“Orang-orang yang mengatakan bahwa kekuasaan tidak memunculkan kecanduan pasti belum benar-benar berkuasa” – Dan Brown
APA YANG dikatakan oleh Dan Brown—penulis novel “The Da Vinci Code” soal kekuasaan sedikit tidak ada benarnya. Kekuasaan bisa dikatakan ibarat rokok, dapat menimbulkan candu. Abraham Lincoln (Presiden Amerika Serikat ke-16) pernah mengatakan untuk menguji tabiat seseorang, berilah dia kekuasaan.
Pertanyaannya, siapa yang tak suka dengan kekuasaan?
Kekuasaan membuat seseorang memiliki banyak keistimewaan dan kemudahan. Kekuasaan pula dapat memberi seseorang kewenangan untuk menentukan hajat hidup orang banyak.
Dalam alam demokrasi, maka kekuasaan adalah salah satu ujian yang harus dihadapi oleh para pemimpin. Bicara soal kekuasaan, para pemimpin di Indonesia belakangan sedang menghadapi ujian kekuasaan. Isu tiga periode, penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden menjadi indikasi bahwa kekuasaan sungguhlah sebuah candu.
Politik dinasti adalah salah satu realitas dari candu kekuasaan—bagaimana seseorang penguasa mengusahakan agar tampuk kekuasaan jatuh ke tangan sanak saudaranya.
Urgensi Pembatasan Kekuasaan
Jika bicara soal kekuasaan, maka penting buat kita untuk menarik mundur ke belakang—tepatnya ke masa Orde Baru. Presiden Soeharto berkuasa selama 32 tahun, sejak tahun 1966 sampai tahun 1998.
Lamanya kekuasaan berada pada satu orang cenderung berdampak negatif pada negara. Pemimpin cenderung otoritarianisme (tangan besi), praktik korupsi, kolusi nepotisme merajalela, potensi politik dinasti guna mengamankan kekuasaan juga semakin besar. Berangkat dari persoalan tersebut Indonesia melakukan amandemen terhadap konstitusi, khususnya memperjelas pasal yang mengatur soal masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden.
Oleh Foucault kekuasaan tidak dipahami dalam suatu hubungan kepemilikan sebagai property, perolehan, atau hak istimewa yang dapat digenggam oleh sekelompok kecil masyarakat dan yang dapat terancam punah.
Kekuasaan juga tidak dipahami beroperasi secara negatif melalui Tindakan represif, koersif, dan menekan dari suatu institusi pemilik kekuasaan, termasuk negara. Foucault memandang kekuasaan sebagai relasi-relasi yang beragam dan tersebar seperti jaringan, yang mempunyai ruang lingkup strategis.
Namun tidak bagi Soeharto. Untuk melanggengkan kekuasaan yang diterima, ia menggunakan tangan-tangan kekuasaan negara untuk melakukan tindakan represif kepada rakyat yang berbeda pendapat, serta menggunakan kewenangannya untuk kepentingan kelompoknya.
Oleh karenanya, pembatasan kekuasaan tidak hanya bicara soal regenerasi kepemimpinan, tetapi juga bicara soal menjaga ekosistem pemerintahan agar tetap sehat dan menebar kebermanfaatan kepada masyarakat banyak.
Wacana Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa
Nyatanya ujian kekuasaan tidak hanya bermain dalam pusaran yang luas, ujian kekuasaan tampaknya hadir dalam pusaran yang lebih kecil, salah satunya adalah dalam lingkup desa. Saya cukup kaget saat membaca berita soal ribuan kepala desa menggalang aksi damai di depan Gedung DPR beberapa waktu lalu.
Tuntutannya adalah untuk memperpanjang masa jabatan kepala desa yang mulanya 6 tahun ditambah menjadi 9 tahun. Lebih kagetnya lagi, Fraksi PKB dan PDIP di DPR RI mendukung penuh tuntutan tersebut dengan dalih untuk memaksimalkan penataan perangkat desa. Meminimalisir polarisasi di desa akibat persaingan pemilihan kepala desa juga jadi argumen yang dikemukakan dalam persoalan ini.
Buat saya argumen di atas yang dikemukakan sebagai latar belakang yang melahirkan solusi perpanjangan masa jabatan adalah hal yang keliru. Atau meminjam istilah Rocky Gerung adalah “kesesatan dalam berpikir”.
Tajamnya polarisasi yang terjadi di desa adalah dampak dari cara berpolitik dalam proses pemilihan. Regulasi pemilihan kepala desa mesti menghadirkan sanksi yang tegas apabila salah satu calon menggunakan cara berkampanye yang berpotensi menimbulkan pembelahan.
Utamakan pertarungan ide, bukan pertarungan dalam arti sesungguhnya. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka penting juga dilakukan edukasi politik kepada pemilih di desa. Edukasi ini penting mencerdaskan dan membuat pemilih lebih bijak dalam berdemokrasi—seperti kata Fahri Hamzah, bahwa demokrasi adalah tempatnya ide. Demokrasi memberi ruang seluas-luasnya untuk ide.
Respon dari Fraksi PKB dan PDIP juga sejatinya patut dipertanyakan. Mengapa begitu cepat mereka mengambil keputusan untuk mengakomodir dukungan dari ribuan kepala desa tersebut?
Bukankah perpanjangan masa jabatan tersebut justru memberi ruang praktik-praktik yang dapat merugikan desa, seperti korupsi hingga politik dinasti? Atau ini adalah salah satu strategi partai politik untuk menggaet suara rakyat jelang Pemilu, khususnya masyarakat desa? Apalagi kepala desa adalah tokoh yang berinteraksi langsung dengan rakyat di desa.
Dalam perkembangannya kini, partai politik masuk ke dalam kategori yang diistilahkan oleh Otto Kirchheimer dalam Efriza sebagai “catch all party” atau “partai tangkap semua”. Istilah ini merujuk pada sikap partai politik yang secara drastis mengurangi muatan ideologis mereka dalam rangka memperoleh sebanyak mungkin pemilih dan kemenangan dalam pemilihan umum.
Sehingga platform partai politik dalam menentukan sikap bukan lagi idelogi, melainkan kepentingan pragmatis semata. Semakin besar suara yang diperoleh, maka semakin besar pula untuk memenangkan pemilihan umum dan memegang tampuk kekuasaan.
Berangkat atas penjelasan tersebut yang kemudian dihadapkan dengan permasalahan di atas, maka dapat dibaca kalau sikap dari partai politik yang duduk di parlemen hari ini adalah salah satu cara untuk menggaet suara jelang Pemilu 2024.
Apabila partai politik dalam hal ini Fraksi yang duduk di DPR mengabulkan tuntutan dari ribuan kepala desa tersebut, maka besar juga kemungkinan partai politik yang menyatakan dukungannya atas tuntutan tersebut mendapatkan dukungan dari setidak-tidaknya 81.686 kepala desa se-Indonesia yang kemudian dapat mempengaruhi warganya untuk mendukung salah satu partai politik dalam Pemilu 2024 nanti. Bisa saja. Jadi bagaimana menurut kalian? [T]
BACA artikel lain dari penulis TEDDY CHRISPRIMANATA PUTRA