SECARA SEDERHANA puisi dapat diartikan sebagai bentuk pengucapan bahasa yang memperhitungkan sebuah aspek bunyi-bunyi di dalamnya, yang mengungkapkan pengalaman imajinatif, emosional, dan intelektual penyair yang dibentuk dari kehidupan individual dan sosialnya, yang diungkapkan dengan teknik pilihan tertentu, sehingga puisi tersebut mampu membangkitkan pengalaman tertentu, dalam diri pembaca ataupun pendengar.
Kumpulan puisi Upacara Terakhir merupakan sebuah buku yang ditulis oleh GM Sukawidana pada tahun 2019. GM Sukawidana merupakan salah satu penyair yang merasa dirinya bangga disebut sebagai gelandangan. Selain itu ia sangat peduli terhadap tanah kelahirannya. Dalam kumpulan puisi “Upacara Terakhir” GM Sukawidana tampak merasa gelisah dan prihatin terhadap tanah kelahirannya. Puisi-puisinya banyak dimuat di Bali Post, Berita Buana, Republika dan masih banyak lagi.
Terdapat 40 puisi yang ditulis oleh GM Sukawidana dalam kumpulan puisi ini. Hal yang paling menonjol adalah bagaimana pengarang banyak menghadirkan diksi seperti kata pesisir laut, sampan, payau, bakau, peladang garam yang sangat “logis” kehadirannya bagi penyair yang hidup di negeri kepulauan yang lautannya lebih luas dari daratan.
Total dari 40 puisi, kecenderungan terdapat 7 puisi yang menggunakan kata “pesisir”. Puisi-puisi tersebut antara lain: Upacara Bersampan di Teluk Benoa, Upacara Terakhir, Upacara Si Anak Lanang, Upacara Tanah Pesisir, Peladang Garam Pesisir Kusamba, Di Pesisir Serangan Aku Mengail Bulan dan Perempuan Penabur Cahaya.
Untuk membahas kumpulan puisi “Upacara Terakhir” ini saya menggunakan metode semiotika. Dengan menggunakan metode semiotika pada kumpulan puisi “Upacara Terakhir”, diharapkan para pembaca mampu memahami makna yang tersirat dalam puisi, agar pesan pengarang untuk pembaca dapat dipahami dengan baik.
Dalam semiotika dijelaskan juga tentang cara-cara memahami penanda dan pertanda sebuah puisi yang ditelaah dari segi tataran atau maknanya. Puisi yang indah selalu menyelipkan makna yang tersirat pada setiap kata, kalimat, atau baitnya. Tanda-tanda tersebutlah yang mengarahkan pembaca menafsirkan sendiri pemahaman mengenai puisi yang dibacanya.
Selain itu puisi GM Sukawidana banyak menggunakan kata “identitas Bali” atau kata yang berciri khusus, mengidentifikasikan pemakainya dalam kultur Bali. Beberapa jenis kata, seperti bapa, tembuni, lanang, rajah, pakembar brumbun, sangkur, tajian temberang, bale agung, dan lain sebagainya. Itu semua merupakan pilihan kata yang diambil dari kultur muasalnya yaitu Bali. Puisi-puisinya juga banyak melontarkan protes serta kritik terhadap persoalan sosial, budaya, serta ekologi yang terjadi di Bali.
Menurut pandangan saya, ada 3 puisi yang makna tersiratnya menarik untuk dibahas, diantaranya Upacara Pesisir Teluk Benoa, Upacara Bersampan di Teluk Benoa dan Upacara Terakhir.
Di setiap bait-bait sajak puisi “Upacara Terakhir” ini penyair seakan-akan merepresentasikan makna yang terkadung dalam setiap puisinya. Rasa kegelisahan GM Sukawidana pun terlihat, seperti yang terdapat pada sajak “Upacara Pesisir Teluk Benoa”, yang bertajuk bawah “(di mana penyair wayan jengki malam ini?)” yang terdapat pada bait kedua baris 4-8. Pada teks sajak dialog imajiner (bukan hal yang sebenarnya) GM Sukawidana mengekspresikan dukanya yang mendalam manakala melihat warisan nenek moyangnya yang acak-acakan.
Bisa dilihat pada kata “kemarilah! / suling air mata moyang / tampung dalam cawan-cawan tembaga”. Walaupun demikian, terdapat gairah naluri sebuah perlawanan darinya lewat sebuah kata yang ia simbolkan gelombang : “jadikan gelombang pesisir penuh gairah / bersulanglah!”.
Pada puisi tersebut terbetik ajakan GM Sukawidana kepada Wayan Jengki Sunarta agar ia bersedia menghayati dan menghadapi persoalan kesedihan dan kepedihan masyarakat sekitar pesisir yang mesti berhadapan dengan “rahwana pembangunan”. Itu semua terdapat di “cawan-cawan realita” yang berisikan air mata nenek moyang.
Menarilah!
Kau berenang dari satu cawan ke cawan lain
Berbuih madu hutan
Mencari pesisir yang disengketakan
Sambil sesekali berteriak
“Tak ada lagi yang tersisa untuk anak cucu!”
Pada sajak ini terlihat sangat jelas ekspresi pesimisme (kecendrungan untuk berfikir negatif) Gm. Sukawidana pada suatu hal yang tidak mungkin ia lawan sendirian, terkecuali menebar kesadaran pada generasi berikutnya. Memang benar nyatanya, pesisir bagi sebagian masyarakat khususnya yang beragama hindu bukan hanya sekedar tepian pantai. Banyak sekali makna yang terdapat di dalamnya, termasuk hubungan spiritual masyarakat Bali dan pesisir. Melasti (upacara pesucian) merupakan salah satunya. Maka tak heran GM Sukawidana merasa sangat gelisah akan masa depan Bali, akibat “perebutan” pesisir Bali oleh “kuasa modal”. Hal ini bisa kita simak pada bait ketiga yakni :
Mari!
Cobalah apa yang kusadap
Bertahun silam
Dari degup jantung moyang
Pada baris ke 7-11 sangat terlihat kemarahan yang sudah dipendam sekian lamanya. Kemarahan melihat ruang-ruang nenek moyang kacau balau oleh kepentingan “kuasa”. Hal itu, bisa dirasakan dari sebuah ungkapan kata-kata yang ekspresif : (mengambil) “arak api dari tungku-tungku matahari / yang membakar dendam purba / orang-orang pesisir”.
Rasa amarah semakin muncul pada baris ke 14-18 :
Marilah
Coba apa yang kusadap ini
Kau akan merasakan
Bagaimana tangis anak cucu kelak
Kehilangan tanah pesisir moyangnya!
Beda halnya pada puisi yang berjudul “Upacara Bersampan di Teluk benoa” dalam puisi ini terdapat bait “pesisir teluk benoa menjadi senyap” penyair seakan-akan merepresentasikan bagaimana keadaan pesisir jika sepi, tidak ada bunyi sedikit pun. Selain itu terdapat juga kalimat “di mana pesisir untuk melasti saat nyepi” pada kutipan puisi tersebut mengartikan penyair yang sedang merasa kegelisahan dalam hatinya karena tempat tersebut akan digunakan untuk melasti pada saat hari raya nyepi.
Dalam puisi Upacara Terakhir tersirat makna kata pesisir yang memiliki arti tentang pertemuan sesaat, artinya perpisahan selalu diawali dengan pertemuan, tapi dalam pertemuan dan perpisahan memiliki perbedaan dimana pertemuan tersebut hanya bersifat sementara. Tidak ada yang abadi dalam pertemuan karena sewaktu-waktu orang yang kita sayang akan diambil dari kita lewat sebuah perpisahan.
Rasa perpisahan terdapat pada baris berikut ini :
Di wajah tuaku
Tergugat kegetiran hidup anak cucu
Tanpa tanah moyangnya
Dalam karya puisi karya GM Sukawidana ini banyak mendominasi dengan gaya bahasa bersifat lokal. Itu merupakan ciri khas dari kumpulan puisi “Upacara Terakhir”. Menurut pendapat saya pribadi, sajak-sajaknya mencirikhaskan tentang budaya mistis yang terdapat di Bali. Tak hanya itu saja, GM Sukawidana juga menggambarkan pergeseran peradaban yang tengah terjadi, selain itu kombinasi kata-kata yang terdapat dalam kumpulan puisi “ Upacara Terakhir” ini memberi sudut pandang yang luas untuk memahami budaya nenek moyang.
Dalam puisi ini pesan yang ingin disampaikan oleh GM Sukawidana adalah tentang kultur sosial yang sering terjadi pada masyarakat Bali, dimana kultur sosial tersebut terbentur dengan adanya arus pariwisata dan budaya asing yang tidak sesuai dengan adat istiadat. [T]