemakan asmara remaja. Saya merasa curiga, ketika melihat setumpuk buku yang berada di lemari teman-teman, semuanya berjudul bahasa Inggris. Di antara susunan buku, saya menemukan nama penerbit yang sama sekali jarang didengar, Whattpat. Ajaibnya, buku ini mendominasi bahan bacaan yang lain.
Saya bisa menduga mengapa santri begitu antusias untuk membacanya. Pertama, buku itu dijual dengan harga ramah kantong. Kedua, ceritanya selalu soal cinta anak SMP, SMA, Mahasiswa, atau Dosen. Ada juga cerita yang punya ranting 18 ke atas. Dibandingkan dengan penerbit buku lain, penerbit satu ini hanya menjual kisah seperti itu saja, seterusnya. Saya tidak menemukan soal lain selain percintaan.
Satu-satunya judul yang bisa saya ingat hanyalah Antares. Antares ini adalah nama orang yang berprofesi sebagai anak geng motor. Narasi-narasi yang coba ditulis—dalam buku itu bila mau dibandingkan—nyaris sama dengan satu buku ikonik, dan kaula remaja pasti tahu akan hal itu; Dilan. Maksudnya dua buku tersebut mempunyai kesamaan dari penokohan tapi unsur ceritanya beda.
Namun, buku itu begitu laku di pasaran, dan santri menikmati setiap bagian ceritanya. Entah ceritanya karena seorang anak SMA yang kebetulan menjadi geng motor, atau ikon anak jalanan sebagai identitas ‘kenakalan’ yang sampai hari ini tetap trend menghiasi media sosial, adalah sekian alasan untuk mereka agar tertarik membaca bukunya. Kita tak pernah tahu dan itu barangkali jadi urusan tabu.
Padahal, urusan membaca soal nomor satu dalam pendidikan kita. Dalam artian, generasi saat ini jika berbicara politik, tapi bacaannya Mariposa, mungkinkah mereka paham dan mengerti seperti apa situasi politik Indonesia?
Tentu kita tahu kira-kira jawabannya tidak mungkin. Atau kalau mungkin paradigma yang ditawarkan pasti bermuara terhadap, “politik Indonesia terlalu kasar jika dibicarakan.” Kasar sebab tak ada pengetahuan sebelumnya, jika bacaannya seperti itu selamanya. [T]