DENPASAR | TATKALA.CO – Remaja Bali kini sudah mengenal prasi. Lihatlah pada Wimbakara (Lomba) Ngripta Prasi dalam ajang Bulan Bahasa Bali ke-5 di Kalangan Ayodya, Taman Budaya Provinsi Bali, Rabu, 8 Februari 2023.
Para remaja yang menjadi peserta dalam lomba itu tampak begitu leluasa, tidak canggung, berhadapan dengan daun lontar. Mereka mengguaratkan gambar di atas daun lontar itu. Mereka tampak tsudah begitu mengenal prasi, yakni membuat gambar di atas daun lontar.
Keragaman visual dan gaya visual diinterpretasi dengan baik oleh masing-masing peserta. Meski semua peserta menyajikan hasil karya prasi terbaiknya, namun dewan juri memilih tiga terbaik dari yang terbaiik.
Dari adu kepiawaian dalam lomba membuat prasi ini, akhirnya dewan juri menetapkan Ida Bagus Made Astawa Diputra sebagai juara I, dan Kadek Ari Anjasmara serta I Gusti Ayu Widihiasih Putri Ardani sebagai juara II serta Juara III.
Lomba itu memang menjadi daya tarik bagi pengunjung Bulan Bahasa Bali ke-5 saat itu. Pengunjung yang didominasi anak-anak muda itu, sesekali melirik hasil karya yang dibuat diatas dulang oleh para peserta itu.
Tiga dewan juri yang terdiri dari Drs. I Made Suparta, M.Hum, I Wayan Trisnayana dan I Made Susanta Dwitanaya terkadang menghadiri para peserta untuk menyaksikan karya-karya mereka. Indah, dan sangat menarik.
Made Susanta Dwitanaya mengatakan, lomba prasi kali ini mengambil tema tentang laut. Para peserta diajak menginterpretasi cerita tentang Samudra Montana yang diambil dari teks Adiparwa, tetang pengadukan Ksirarnawa atau lautan susu untuk mencari Tirta Amerta.
“Masing-masing peserta menggambar penggalana atau iterpretasi atas kisah naratif tersebut ke dalam selembar daun lontar. Hal itu memang tidak mudah,” ucapnya.
Dalam pembuatan karya prasi, ada tantangannya. Misalnya kepiawaian menggoreskan pengrupak di atas daun lontar yang memiliki serat dan karakter tersendiri. Medianya juga menjadi tantangan, karena membuat gambar di atas bidang kecil, yakni daun lontar dengan panjang 30 Cm dan lebar sekitar 4 Cm.
“Nah, ini yang menjadi sebuah tantangan bagi para peserta, dan itu pula yang menjadikan kekhasan dari sebuah karya prasi yang bersifat naratif itu,” papar seniman seni rupa itu.
Menggambar dengan media daun lontar dengan teknik toreh menggunakan pengupak, memang menjadi tingkat kesulitan dan kerumitan. Para peserta yang menggunakan media lontar itu menaklukan dengan teknik toreh. Media itu berukuran kecil, sehingga mentuntut tingkat kreativitas dan ketekunan masing-masing peserta, memang tampak di sini.
“Karya prasi ini sangat dekat dengan cara mengapresiai sebuah karya, karya prasi itu kecil, bisa digenggam, dan bisa dibaca seperti lontar. Di situ ada kedekatan antara si penikmat karya dengan karya seni itu sendiri,” ungkapnya.
Prasi ini juga terkait dengan aspek aksara, bahasa dan sastra. Prasi itu menjadi sebuah penginterpretasian visual atas teks aksara tersebut, yang nantinya akan digabungkan dengan sebuah gambar aksara, sehingga bertemu dengan karya klasik.
“Ketika melihat peserta berproses, menjadi sebuah angin segar dari perkembangan seni prasi kedepan. Kumonitas-komunitas anak muda tumbuh menekuni prasi, dan melalui ajang lomba ini bisa menjadi ajang untuk menjaring bakat-bakat baru utamanya anak-anak muda,” sebut dosen seni ini.
Made Suparta yang Dosen ISI Denpasar ini mengatakan, prasi sebuah warisan leluhur yang sangat unik. Karena itu, seni prasi ini dimasukan dalam bidang akademis untuk mempercepat pengembangan budaya membuat prasi.
Sejak tahun 1992, sudah menjadikan seni prasi ini sebagai mata kuliah. “Awalnya ada pada jurusan kriya, kemudian berkembang menjadi mata kuliah di Jurusan Desain Komunikasi Visual hingga sekarang,” ucapnya polos.
Kalau melihat hasil dari sebuah penelitian, mulai tahun 90-an perkembangan prasi sangat mengembirakan. Sentra-sentra atau gudang-gudang pembuat prasi terus bertambah. Ketika di Tenganan sedikit berkurang, justru masyarakat di Sidemen yang intens membuatnya. Rata-rata masih aktif sekarang. Bahkan, hampir ada di seluruh daerah di Bali.
Di Singaraja juga ada, hanya saja banyak yang belum diketahui. Banyak juga yang belum dikenal, karena mereka tidak mau mempromosikan diri. “Secara melembaga, dengan adanya kebijakan Gubernur Bali ini memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan membuat prasi,” ujarnya.
Made Suparta meyakini pembuat prasi kedepan akan terus berkembang. Sebut saja dalam lomba kali ini, pemrasi-pemrasi melakukan objeknya, tokoh tokoh yang ada dalam pigur. Di sini ada gaya Ubud, Kamasan, bahkan ada muncul gaya Tenganan.
“Anatomi sudah banyak muncul, walau ornament agak susah, rumit dan medianya lebih kecil. Ini mungkin karena di sekolah-sekolah sudah ada pembelajaran ekstra membuat prasi mulai dari SD hingga perguruan tinggi, sehingga perkembangan prasi sangat bagus sekali,” sebutnya.
Hal senada juga dikatakan I Wayan Trisnayana. Ia sangat mengapresiasi para peserta dalam ajang ini. Itu sebagai bukti sudah berkembang di masyarakat. Namun, perlu juga lebih digaungkan, sehingga seni prasi ini mendapat lebih perhatian.
“Saat ini banyak muncul komunitas-komunitas, dan ajang untuk berekpresi seperti lomba prasi kali ini yang menjadi angin segar untuk lebih menggaungkan dan membangunkan semangat anak muda untuk menekuni prasi,” ujarnya.
Selain lomba, usul Trisnayana perlu juga diperlihatkan masa depan prasi ini kemana. Mestinya ada karir yang dibangun menekuni prasi.
“Untuk membangkitkan anak-anak muda menekuni prasi, bisa saja melalui sosial media, sebab milenial paling cepat tertarik dengan hal-hal yang trend di media sosial. Ini perlu mendapat perhatian juga,” kata koordinator komunitas prasi ini. [T][Pan]