Catatan: Tanggal 19 Desember saya masih menginap di sebuah villa atau resort di Tabanan. Menjelang sarapan saya membaca cerpen “Pura Subak” yang linier dengan cerita yang saya tahu tentang villa tempat saya menginap. Hal ini membuat saya merekam komentar yang sangat panjang dan sulit dilakukan jika harus menulis di gawai. Redaktur Tatkala rupanya membaca kometar itu di FB kemudian menghubungi saya agar menulis dengan menyunting komentar itu. Esai ini ada kaitannya dengan komunikasi saya dengan Redaktur Tatkala dan saya siapkan khusus untuk merespons cerpen DN Sarjana yang berjudul “Pura Subak” (Tatkala, 18 Desember 2022).
[][][]
CERPEN “Pura Subak” (DN Sarjana, Tatkala 18/12/2022) saya baca di sebuah villa atau resort, yang berlokasi di jalur tengkorak Denpasar-Gilimanuk, di Kabupaten Tabanan bagian barat. Lahan yang digunakan adalah sawah produktif.
Membaca ulasan tofografi Bali Selatan dalam buku Negara Teater (Clifford Geertz) tersimpul satu alasan kuat; mengapa pesisir Bali Selatan dari Mengwi ke Barat, sampai Jembrana, hingga mendekati ketinggian 800 MDPL lereng Gunung Batukaru; dibangun infrastruktur ekonomi subak; tiada lain karena bentang alam yang landai dan aliran belasan sungai besar yang berhulu di Gunung Batukaru atau di Gunung Merbuk. Hal yang sama terjadi di Bali Tengah dan Bali Timur. Sementara itu, Bali Utara tidak karena jarak dari pantai ke kaki bukit sangat pendek dan curam.
Ketika kerajaan Bali menyandarkan seluruh sumber ekonomi pada pertanian maka fungsi utama lahan, selain alas tutupan dan kebun atau abian adalah sawah. Padi menjadi komoditas yang sangat penting. Subak menyerap seluruh angkatan kerja di desa-desa. Infrastruktur air dibangun dan terpelihara dengan sempurna. Empelan-empelan besar(dam/bendungan) yang dibangun di beberapa sungai membuktikan bahwa orang Bali telah mampu memanfaatkan air dengan sangat produktif dan berkelanjutan. Air sungai dengan nutrisi humus yang dilepaskan oleh hutan di hulu tidak terbuang percuma di muara.
Cara kerja subak dalam hal irigasi adalah mengalihkan aliran sungai ke dataran-dataran di atas sungai yang lebih tinggi. Di sini air bergerak sesuai irama musim, melewati ribuan tebih (petak) sawah; untuk kembali ke sungai di bawahnya. Demikian seterusnya, subak-subak yang posisinya lebih di hilir, kembali menggunakan air tadi. Subak adalah instalasi air yang sangat hebat.
Urbanisasi mulai terjadi di Bali setelah 10 tahun Proklamasi ketika orang-orang desa menjadi pegawai pemerintah di kota-kota, seperti Denpasar dan Tabanan. Pembangunan sekolah-sekolah menengah dan universitas di kota menyebabkan anak-anak desa sekolah di kota. Banyak di antara mereka kelak tidak kembali ke desa karena di samping melanjutkan pendidikan tinggi juga karena bekerja, lebih-lebih ketika pariwisata berkembang pesat. Hal ini menimbulkan “gangguan” di tanah pertanian, yakni gejala diskontinyuitas atau regenerasi angkatan kerja mulai muncul yang tentu saja pada awalnya mendapat permakluman secara sosial karena setiap keluarga memandang urbanisasi yang dilakukan oleh anak-anak mereka sebagai perkembangan ekonomi dan sosial yang baik.
Gejala urbanisasi kaum muda desa semakin menjadi-jadi ketika Bali benar-benar mampu membuktikan diri bahwa industri pariwisata mengungguli ekonomi pertanian. Hal ini menimbulkan polarisasi antara pertanian dan pariwisata. Sebagai kutub ekonomi baru, pariwisata menjadi tumpuan dan tujuan kaum muda Bali. Keadaan ini menimbulkan dorongan untuk bekerja di sektor pariwisata. Mereka meninggalkan subak dan angkatan tua yang masih setia bertani.
Masifnya perkembangan pariwisata sering dituduh menghancurkan ekonomi subak dengan segala infrastruktur sosial dan instalasi airnya. Namun sejatinya jika saja mau lebih jujur, hal itu tidak terlepas dengan perubahan sikap masyarakat. Rasionalitas ekonomi pariwisata yang diterima sebagai kebenaran (ekonomi) baru di kalangan masyarakat kemudian membuka pintu-pintu transaksi penjualan subak/sawah dan akan digunakan untuk membangun restoran, hotel, villa, resort, perumahan tenaga kerja, toko barang antik, kios seni, dan sejenisnya. Penjualan sawah atau jika mau subak karena perkongsian di antara kaum berduit pasti akan sanggup membelinya; dengan sangat mudah terjadi; sebagaimana DN Sarjana menceritakan dalam “Pura Subak”.
Dalam cerpen ini memang tidak disebutkan untuk apa penjualan sawah dan hanya menyisakan pura subaknya. Namun demikian, esensi persoalan sosial dalam cerpen ini adalah transformasi ekonomi subak menuju ekonomi yang lain (pariwisata).
Penjualan subak di Bali atau tanah-tanah lainnya, seperti perkebunan kopi di Desa Batungsel (1994) untuk pembangunan kandang bagi sebuah industri; memiliki satu struktur yang tetap. Di dalamnya selalu hadir (1) pembeli, (2) orang dalam atau makelar, (3) pejabat adat, dan (5) pemilik.
Apakah perubahan sikap masyarakat menjadi alasan satu-satunya betapa pada akhirnya masyarakat Bali sedemikian mudahnya menjual sawah? Apakah demikian hebatnya logika ekonomi baru dan rasionalitas membuat masyarakat Bali melego sawah-sawah mereka? Tiba-tiba mereka tidak sanggup lagi memaknai subak, yang tidak sebatas bentangan pematang indah yang selaras lanskap sebuah munduk, intalasi air, kesetiaan pada varietas padi yang mereka jaga dengan teguh, teknologi ekologi pengendalian hama (nangkluk merana) dan kesuburan tanah dalam sistem kerta masa, budaya subak yang antipestisida atau pupuk kimia –pertanian organik yang sedemikian mengagumkan; kemudian semua ini harus hancur ketika Orde Baru menjadi agen Revolusi Hijau!
Pada setiap kasus jual tanah dalam suatu kawasan, seperti subak (yang juga diceritakan dalam “Pura Subak” akan ada tokoh yang menolak. Namun demikian, tokoh ini sudah bisa ditebak nasibnya: kalah! Tidak ada kesatuan untuk mempertahankan tanah subak. Inilah yang ditegaskan oleh DN Sarjana dalam cerpennya kali ini. Artinya, memori masyarakat Bali masih terisi oleh perasaan tidak rela ketika sawah dijual dan beralih fungsi, kecuali pura subak-nya. Kalau saja, warga subak Yeh Telu memiliki kesatuan sikap untuk bertahan dan menolak investor lewat orang dalam Wayan Degag; maka Bapa Darma, Men Retug, dan Pan Ciri tidak akan sedih dan termarjinalkan.
Waktu terus berlalu. Sawah yang dulunya menghijau, kini ditumbuhi oleh rumah-rumah. Tidak ada lagi tempat untuk bercengkrama dengan para tetua di sawah. Tidak ada lagi cericit suara burung berkicau. Tiada lagi anak-anak bermain layang-layang.
Kurang lebih kutipan inilah yang sedang terjadi dan saya amati langsung saat saya menginap di sebuah villa di wilayah Kabupaten Tabanan bagian barat itu. Jalan paving block selebar enam meter membentang turun ke arah pangkung dan di sini air masih setia mengalir. Jalan ini berbelok ke arah kiri tepat di atas pangkung yang di seberangnya dibangun perkemahan. Di ujung jalan ini dibangun beberapa unit villa yang lebih besar dan mewah dengan kolam renang pribadi. Di sebelahnya, di mana jalan ini masih berlanjut alat berat beroperasi dan seperti pandangan Bapa Darma dalam cerpen “Pura Subak”.
“Bapa Darma merasa ditipu dan sedih melihat pematang sawah sudah hancur. Tidak lagi bisa dikenali sawah milik siapa.” (DN Sarjana, 2022, “Pura Subak”).
Karena tugas kampus, membimbing KKN di Desa Serampingan, dan tugas pribadi lainnya, seperti menemukan materi tulisan; saya cukup sering menginap di villa atau resort di Tabanan bagian barat itu.
Pada suatu pagi, beberapa bulan lalu, saya bertemu dengan seorang petani di salah satu sudut indah properti ini; ketika seperti biasa, setiap menginap dan setiap pagi harinya, sebelum mulai aktivitas; saya jalan-jalan. Selalu ada perasaan tidak bisa menerima dengan sepenuhnya kenyataan: bahwa resort ini dibangun di atas sawah yang telah dihancurkan tata jalan airnya, pematangnya, dan berbagai titik religiusnya, seperti andungan, pepuun, sanggah anak, pengalapan, dan lain sebagainya.
Kini saya memang menyimak tidak cuma cerita pahit atau getir Bapak Tani yang saya jumpai suatu pagi itu, tepat di antara tembok villa berbahan kayu antik; masih ada jalan setapak dan telabah yang berfungsi mengalirkan air yang telah digunakan untuk mengairi pematang di atasnya, dikembalikan ke pangkung untuk digunakan oleh persawahan yang lebih di hilir. Jalan setapak itulah yang dilewati oleh Bapak tadi dari dan menuju sawahnya di seberang pangkung.
Pagi dari restoran yang berada lebih tinggi daripada kamar-kamar resort, masih tampak potongan-potongan pematang. Cantik itu luka! Demikianlah kesan saya menyaksikan alih fungsi sawah itu, sebagaimana pagi ini pula saya membaca “Pura Subak” dari situs Tatkala. Saya sedang berada dalam satu garis lurus (linieritas) pengalaman tekstual dan realitas. Cara pembacaan cerpen seperti ini sangat kuat maknanya walaupun harus berhati-hati untuk menjadikan realitas sebagai alat ukur sebuah cerpen.
Yang paling moderat adalah komplemensasi. Cerpen sebagai realitas teks yang imajinatif dikplomenterkan dengan realitas yang sedang dialami pembaca. Maka cerpen “Pura Subak” ini memiliki ruang realitas yang sangat luas yang dapat digunakan untuk melakukan pemaknaan, interpretasi, dan ujungnya adalah sebuah apresiasi.
Pembacaan ini adalah sebuah metode kritik teks (sastra) dan metode mengajarkan sastra yang belum banyak dicoba, baik oleh mahasiswa, peneliti, dosen sastra, dan guru-guru bahasa di sekolah. Namun demikian, pengalaman yang linier dengan teks mungkin akan menjadi satu tantangan.
Pendekatan ini dibangun di atas prinsip pembacaan karya sastra dengan berpijak pada satu linieritas peristiwa yang nyata dan faktual. Hal ini didasari oleh pendekatan mimesis (M.H. Abrams) yang kelak membuka studi interdisipliner untuk kajian sastra. Di sini sastra berkesempatan menggunakan teori-teori di luar sastra, seperti pendidikan, politik, gender, emansipasi, antropologi, sejarah, ideologi, ilmu jiwa, dan lingkungan.
Pada ulasan ini, pengalaman atau realitas yang dilinierkan dengan realitas teks adalah kebetulan milik penulis dan bahkan ketika terjadi peristiwa membaca cerpen, langsung berada di lokasi, sebagaimana persoalsnnya sama dengan yang ada di dalam cerpen (“Pura Subak”). Hal ini hanya satu model yang bisa dikembangkan.
Model lain adalah menggunakan pengalaman orang lain atau sekelompok masyarakat. Misalnya ketika mengkaji atau menyoroti “Ketika Kentongan Dipukul di Bale Banjar” (Nyoman Rasta Sindu, 1972) dapat menggunakan pengalaman-pengalaman linier dari mereka yang pernah memiliki atau tersandung kasta dalam percintaannya. Pengalaman-pengalaman itu dianalisis dan dilakukan anlisisi lanjutan yakni dengan kajian linieritas dengan realitas di dalam “Ketika Kentongan Dipukul di Bale Banjar” atau sebaliknya. Hal ini digunakan untuk membaca cerpen dengan suatu aktivitas pemaknaan.
Makna teks bagi pembaca secara reseptif tidak bersifat umum atau cenderung subjektif (individual, dan bukan pertentangan terhadap yang ilmiah). Atas dasar itu, kajian ini memiliki pijakan teori yang kuat. Mengingat beberapa realitas mengandung karakteristik yang sama, pembacaan linieritas cerpen “Pura Subak” juga dapat dilakukan terhadap pelinieritasan pada peristiwa serupa sehingga dasar pemaknaannya semakin kuat dan kaya.
Dalam rangka itu, saya memiliki pengalaman yang sama ketika menginap di sebuah villa di kawasan Pantai Kedungu, Kecamatan Kediri, Tabanan. Belasan unit villa dibangun di tengah-tengah areal persawahan yang sangat luas. Satu villa dihubungkan dengan jalan semen kasar selebar 3 meter. Di sekeliling villa-villa aktivitas petani masih tetap berlangsung. Terlepas dari bagaimana negosiasi antarberbagai pihak dalam alih fungsi sawah menjadi villa di lokasi ini,apapun yang terjadi di villa itu adalah suatu jalan tengah; atau batu loncatan untuk benar-benar merombak subak menjadi sarana turis di kawasan persawahan sekaligus kawasan pantai itu.
Masih ada jalan lain. Model pengembangan wisata dan perkemahan dengan sistem kontrak, seperti yang terjadi di kawasan destinasi wisata Tirta Gangga. Di sini sawah sama sekali tidak beralih fungsi. Aktivitas wisata dan bertani berjalan sesuai dengan jadwal masing-masing.
Mencermati model kajian teks sastra seperti pada esai ini, adalah satu risiko kajian dengan pendekatan mimesis yang berkembang pesat setelah sastra dijadikan studi interdisipliner dan dinamik dengan menggunakan teori-teori ekstrasastra. Kajian cerpen, sebagaimana pada esai ini, “Pura Subak”; adalah kajian sosial yang harus dilandasi oleh sumber data dan analisis terhadap berbagai data transformasi sosial. Namun dalam kajian ini ditekankan pada konsep linieritas pengalaman pribadi, yang memicu lahirnya esai ini. [T]
[][][]
BACA artikel lain dari penulis WAYAN ARTIKA