Day Care atau tempat penitipan anak di Denpasar dan Badung, Bali, kini mulai banyak ada. Pasangan bekerja dan memiliki bayi atau balita target market mereka. Kaum urban yang tidak seperti di desa, tinggal bersama orang tua dan keluarga inti yang bisa membantu mengasuh anak mereka. Ini tentang para orang tua yang bekerja dan merantau di kota besar.
Mirip seperti di luar negeri. Nanti akan ada banyak panti jompo. Anak yang saat kecil dititipkan di tempat penitipan anak akan dengan mudah, secara psikologis, menitipkan orang tua mereka yang telah sepuh ke panti jompo. Seperti sebuah hukum alam. Itu saya baca dari Anand Krishna, humanis spiritual dan penulis produktif, pada salah satu buku beliau.
Di kota besar, jika suami dan istri tidak bekerja, terasa sulit. Biaya dan beban hidup akan lebih ringan jika penghasilan datang dari kedua pasangan. Istri yang tidak bekerja sama sekali, mengasuh anak dan rumah tangga secara penuh memang baik. Dengan syarat, gaji suami cukup. Jika tidak, masalah tentu akan timbul.
Apa yang dulu dinamakan PKK yang sejak tahun 2000 berubah nama Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga sangatlah baik. Memberi keterampilan para ibu untuk mandiri; menjahit, memasak, merajut dan keterampilan lain yang bisa digunakan menghasilkan pendapatan, bekerja di rumah sembari tetap menjadi ibu rumah tangga. Entah mengapa kini PKK berubah, mungkin pembaca lebih tahu soal hal tersebut.
Pasangan bekerja akan berjalan baik sebelum ada anak, menunda punya anak sebelum fondasi ekonomi cukup kuat. Itu kini agaknya agak sulit; pengkondisian di masyarakat begitu kuat: mesti punya anak setelah menikah, bahkan jarak kehamilan amat dekat, terlebih jika belum dikaruniai anak laki-laki, perempuan lalu jadi “pabrik anak”, banyak anak banyak rezeki, motto zaman dahulu, ketika hidup tidak sesulit sekarang, yang terus digunakan saat ini.
Pada titik ini, mulai muncul pemikiran pada kalangan milenial tentang apa yang dinamakan Child Free. Sengaja tidak merencanakan punya anak ketika nanti menikah. Berangkat dari realita kehidupan juga pengalaman sebagai anak yang tidak mulus; KDRT, orang tua selingkuh atau bercerai, sulitnya ekonomi keluarga, luka batin, yang bisa jadi terulang saat menikah.
Punya anak atau tidak punya anak merupakan hak pasangan yang tentu telah dewasa. Ini tentu akan banyak menemui tantangan. Lain soal jika penyebab tidak punya anak adalah faktor kesuburan suami atau istri. Namun, jika melihat kenyataan hidup saat ini, bahkan untuk tempat tinggal saja masih mengontrak—harga rumah tidak terjangkau, sulitnya mencari kerja juga persaingan hidup yang semakin berat di masa kini dan mendatang, agaknya apa yang saya paparkan di atas menjadi pertimbangan kaum muda untuk berkeluarga atau menikah dini.
Solusi
Berdasarkan pengamatan sehari-hari, pada keluarga terutama asal Jawa yang merantau ke Bali, ketika anak masih kecil, mereka menitipkan pada keluarga di kampung halaman; anak diasuh oleh kakek dan nenek mereka. Atau, tetap berada di rantauan, saat menginjak usia SMP anak disekolahkan ke pesantren yang ada di Jawa. Hal ini bisa menjadi salah satu solusi, sementara ayah dan ibu mereka tetap bekerja di tanah rantau.
Tentu semuanya mempunyai nilai plus dan minus. Pun keluarga Bali; ada yang tetap membesarkan anak mereka di Denpasar sebagai kota tempat bekerja. Ada pula yang menitipkan anak mereka di kampung halaman. Ada yang istrinya ikut serta tinggal di kampung halaman, ada pula hanya anak-anaknya saja, tetapi ini jarang dilakukan.
Solusi terakhir, jika memang sama sekali tidak ada keluarga yang bisa dimintai tolong mengasuh dan menjaga anak tentu Day Care atau tempat penitipan anak. Di masa sekarang memang tidak mudah untuk berkeluarga jika bekerja di luar kampung halaman. Agaknya, solusi di atas bisa jadi digunakan. Atau mungkin ada solusi lain yang penulis belum tahu. Salam. [T]